Mohon tunggu...
Haedi Noor
Haedi Noor Mohon Tunggu... Penulis - Writer Freelance

Tetap Biasa dan tak Ingin menjadi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Celoteh Sang Babu

16 Desember 2013   00:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Entah jalan hidup seperti apa yang sedang ku jalani. Memberikan sebuah kunci penting ke tangan orang lain. Hidup ku sekarang terborgol oleh kebahagiaan semu. Seolah menyuguhkan kebahagiaan abadi namun sebenarnya hanya kebahagiaan sesaat yang mungkin hanya selewat.

Aku sudah lama tak berjumpa dengan kedua orang tua ku, ibu ku memang sudah meninggal tepat aku berusi 15 tahun, masa remaja yang sebenarnya membutuhkan sosok pembimbing. Ayahku jelas bukan orang yang asyik di sebut pembimbing. Yang dilakukannya tidak lebih dari membanting asbak atau melempar tumpukan piring-piring yang sudah di susun rapi oleh ibu dan kakak ku.

Kini ayah sudah berumah tangga lagi, meminang seorang janda, yang katanya kembang desa. Ah, bagiku dia bukan kembang, tak lebih dari sampah yang membawa bau busuk di tengah keluarga ku yang sudah hancur lebur.

Aku sendiri sekarang lebih memilih untuk menjaga jarak dengan seluruh keluarga, bukan karena apa-apa melainkan karena ketidak setujuan ku pada keputusan ayah dan keluarga. Aneh menurut saya jika semua keluarga justru mendukung ayah untuk menikah lagi dengan alasan supaya ada yang menemani ayah dimasa tua, ada yang mengurusi. Memang nya anak-anaknya tidak mampu mengurusi?, atau memang mereka enggan untuk mengurusi orang yang telah membiayai kehidupan mereka. Aku sendiri hanya dianggap sebagai anak bau kencur yang tak pandai melakukan apa-apa. Kalau hanya sekedar menjadi teman ngobrol sambil sesekali menanak nasi atau mencuci, aku masih mampu. Mengurusi rumah saja aku bisa.

Bagiku keluarga tidak lebih dari gurun gersang tanpa mata air. Aku kehausan, aku gerah melihat semuanya. Itulah kenapa aku sekarang lebih memilih tinggal di kotak kecil. Sebuah kamar mungil yang ku bayar tiap bulan.

Aku pikir kemerdekaan adalah milik setiap orang, termasuk aku. Tapi ternyata hari ini aku justru terikat oleh kebahagiaan semu. Alih-alih ingin memperoleh keluarga baru justru terlihat seperti babu.

Seorang sahabat menawarkan air suci kebahagiaan, atau mungkin aku sendiri yang terlalu berharap diberikan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah hak setiap manusia, termasuk aku yang memang sudah lama tak bertemu dengan kata itu. Kebahgiaan semu mungkin iya. Semenjak ibu tiada, bagi ku kata kebahagiaan sudah hapus dalam lemari memori yang ku punya.

Berharap kebahagiaan datang, aku justru mengorbankan segalanya. Termasuk harga diri yang katanya menjadi gerbang terakhir yang dimiliki manusia. Harga diri ku obral dengan murah. Bahkan mungkin kalau harus menceboki nya setelah buang air besar aku lakukan. Tidak tahu kenapa, yang pasti aku melakukan itu, dan setelahnya justru rasa penyesalan yang besar menyelinap dalam hati, mungkin hati kecil.

Kalau saja aku bisa menolak untuk tidak mencuci bajunya, mungkin sudah ku tolak dari dulu-dulu. Entah kenapa melihat tumpukan baju kotor miliknya selalu saja tangan dan kaki ku tak mau diam. Rendam, cuci dan langsung ku jemur. Terus saja berulang dan alangkah bodohnya aku malah mengharapkan kata terima kasih keluar dari mulut nya. Sudah lama memang kata itu seolah hilang dari kehidupan manusia, menganggap enteng. AH, persetan dengan terima kasih.

Ini adalah pilihan hidup. Bisa jadi demikian. Secara sadar aku memang bisa mengatakan bahwa hidupku tak lebih dari babu, dari pembantu rumah tangga yang kesehariannya hanya mengurusi rumah, menyiapkan makan, membersihkan toilet bekas buang hajat sang tuan. Mencucui baju yang berceceran sperma majikan, dan membersihkan lantai bekas kaki suci sang tuan. Ah sungguh indah ternyata, tapi tetap saja ini hina. Mungkin lebih enak aku jadi pembantu yang sebenarnya, mereka bekerja lalu digajih. Lah, aku sendiri hanya mengharapkan kebahagiaan semu, yang kata itu telah ku hapus dari memori sudah sejak lama.

Malam ini, aku baru saja selesai menyelesaikan tugasnya, panggil saja sekarang dia dengan sang tuan. Sedari kemarin malam, aku tak melakukan apa-apa. Otaku terus dipaksa berputar, jari-jari ku paksakan untuk mengetik. Entah karena apa aku bisa menjadi penurut. Dengan ringan ku kerjakan tugas tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan aku rela meminjam laptop dam modem milik tetangga hanya untuk membuat sang tuan tak terlambat mengumpulkan tuas negaranya. Namun sayang, tak ada kata terima kasih yang keluar dari mulut sang tuan. Oh, rasanya kemerdekaan itu pun akan ku hapus sebentar lagi dari lemari kata-kata ku.

Kemerdekaan, kebahagiaan adalah dua kata yang sudah kuhapuskan malam ini dan seterusnya dari lemari kata-kata yang ku punya. Toh, kedua kalimat itu memang benar-benar tak ada lagi dalam kehidupan ku.

Entah apa namanya ini. Kadang rasa penyesalan selalu muncul setiap kali aku selesai melayani sang tuan. Tapi ketika perintah itu datang, aku enggan menolak. Aku tak bisa menolaknya. Kasihan mungkin saja, tapi rasanya ini seperti rasa tida enak. Tapi apa juga yang sebenarnya ku dapatkan?, toh kata terima kasih saja terlalu mahal mungkin baginya. Wajar saja, mana ada majikan yang mau tersungkur martabatnya hanya dengan mengucap kata terima kasih. Bagi mereka harga diri adalah utama, manusia tanpa harga diri lebih baik mati. Ah, apalagi itu harga diri, seperti kata yang ku kenal lama tapi tak lagi kutemukan. Apa harus aku membuangya dari lemari kata-kata seperti aku membuang kata bahagia dan merdeka?, mungkin besok sudah hilang.

Kadang ingin rasanya aku ikhlas, tapi kata itu tak begitu asing ditelinga. Tapi jarang sekali aku melakukan itu. Lantas kalau selama ini aku tak ikhlas, mana mungkin aku mau lagi, lagi dan terus berulang menerima instruksi sang tuan?, di jagi?, Tidak. Ah, mungkin ini namanya ikhlas. Atau itu bisa jadi karena rasa tidak enak saja.

Ah apa juga yang ada dikepala ku sekarang. Kenapa aku justru mempermasalahkan ini?. Hukan kah sudah ku tasbihkan dalam hati bahwa hidup tak lebih dari memberi, persoalan menerima itu belakangan. Mungkin sekarang aku ada dalam fase mebberi, besok atau lusa siapa tau ada fase menerima hadir dalam kehidupanku. Mungkin saja, itupun kalau tuhan tidak lupa mencatatnya.

Ah sudahlah, lebih baik kubiarkan saja semuanya berjalan sebagai mana alam menghendaki. Toh aku sudah berusaha menolak sang Tuan, tapi alam selalu saja memaksaku untuk menuruti nya.

Besok pagi aku harus bangun lebih awal, sang Tuan akan menghadapai ujian. Tumpukan jemuran pakaian sudah menunggu, belum lagi lantai yang sudah mulai lengket. Semoga saja ada penjual jajanan yang lewat untuk sekedar mengisi perut sang Tuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun