Sebelum memulai tulisan ini saya menghaturkan maaf yang sebesar-besarnya jika ini bertentangan dengan keyakinan siapapun. Tulisan ini semata-mata hanya ingin mengabarkan kisah yang terjadi di kampung halaman bukan untuk memprovokasi siapapun. Kisah ini hadir di tengah-tengah kehidupan saya. Saya mengalami setiap kisah ini dan akhirnya kesimpulan saya berakhir pada judul tulisan di atas.
Di kampung halaman saya, ada dua orang saudagar kaya. Setidaknya mereka berdua lebih kaya dari kebanyakan orang di kampung saya. Yang satu adalah pengepul pisang dan kelapa yang selanjutnya di baw kepasar untuk di jual, dan yang satu lagi adalah pengepul getah karet. Keduanya hanya sebagai pengepul, dan di kampung saya biasanya dipanggil bos. Sebuah panggilan yang di tunjukan buat mereka yang memeiliki kekayaan lebih di banding yang lain.
Keduanya memiliki keluarga dan anak-anak. Si penepul pisang dan kelapa memiliki 8 orang anak dan hanya 2 orang yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan si pengepul getah karet memiliki 4 orang anak dengan 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Kesamaan dari keduanya adalah mereka tidak mengutamakan pendidikan, khususnya bagi kaum perempuan. Bagi mereka berdua, perempuan tak perlu sekolah tinggi, toh nantinya juga akan kembali lagi ke dapur sebagai ibu rumah tangga. Maka, tak heran jika selepas lulus sekolah dasar anak-anak mereka khususnya yang perempuan langsung di nikahkan dengan para pemuka agama setempat. Kalauyang laki-laki memang di sekolahkan sampai perguruan tinggi, bahkan putra si bos getah karet ini kabarnya di sekolahkan di Al-Azhar Mesir.
Bos pisang dan kelapa memiliki istri yang hampir seumuran, sama-sama sudah udzur, namun bos getah karet memiliki istri yang jauh usianya di bawah dia. Keduanya hidup harmonis, kalaupun memiliki istri lebih dari satu.
Keduanya menjadi buah bibir di masyarakat kami, kedermawan-an mereka pun sepertinya sudah tak di ragukan. Mereka tak segan-segan menyumbang untuk kebutuhan sosial masyarakat. Setidaknya mereka memberikan sumbangan lebih banyak dari orang kebanyakan.
Entah suatu kebetulan atau tidak, paska meninggalnya istri si bos pisang dan kelapa itu usahanya pun pontang-panting. Omset selalu menurun, bahkan bisa dikatakan beliau sekarang menjadi orang biasa kembali, hidup sederhana seperti kebanyakan orang kampung pada umumnya. Begitu juga dengan bos getah karet, setelah istri nya meninggal dunia, usahanya ikut-ikutan gulung tikar. Beda dengan si bos pisang yang tidak memiliki cadangan istri lantaran sudah dipisah sebelum istri pertamanya meninggal dunia, bos getah karet memiliki 3 cadangan istri. Kebetulan salah satunya adalah teman sekolah saya ketika SD. Teman saya di peristri juragan getah karet lantaran orang tua-nya memiliki hutang yang cukup banyak dan tak sanggup dibayar. Ini benar-benar ada dalam kehidupan nyata. Kalau biasanya saya hanya melihat di televisi bahwa orang yang memiliki hutang di mengawinkan anaknya sebagai penebus, justru ini lahir di kehidupan saya.
Paska keduanya mengalami kebangkrutan, ada isu yang berkembang di masyarakat bahwa keduanya merupakan pengusaha yang menggunakan ilmu ghaib. Di kampung saya ini bukan lagi hal yang tabu. Memang hampir semua pengusaha memiliki "pegangannya" masing-masing. Katanya sih untuk jaga-jaga agar melindungi diri dari orang-orang yang iri dengan kemajuan usaha yang sedang di gelutinya. Intinya siapa yang kuat ilmunya, maka usahanya akan lebih cepat naik.
Baik si bos getah karet maupun bos pisang kelapa ini katanya menggunakan ilmu ghaib yang bisa menitipkan rizki pada istri pertama. Artinya, bahwa selama istri pertamanya masih hidup dan setia mendampinginya maka kekayaan melimpah akan terus mengalir kepada mereka, usaha apapaun yang mereka kerjakan akan membuakan hasil selama di restui oleh istri, maka tak heran ketika istri pertama kedua pengusaha itu di panggil sang khalik, keduanya pun mengalami kebangkrutan. Kurang lebih seperti itu gambaran ilmu ghaib menitipkan rizki kepada sang istri.
Dari cerita di atas, Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu kebenarannya, memang saya sering mendengar bahwa untuk memulai usaha ada "syariat" nya. Tapi sampai sekarang kalaupun saya hidup pada masyarakat yang kental akan nuansa seperti itu, saya masih tak percaya dengan hal-hal semacam itu. Entah lah, bagi saya hal-hal semacam itu justru bisa menciptakan dinding pemisah anatar manusia dengan Tuhan. Kadang dengan memiliki "pegangan" justru membuat kita lebih banyak mengandalkan "pegangan" tersebut ketimbang Tuhan kita sendiri. Â Bagi saya pribadi, usaha adalah tergantung bagaimana kita bisa bekerja keras dan kerja cerdas, mengandalkan tenaga dan pikiran dengan maksimal, bukan mengambil jalan pintas lantas mendapatkan limpahan harta.
Benar atau tidaknya ilmu menitipkan rizki pada istri bagi saya pribadi biarkan lah itu menjadi kekayaan cerita dalam masyarakat. Sebagai manusia Indonesia, memang sudah adanya begitu Hidup di tengah mitos dan folklore.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H