Ada sebuah ironi di balik kemenangan 2-0 tim U-23 Indonesia atas tim U-23 Singapura pada SEA Games kemarin. Ya, kekalahan 0-4 timnas senior Indonesia atas Qatar pada Penyisihan Pra-Piala Dunia terasa menyakitkan. Jelas kekalahan tersebut memupus harapan Indonesia untuk merasakan atmosfer eksotisme Rio de Janeiro pada Piala Dunia 2014 nanti. Hasil yang amat kontras dengan kondisi timnas senior setahun yang lalu, dimana para pemain dipuja-puja karena berhasil menunjukkan prestasi gemilang pada Piala AFF 2010.
Beberapa pihak mungkin merasa, pesaing Indonesia di Grup E bukanlah lawan yang sepadan: Qatar, Bahrain, Iran. Kalau patokannya adalah peringkat FIFA, mungkin saya setuju, Indonesia peringkatnya berada cukup jauh di bawa ketiga tim ini. Tapi kalau alasannya adalah faktor fisik/postur badan, saya jelas tidak setuju. Penjelasannya mudah, sebuah tim, postur tinggi atau kecil masing-masing punya keunggulan. Jadi, sedikit sulit diterima apabila alasan kekalahn adalah faktor fisik. Lantas apa penyebab ‘ketidakberhasilan’ timnas senior untuk meraih kemenangan di kancah Asia atau bahkan dunia? Berikut analisis saya sebagai seorang penikmat sepakbola.
1. Kurangnya Kompetisi yang Kompetitif
Untuk ukuran Asia Tenggara, mungkin Kompetisi di Indonesia adalah yang terbaik. Tapi, apabila dibandingkan dengan kompetisi seperti di Jepang, Korea, atau Timur Tengah, jelaslah berbeda jauh dari segi kualitas. Adanya kejomplangan kompetisi tingkat senior dan junior bisajadi menjadi penyebabnya. Sangat jarang ada kompetisi untuk tingkat usia 14-18 tahun. Sekalipun ada, kualitas komeptisi yang ada tidak sebaik kompetisi senior. Pernahkan kita menonton kompetisi usia muda di televisi? Karena dinilai kurang ‘menjual’ maka kompetisi usia muda sering dipandang sebelah mata. Akhirnya, remaja-remaja dengan bakat hebat cenderung kehilangan tempat untuk mengasah kemampuannya. Tidak heran ketika mereka dewasa, bakat itu pudar, dan mereka jadi pemain yang ‘biasa’ saja. Akhirnya ini berpengaruh juga terhadap kualitas kompetisi dalam negri.
2. Wilayah yang Terlalu Luas
Indonesia memiliki ribuan pulau dan beberapa pulau besar. Ini adalah anugerah sekaligus musibah. Ada daerah yang mendapat perhatian cukup baik, ada daerah yang terbengkalai/terlupakan, menurut saya, hal ini menyebabkan Indonesia sulit untuk maju, baik dalam bidang politik maupun olahraga, khususnya sepakbola. Coba kita lihat negara seperti Jerman atau Spanyol. Wilayah mereka berada pada satu dataran yang sama. Jauh lebih mudah melakukan scouting apabila dibanding wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau. Akhirnya, tidak heran kalau pemain timnas cenderung didominasi satu suku tertentu, meskipun sekarang, hal ini sudah muali terkikis.
3. Karakter yang Berbeda-beda
Ini adalah implikasi dari poin nomor dua. Anggaplah si pelatih berhasil mengumpulkan 30 pemain dari 8 pulau besar. Masalah baru bisajadi muncul di sini. Pemain dari masing-masing daerah mempunya karakter yang berbeda. Misalnya: pemain Papua terkenal dengan karakter individualistisnya; pemain pulau Jawa dengan ketenangan dan kewaspadaannya; pemain Sumatera+Sulawesi+Kalimantan dengan karakter keras dan berani. Percaya atau tidak, karakter semacam ini terlihat di lapangan ketika mereka bermain. Bukan bermaksud untuk menyetujui stereotip semacam ini, tapi fakta ini memang mengusik saya. Karakter pemain, apabila dimanfaatkan dengan baik, dapat menjadi senjata yang efektif. Biarkan pemain Papua menempati posisi striker, karena karakter individualistis mereka berguna ketika bertarung dengan bek lawan. Tempatkan pemain berkarakter berani sebagai bek, dalam hal ini pemain Sumatera dan Sulawesi, seorang bek haruslah pemain yang tangguh, tanpa kompromi, namun cerdas dan sigap. Selanjutnya, pemain dari pulau Jawa bisa ditempatkan sebagai playmaker, pemain tengah. Karakter pemain Jawa adalah kalem. Pemain tengah yang baik adalah yang tenang dan tidak terburu-buru, dan sejauh ini karakter ini cocok dengan pemain dari Jawa. Mengenai naturalisasi, saya antara setuju dan tidak setuju. Tidak setuju apabila PSSI melakukan naturalisasi asal-asalan, tidak semua pemain keturunan yang bermain di Liga Eropa layak dinaturalisasi. Mereka yang hanya bermain di liga level 3 Eropa tentu tidak perlu dinaturalisasi. Lalu saya setuju, apabila naturalisasi dilakukan untuk efektivitas tim nasional. Misalnya, timnas Indonesia lemah di bek tengah atau gelandang jangkar; maka naturalisasilah pemain asing/keturunan yang sanggup bermain di posisi tersebut. Jadi, fungsi pemain asing adalah pelengkap tim.
4. Pelatih Harus Bisa Memanfaatkan Postur Kecil Pemain
Seringkali pelatih yang melatih Indonesia, salah menggunakan strategi/formasi. Bermain umpan jauh/lambung tidaklah begitu efektif dengan postur Indonesia. Pola permainan seperti Barcelona/Arsenal cukup cocok untuk Indonesia. Bermain umpan pendek dan possesion haruslah diterapkan pelatih. Selama 7 tahun lebih mengamati sepakbola Indonesia, baru ketika Wim Rijsbergen menangani Indonesia, pola umpan pendek begitu kentara. Pernah juga ketika Piala Asia 2007, umpan pendek diterapkan. Sementara pelatih lain, bahkan Alfred Riedl, menurut saya tidak menggunakan pola umpan pendek. Pelatih haruslah memahami kemampuan/limit pemain timnas. Kesalahan penerapan formasi seringkali menyebabkan Indonesia gagal meraih kemenangan.
Lantas, apakah ketika semua hal di atas berhasil dibenahi lalu Indonesia bisa berprestasi?
Saya tidak bisa menjamin itu, karena dalam sepakbola tidak ada yang pasti. Real Madrid yang begitu tangguhnya, bisa kalah dari tim kecil seperti Levante. Namun, apabila segala aspek yang bobrok dari timnas berhasil dibenahi, tentu ini mempermudah usaha timnas untuk berprestasi. Tidak perlu muluk-muluk, cukup untuk menjadi juara di level Asia Tenggara dan menjaga konsistensi penampilan. Tidak mustahil bagi Indonesia untuk masuk 5 besar Asia. Perlahan dan perlahan; sisanya ditentukan oleh faktor keberuntungan, dan faktor non-teknis lain (baca: faktor perjudian). Selamat berjuang untuk timnas. Doa saya menyertai langkah kalian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI