Mohon tunggu...
Derick Adeboi
Derick Adeboi Mohon Tunggu... -

penyair kacangan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Adam

6 Februari 2012   11:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:59 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menjalani hidup yang tak ingin kujalani. Tidak, lebih tepatnya, hidup yang kusesali seluruhnya; atas kelahiranku, kebahagiaanku, dosaku. Namun, teduh wajahnya membuyarkan semua sesalku, aku bersyukur untuk itu. Bersyukur untuk setiap waktu yang kujalani bersamanya.

***

Ini malam ke-142 setelah kami dibuang dari Eden. Eva berbaring di pelukanku, ia tertidur, sementara hanya mantel kulit beruang dan perapian kecil yang menghangatkan tubuh kami dari cuaca dingin yang menusuk. Aku selalu terjaga selama 142 malam ini, aku tak ingin terlelap, aku ingin menjaga Eva entah bagaimanapun caranya. Dan, memandang wajahnya kala ia terlelap selalu membawa keteduhan hati buatku, melupakan bahwa karena perempuan ini, aku ikut dibuang dari Eden.

Ia begitu takut kala itu, air mata mengalir deras membahasi pipinya, begitu takut atas dosa yang ia perbuat.

"Adam.. Tolong aku, bebaskan aku dari perasaan takut ini! Aku berjanji tidak akan memakan apel itu lagi!"

"Adam! Jangan diam saja! Tolong aku! Atau tidak Tuhan akan menghukum aku!"

Sepanjang hari itu ia meronta, meminta ditenangkan, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya sekadar diam. Sampai akhirnya ia tertidur kelelahan setelah menangis seharian. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah bernegosiasi dengan Tuhan. Karena ia Mahabaik dan Mahabijak, harusnya Ia punya solusi akan masalah ini, dan aku sempat menjanjikan hal itu kepada Eva.

Langkahku terasa berat, aku memang memberanikan diriku untuk menghadap Tuhan, tapi keraguan seketika menyergap. Hari ketika Eva bertemu dengan UlarIblis dan memakan apel terlarang itu, aku tengah terlelap; seandainya aku terbangun dan terus menjaga Eva, tentu ia tidak perlu memakan apel itu. Dan terus begitu, penyesalan itu membawa keraguan buatku. Haruskah kutinggalkan Eva sekali lagi kali ini, menungguku bertemu Tuhan?

Akhirnya aku terbawa ke dalam sebuah ketidakstabilan mental. Eva atau Tuhan? Bisasaja Tuhan menciptakan Eva eva lainnya untukku. Tapi aku bukan binatang yang bisa menikahi siapa saja yang kumau. Hanya Eva yang jasadnya diciptakan langsung dari tulang rusukku. Ia adalah sebagian dari diriku, dan akan selalu begitu.

Aku berbalik dan kembali ke tempat Eva berbaring dengan tubuh telanjangnya. Apel pemberian UlarIblis itu aku ambil, masih ada bekas gigitan Eva. Aku menghapus keragu-raguanku, dan apel itu kugigit. Seketika itu kepalaku terasa berat, perutku terasa mual. Dan tidak begitu lama aku merasakan perasaan bersalah yang teramat besar. Dosa. Sama seperti Eva, aku telah berdosa, mulai detik itu aku menjadi manusia seutuhnya.

"Eva, bangunlah!"

"Ada apa Adam?"

"Kita harus segera meninggalkan Eden, Tuhan tidak menginginkan kita lagi di sini!"

"Tapi mengapa? Bukankah kau tadi bilang ingin bernegosiasi dengan Tuhan?"

"Ya, Eva, aku telah berbicara dengannya, tapi ia bersikeras untuk mengusir kita, lihat langit itu, petir menyambar  dan hujan badai, ia mengusir kita!"

"Tapi, Adam..."

"Kita tidak bisa berlama-lama, ambillah beberapa helai daun anthurium untuk membungkus tubuh telanjang kita!"

Setidaknya itu dialog terakhir kami ketika masih berada di Eden. Dari satu dosa maka akan tumbuh dosa lain, aku telah membohongi Eva soal pengusiran itu, tapi hanya itu satusatunya cara untuk meyakinkannya bahwa kami telah diusir. Bukankah untuk orang yang kita cintai, kita harusnya rela melakukan dan berkorban apa saja? Aku hanya ingin bersamanya. Aku tidak menginginkan Eva eva yang lainnya. Aku mencintainya sebagaimana dosa melekat pada kami, dan pada akhirnya menjadi pekat lalu menguasai akal sehat.

***

Lolongan serigala terdengar di seluruh penjuru malam, sunyi dan mencekam, di dunia yang sebegini kelam cuma ada kami berdua sepasang manusia. Memang, dunia yang kami tinggali sekarang tidaklah seindah dan senyaman Eden, tapi aku bahagia atas ini semua. Eva masih tetap bisa tertidur lelap di pangkuanku, wajahnya terbaring lembut, kehangatan yang dipancarkan tubuhnya jauh lebih hangat dari matahari. Tertawa lepas bersamanya, menjelajahi sudut-sudut liar di bumi, menyusuri sungai-sungai tanpa batas, menikmati senja bersamanya di bukit-bukit Tigris adalah kebahagiaan terbesarku, takakan kujual demi apapun juga. Di sinilah surgaku yang sesungguhnya, bersama Eva.

____________ Jakarta, Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun