Apa yang telah berakhir, akan selalu menjadi akhir, dan tak akan bisa menjadi suatu awal. Apa yang harusnya pergi, pergilah.
***
Terlalu banyak yang ingin kuulangi dari masa lalu, namun hanya sedikit yang bisa kusyukuri. Aku hidup bersama ribuan penyesalan, duka yang tak henti-hentinya, serta cinta yang selalu patah arah. Bagaimanapun, hidup sepertinya akan lebih mudah andaikan aku bisa kembali ke masa lalu, ke masa dimana penyesalan masih berupa janin dan harus diaborsi sebelum hadir ke duniaku; sehingga, mampu kuperbaiki bagian-bagian yang rusak dan tak sedap. Mungkin kalau ada manusia yang bisa menciptakan mesin pemutar waktu, aku yakin bahwa ia akan dipuja dan diagungkan melebihi Dewa segala dewa dan Tuhan segala tuhan. Dan aku, akan menjadi pengikut setianya, aku akan menjadi nabi yang mewartakan kabar gembira ini. Ya, pemutar waktu adalah sebuah penemuan yang terlalu lama dinantikan dan diharapkan untuk tercipta. Terutama bagi sebagian manusia macam aku, yang menumpuk penyesalan dan berharap untuk mengubah apa yang telah terjadi. Kamu. Kalau bisa kembali ke masa itu, kujadikan dirimu satu-satunya bintang yang terindah. Tidak seperti saat ini, hanya menatapmu dari sudut sepiku, dan menyesali semua cinta yang pernah kumekarkan untukmu. Aku hidup dalam pusaran derita karenamu; dan aku, tidak pernah tahu apakah aku akan tetap mencintaimu atau malah berusaha menghindarimu ketika aku bisa kembali ke masa pertama berjumpa. Tidak. Aku tidak pernah tahu. Cinta ini begitu absurd, tanpa rona, tanpa warna dan alur yang jelas, tanpa ada rongga dimana keajaiban bisa menghembuskan udaranya. Sungguh. Ada kalanya aku perlu membenci diriku. Dan bayanganku di cermin, jauh lebih jujur dari diriku yang sesungguhnya. Namun aku, terlalu lama hidup dalam genggaman fiksi. Fiksi dan cerita-cerita penuh kebanggaan yang menenggelamkanku ke dalam kubangan hitam. Hatiku tidak lagi sebening kemarin. Buyar dan perlahan menjadi tiada. Aku lupa bagaimana menjalani hidup. Namun tetap, setengahnya kusisakan untukmu.
***
Layaknya musim yang dibentuk oleh khatulistiwa, aku berusaha mengakhiri sesuatu yang kumulai, atau malah, memulai sesuatu yang telah kuakhiri. Namun; seperti yang kukatakan sebelumnya, “Apa yang berakhir, akan selalu menjadi akhir, dan tak bisa menjadi suatu awal.” Yang kumulai adalah sesuatu yang baru, menjadi inkarnasi dari suatu ketiadaan. Dan aku memang berharap untuk memulai dari masa dimana kenyataan tidak pernah dilahirkan. Jika kuulangi waktu, aku tak akan membiarkan gadis tercantik itu dinamai Cleopatra; akan kuganti namanya dengan namamu sehingga dalam sejarah peradaban manusia, namamulah yang akan dipuja-puja oleh kaum Adam untuk selamanya. Dan apabila bisa, aku akan kembali ke masa dimana mereka memberi nama planet itu dengan nama dewa-dewi. Tidak akan kubiarkan, planet yang cantik itu diberi nama Venus; namamulah yang akan kujadikan nama planet itu, kasih. Dan kau menjadi yang terindah di galaksi ini, bersanding dengan Saturnus. Aku tidak mungkin mencintaimu apabila aku tidak yakin kalau aku bisa membahagiakanmu. Alunan cintaku mungkin hanya terdengar lewat kicau burung gagak yang hendak menyemaikan benih cinta pada sayap-sayap patah burung merpati. Mungkin kau tak pernah merasakan, bahwa selamanya aku membelai lembut dirimu melalui ombak-ombak dan pasir di pantai yang kau datangi ketika kau muram dan sedih. Dan aku, selalu menghangatkanmu setiap fajar tiba, meskipun kau tetap enggan untuk membuka mata. Aku menjadi matahari yang memelukmu melalui debu jalanan, melalui asap kendaraan bermotor. Aku selalu memberi apa yang tak pernah kau minta meski kau perlukan. Penghapusan dari segala penyesalanku adalah waktu. Aku harus memulai sesuatu yang bukan berasal dari suatu akhir. Aku harus pergi, meninggalkan penyesalan yang abadi. Aku akan menjadi ilusi dari segala imajinasi yang mengudara di langit-langit kamarku. —Kalimalang, 19 Juli 2011—-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H