Setelah sekian lama menjadi cheerleader dan silent reader, saya beranikan diri menulis artikel ini. Bukan hal penting sih, cuma unek-unek. Itupun unek-unek dari seorang supir truk pantura, lebih gak penting lagi (mungkin).
Sudah sekian lama, sekitar setahun, kompasiana jadi semacam rujukan saya tentang bola Indonesia. Media mainstream? Tidak ada waktu nonton tv, paling Jawa Pos di pangkalan saja saya baca, itupun dalam versi kadaluarsa, setelah beberapa hari rilis baru baca.
Versi terbaru berita kisruh PSSI memasuki periode baru dengan kembalinya empat exco ke pengurusan PSSI yang sah sudah banyak diulas teman-teman master kompasioner disini. Bagi saya ada yang mencerahkan, ada pula yang membuat naik pitam. Jujur saja, saya pendukung PSSI dengan paradigma baru, yang lebih profesional dan bermartabat, dibanding kepengurusan sebelumnya. Salut saya dengan kepengurusan baru, yang dengan demikian dahsyat mengalami cobaan dan tamparan dari kanan kiri namun tetap kukuh dengan programnya.
Tapi, sepertinya kekukuhan itu harus luntur juga pada akhirnya. Mafia memang terlalu kuat menguasai negeri ini, preman adalah penguasa di negeri ini, koruptor adalah bangsawan di negeri tercinta ini. Seberapa kuat pun kita teriak kebenaran di tengah gemuruh kemunafikan negeri ini, niscaya hanya jadi desahan angin yang cepat berlalu, tak berbekas, atau malah dianggap kentut.
Sama seperti kasus kembalinya exco, yang menurut hemat saya, tidak lebih dari pada hasil politik dagang sapi pemerintah. Damai tapi busuk. Terlihat seperti mawar tapi berduri racun.
Bagi saya, mendukung organisasi seperti itu is done, fin, finish. Sama seperti SAYA SUDAH TIDAK PERNAH LAGI MENDUKUNG PEMERINTAHAN INI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H