Mohon tunggu...
Kak Ian
Kak Ian Mohon Tunggu... -

Paling benci dengan pembully dan juga benci dengan orang-orang yang dengki sama orang yang sukses. Karena mereka adalah penjahat yang nyata!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yang Keluar dari Mulutnya Lalu Mengendap di Telingaku

27 September 2017   18:55 Diperbarui: 29 September 2017   20:12 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepagi itu tetanggaku sudah mengeluarkan racun dari mulutnya. Setiap ia bercakap selalu saja ada yang terlukai. Aku selalu saja tercengang bila ia sudah buka mulut. Ia tak akan berhenti jika belum mengetahui urusan itu---sekiranya mengganggu tempurung otaknya. Dengan berbagai cara apa pun ia harus mendapatkannya!

Ibarat, seperti cacing kepanasan. Begitu bila aku sebut. Nguletsana. Nguletsini. Tak bisa diam. Apa pun segera ingin diketahuinya...

Seperti pagi ini ia membicarakan tetangga baru yang pindah dekat rumahku. Dengan membabibuta ia menceritakan jika tetanggaku---yang baru pindah itu---adalah istri simpanan seorang pejabat daerah. Karena saat kepindahaannya itu tidak ada yang mengetahuinya. Hanya keluargaku (Ayah, Ibu dan aku) serta Pak RT dan warga setempat yang mengetahuinya. Jika ia pindah bersama pembantunya saja. Apalagi saat ia pindah dalam keadaan perutnya membuncit. Dalam keadaan hamil. Jadi hal itu menjadi makanan empuk untuknya.

Dan pagi itu menjadi muram oleh mulutnya yang begitu pedas dan kotor. Kami yang melihat ia berlaku seperti itu hanya mengelus dada saja. Nanti jika ia lelah akan berhenti bicara. Begitu pikiran kami.

***

Ternyata mulutnya (masih) selalu berkicau. Tak berhenti berucap. Ada saja yang dilontarkannya. Kalau perlu sumpah-serapah ia keluarkan pula. Dan baru merasa puas dan berhenti bila ada yang terpancing dan termakan oleh cakapnya. Astaghfirullah...

Bertetangga dengannya, hampir tiga puluh tahun lamanya hal itu membuat Ayah dan Ibu mahfum halnya aku. Sudah mengerti betul sifat dan karakter yang ditampakinya. Apalagi ia seorang perempuan. Masih gadis pula. Atau, perawan tua.

Karena diusianya yang sudah berkepala 4  itu belum juga menikah. Belum terjamah sama sekali oleh tangan kekar laki-laki. Apalagi usiaku 25 tahun saat ini---dan  aku lihat tak ada seorang lelaki pun menjambangi rumahnya. Maka dari itu lebih baik tak mencari perkara dengannya. Mencari aman saja. Itulah yang aku lakukan sekeluarga bila berurusan dengannya.

Bukan. Bukan, aku tak peduli dengan perempuan yang belum menikah itu. Tapi itulah yang aku lakukan sekeluarga! Tak ingin menimbulkan asap membumbung tinggi lagi dengannya kembali. Kalau pun diperlukan aku siap memancangkan bendera putih sebagai tanda damai. Bukan mengalah berarti kalah?

Ayah pernah kena getahnya saat ingin memisahkan perawan tua itu---yang sedang beradu mulut dengan tetanggaku yang lainnya. Ia saling mencaci-maki. Saling hina-dina. Musababnya, aku pun tidak tahu pasti! Tapi karena hidup bertetangga tentunya harus saling membantu dan menolong. Apalagi itu sebuah kemungkaran di depan muka! Sudah pasti semestinya membasmi kemungkaran itu. Melihat ia itu saling melemparkan kata-kata sundal---yang tak patut dikeluarkan. Ayah  pun mencoba untuk melerainya.

Namun apa yang Ayah dapatkan saat itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun