Saya membawa sebilah belati panjang ditangan kiri, dan Mandau (Parang khas Kaltim) di tangan kanan. Berjalan menuju pusat kota yg saya fikir itu terletak di kawasan persimpangan jalan Pahlawan dan Kusuma Bangsa. Lebih tepatnya di depan hotel Mesra yg terkenal dengan keasriannya. Toa memang saya persiapkan untuk mendukung saya berteriak. Para mata pengendara tertuju kepada saya. Karena saya menggeser Mandau panjang ke permukaan aspal dan membuat bunyi pekik dan mempercikan sedikit api.
Terik matahari siang tepat jam 12 tidak mengendorkan keinginan saya untuk menantang siapapun yg menghina Samarinda!
Saya melihat polisi berdatangan ke lokasi dimana saya akan berteriak dan menantang. Saya masih berjalan menuju lokasi yg strategis. Disana ada sebuah patung bergaya suku dayak asli Kalimantan. Begitulah saya berpakaian. Tanpa kain di dada, hanya tertutup kain berbahan kulit binatang entah dari binatang apa. Celana yg saya kenakan celana pendek hitam ditutupi dengan rumbai-rumbai agar mirip seperti orang Dayak aslinya. Saya heran, mungkin beberapa orang telah melaporkan apa yg saya lakukan. Dan lebih heran lagi, polisi tidak mencegah saya.
Saya naik ke-taman tepat dipersimpangan. Berdiri tepat bersandingan dengan patung yg perkasa itu. “SAYA MENANTANG KALIAN UTK BERDUEL!!! SIAPAPUN YG MENGHINA SAMARINDA TENTANG KEHANCURAN INFRASTUKTURNYA BERARTI DIA MUSUH SAYA!!” begitulah saya berteriak. Terus-terusan.
saya sudah bosan dengan semua ini, debu yg meningkat drastis produksinya membuat saya ingin menantang siapa saja yg mengeluh tentang Samarinda. Walaupun pejabat atau polisi sekalipun. Sesekali saya menunjuk kearah polisi yg menjaga “Hey kamu!!! KENAPA TIDAK MENANGKAP SAYA, Menyentuh saya berarti MATI!!!” polisi itu memilih diam. Apakah karena saya tak membuat onar dan tak menggangu lalu lintas jalan? Padahal, sekelompok orang telah memarkirkan kendaraannya dipinggir jalan dan menonton tingkah saya. Sebagian lagi mengeluarkan handphone utk mengambil foto atau merekam lewat handphone. Malah tambah beringas saya!
tiba-tiba saya mendengar jeritan seorang perempuan tua tepat berdiri disebelah polisi. “Naaaak, turun naaak” suara rintih dari seorang Ibu. Ternyata wanita itu adalah Ibu saya. Ibu yg melahirkan saya dari Rahimnya. Yg juga menjaga saya, dan menyekolahkan saya. Semua Ibu lakukan demi saya menjadi manusia berguna. Ya. Saya ingin berguna. “Jangan ikut2 kesini Ibu!, saya lakukan ini buat Ibu. Agar tak ada lagi keluarga Ibu yg diluar sana menghina Ibu karena Samarinda yg berdebu” teriak saya lagi. Saya meliat ibu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Apakah ibu menangis?
Ada terdengar teriakan lelaki dengan rambut gondrong menantang saya. “Paling-paling kamu tidak BERANI mengayunkan Mandau itu!!” tantang lelaki itu. “Maju kalo berani” saya membalas. “Tapi, apakah kamu membenci SAMARINDA?” lanjut saya. “Tidak mungkin aku membenci, saya lahir disini, dan mencari uang disini” balas lelaki gonrong itu. “kalo begitu kamu bukan musuh saya, menjauhlah!”
“Kamu GILA!” dia berteriak lagi. Saya tak menghiraukan. Saya berteriak lagi, “SAYA MENANTANG KALIAN UTK BERDUEL!!! SIAPAPUN YG MENGHINA SAMARINDA TENTANG KEHANCURAN INFRASTUKTURNYA BERARTI DIA MUSUH SAYA!!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H