Kepopuleran Doc Mart tidak hanya berhenti pada kalangan pecinta musik saja, namun mulai merambah dalam dunia fashion, tepatnya pada saat tahun 2000an Dr. Martens memutuskan berkolaborasi dengan fashion designer ternama, seperti; Commes des Garcons dan Yohji Yamamoto.
Maka dari itu stigma trendy, fashionable, dan funky kuat melekat pada pengguna sepatu Dr. Martens. Tanpa disadari atau tidak, sengaja atau tidak sepatu tersebut membentuk citra diri penggunanya melalui proses pembentukan sosial yang melewati sejarah panjang seperti cerita di atas.
Jika dipandang melalui konsep habitus yang dicetuskan oleh Bourdieu, fenomena citra diri yang ditampilkan oleh pengguna sepatu Dr. Martens berhasil terbentuk melalui proses struktur sosial yang berhasil diinternalisasikan sebagai sebuah wujud sepatu. Perjalan pengguna dari berbagai kelas Dr. Martens dari awal dibentuk hingga saat ini memberikan cerminan diri pada penggunanya, hal tersebut dipahami secara kolektif yang telah melalui histroris yang sangat panjang (Bourdieu, 1977).
Lalu bagaimana struktur atau pembentukan sosial mengenai citra diri pengguna Dr. Martens itu dapat terbentuk? Konsep ranah Bourdieu akan menjawab hal tersebut.
Ranah dapat diartikan sebagai ruang yang memiliki struktur dengan azas fungsinya masing-masing, dengan hubungan antar relasi kekuasaan (Bourdieu, 1977).Â
Agen-agen yang terlibat dalam pemasaran Dr. Martens memiliki kuasa simbolik yang erat kaitanya dengan habitus untuk membentuk persepsi dan apresiasi pada produk yang telah mereka produksi. Hal ini tampak dengan bagaimana mereka dapat mencapai pasar pada kalangan subkultural tertentu, baik kalangan pecinta musik hingga merambah pada dunia fashion.
Agen yang telah disebutkan diatas dapat menjadi modal sosial menurut pemikiran Bourdieu. Modal tersebut dimanifestasikan melalui jalinan hubungan dan jaringan yang nantinya akan memiliki kekuatan untuk menentukan reproduksi kedudukan sosial bagi para pengguna Dr. Martens.
Lagi dan lagi derap langkah sepatu Dr. Martens memiliki kekuatan aura tersendiri bagi siapa saja yang mendengar dan melihatnya. Namun jangan lupa, tentu saja kekuatan citra diri tersebut didapatkan melalui proses pembentukan sosial yang telah melalui histroris cukup panjang.
Sumber:
Borgeson, K., & Valeri, R. M. (2017). Skinhead history, identity, and culture. Routledge.