Mohon tunggu...
Sebastian Bintan
Sebastian Bintan Mohon Tunggu... -

adalah aktivis muda yang kritis. Lahir di Tanjung Uban-Kabupaten Bintan,Kep.Riau. Saat ini sedang mengenyam Pendidikan S1 di Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemahasiswaan. Aktif menulis dalam rubrik pariwisata dan di Tabloid Sinar Pelangi dan Penulis Lepas pada Forum Lingkar Pena.\r\n Saat ini Menjabat sebagai Sekretasis Jenderal Forum Melayu Rembug yang ada di Yogyakarta, sedang merintis usaha UTARA SYNDICATE yang bergerak di bidang Handycraft. Pernah menjadi aktivis di IKPMDI, IKPM Kepri Jogja, dan Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia. Temui saya juga di http://sebastian-nomor1.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nongkrong; Menyibak Malam, Menyisir Realita

15 Januari 2012   23:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjadinya sebuah gerhana tidaklah menghilangkan atau melumat habis sang matahari, melainkan hanya sekedar menyembunyikannya untuk sesaat. Demikian yang pernah dikatakan Martin Buber dalam satu kesempatan. Dan masih menurut Plato bahwa yang sesungguhnya di butuhkan manusia bukanlah kebenaran matahari, melainkan makna terangnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua penguatan diatas melukiskan sebuah makna tersirat yang mencoba melogikakan setiap fase kejadian atau fenomena yang terjadi diatas bumi fana ini. Kebermaknaan sebuah fenomena tersebut tidak bisa ditarik dalam ukuran satu pandangan saja, melainkan banyak pandangan bertumpuk dan bahkan tak terpermanai. Pun begitu saat kita melihat perubahan social yang terjadi di beberapa daerah termasuk Jogjakarta.

Ketika malam mulai membayang, kesibukan di kota yang berpredikat ‘Kota Pendidikan dan Budaya’ ini tidaklah lantas menjadi suram juga. Melainkan sekian aktivitas tetap berlanjut. Saat matahari perlahan bersembunyi di balik kelam, kita bisa menyaksikan setumpuk aktivitas dan kreasi dilakukan masyarakat dan mahasiswa yang ada di Jogjakarta. Hampir semua tempat menjadi ruang-ruang tersendiri bagi beberapa penikmat malam kota Jogja. Banyaknya mahasiswa yang datang dari luar daerah Jogja, menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai perkembangan ide dan gagasan. Pencarian sebuah makna ide dan gagasan tidaklah mutlak harus berada dalam kelas, tetapi juga di dapat dari tempat berbeda dalam waktu yang berbeda pula. Fenomena berkumpulnya mahasiswa di malam hari merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang tidak hanya menjadi ciri khas kehidupan sekarang, tapi kadang menjadi kebutuhan bagi sebagian mahasiswa dalam berbagai pergulatan realitasnya.

Nongkrong, begitu kebiasaan ini sering di sebut, memang tidaklah bisa dilepaskan dari sisi positif dan negative. Banyak sebagaian masih menganggap kebiasaan nongkrong mempunyai implikasi yang kurang baik bagi kehidupan seseorang. Kebiasaan nongkrong kadang sering di identikkan dengan berbagai tautan predikat miring seperti begundal, berandalan, orang yang tidak jelas, bahkan ada juga yang mengatakan jalang. Tapi semua itu adalah riak-riak kecil yang tidak harus di ambil pusing. Karena dari sekian aktivitas malam, dengan nongkrong juga nyatanya banyak melahirkan ide dan gagasan. Bahkan dengan kebiasaan nongkrong juga banyak melahirkan relasi yang bermanfaat kemudian hari.

Seperti yang di ungkapkan Lia (mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jogja) bahwa dengan nongkrong, dia bisa menghilangkan penat karena kuliah dan diskusi banyak hal dengan teman-teman. “Nongkrong juga bagi saya ada juga manfaatnya, seperti menyambung relasi. Misalnya aku disini kan kebetulan ikut salah satu agency manajemen, dan di salah satu teman nongkrong itu ada juga teman yang berprofesi sama dan dia kadang menawarkan peluang-peluang syuting dan sebagainya. Nah itu juga salah satu manfaatnya selain juga dengan nongkrong itu mempererat persahabatan, pertemanan, tali persaudaraan juga yang tadinya kurang akrab menjadi akrab. Memang nongkrongnya sering malam karena siangnya mereka ada kesibukan masing-masing juga, kuliah, kerja dan sebagainya. Nah kalau malem semuanya sudah tidak beraktivitas lagi, itulah saat kami ningkrong bareng, bersenda gurau sambil menambah keakraban” ungkap Lia saat di wawancarai penulis.

Sama dengan Lia, pandangan Regia, seorang mahasiswi AMS Santa Maria Semarang yang di temui di salah satu tempat nongkrong, mengungkpakan bahwa nongkrong itu tak selamanya buruk. Banyak sekian problem yang bisa di cairkan dari tempat nongkrong. Terutama menghilangkan penat dan stress karena kesibukan kuliah. Dengan nongkrong juga, kita bisa memperbanyak teman dan kenalan serta berbagi pengalaman dan informasi. Kebiasaan nongkrong ini memang tak dilakukan setiap hari, melainkan ada saat-saat tertentu saja. “Aku nongkrong itu kalau lagi banyak tugas, galau dan sebagainya. Nongkrong pun bagiku juga tergantung keadaan. Misalnya kalau kuliah masuk pagi, maka mungkin kalau nongkrong, sebisanyanya pulang tidak terlalu malam. Aku juga biasanya suka nongkrong di tempat yang mempunyai fasilitas. Karena selain minum-minum kopi, teh dan sebagainya, aku nongkrong itu juga sekalian untuk mengakses berbagai kebutuhan kuliah” ungkap Regia dengan senyum.

Begitupun dengan Memel, seorang mahasiswi Universitas Respati Jogjakarta yang mengungkapkan bahwa nongkrong juga bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan lainnya. Kalau biasanya mencari tugas harus datang ke warnet, itu juga makan biaya lagi, enakkan sambil nongkrong dengan minum-minum teh, juga bisa mencari tugas. Karena hamper semua tempat nongkrong sudah di fasilitasi hotspot yang bisa di gunakan dalam mencari tugas-tugas kuliah. Jadi biaya yang seharusnya bayar kalau di warnet, dengan nongkrong di tempat yang ada fasilitas hotspotnya, bisa di gunakan untuk minum-minum dan santai bersama teman-teman. Masih menurut Memel, mengenai pandangan negative, baginya semua itu tergantung orangnya. Memang ada yang bersifat negative, tapi ada juga yang positif. Baginya kalau bisa positif kenapa harus negative. “Belajar di dalam kelas saja terkadang tidaklah bisa di pahami semua. Dengan mengulasnya kembali secara informal seperti nongkrong, terkadang menjadikan kita paham dengan sesuatu itu. Jadi kenapalah nongkrong harus dimaknai negative. Nongkrong menjadi negative kalau kita terbawa arus modernisasi yang bablas. ” tuturnya heran.

Lain lagi dengan Tommy, seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta. Menurutnya, nongkrong itu banyak sekali alasan dan maknanya. Penuturannya yang berapi-api, menyiratkan bahwa beliau selain mahasiswa aktif, juga pekerja sosial. Nonglrong baginya bukan saja sebagai hura-hura, kumpul-kumpul semata atau kongkow-kongkow tidak jelas. Nongkrong baginya lebih mendekatkan diri pada persoalan-persoalan. Dari nongkrong banyak hal bisa di diskusikan dan dilakukan. “Ya seperti yang saya bilang bahwa banyak sekali alasannya. Senang-senang, cari perhatian, bahkan diskusi semuanya pernah saya lakukan. Diskusi misalnya, hampir seminggu sekali. Nah perlu suasana berbeda dong biar diskusi berjalan enak. Bagaimana mau menangkap maksud dan tujuan yang kita diskusikan kalau rasa dan pikiran tidak mood. Pun begitu kalau saya memimpin diskusi, saya lebih senang mengajak mereka keluar, tempat nongkrong seperti kedai 24 atau Kebun Laras kedai. Bahkan sampai tengah malampun tidak apa-apa. Semuanya tergantung suasana” ungkapnya.

Dari kebiasaan nongkrong, baginya banyak manfaat yang bisa dihasilkan. “Banyak sekali manfaat dari nongkrong itu sendiri. Ini bukan berarti saya membela diri. Tapi asumsi yang saya dasari dari bukti yang saya dapatkan. Nongkrong itu kan bahasanya saja. Bahasa orang modern walau entah dari kapan di populerkan. Mas nya tahu gak kapan itu mulai populer...?? tidak tahu kan. Makanya saya bilang itu hanya bahasa saja. Kenapa saya bilang banyak manfaatnya, contohnya kami, saya dan kawan-kawan kadang merumuskan sesuatu tentang sosial yang ada. Misalnya di tempat nongkrong kami membicarakan kemiskinan, kelaparan atau lainnya. Terus banyak hal yang kami tarik dari setiap pembicaraan yang akhirnya kami sepakat untuk memulai melakukan antisipasi dan mencari dukungan orang-orang agar mau membantu orang yang menderita tersebut. Dari tempat nongkrong kami membangun kantong bantuan untuk di salurkan. Memang tidak seperti foundation, kami hanya praktis saja. Kadang dilakukan minggu ini, bisa saja beberapa bulan kemudian di lakukan lagi. Jadi tidak rutin. Tapi yang saya ingin katakan bahwa dari sana kami bisa. Contoh lainnya juga dri tempat nongkrong kami pernah mengadakan penggalangan bantuan untuk anak-anak terlantar dan korban lelaki tak bertanggungjawab. Coba tanya di Yayasan Sayap Ibu. Di sana kami juga kenal dan biasa membantu mereka. Kalau di lihat aduh kasihan sekali. Tapi ya berkat nongkrong bahkan orang disana mampu kami mintai dan memberikan sesuatu demi saudara yang lainnya itu. Itu contoh manfaat yang kami dapatkan dari tempat nongkrong yang kadang dikatakan orang tidak jelas. Banyak sekali manfaatnya deh. Tidak hanya kuliah saja yang bermanfaat, nongkrongpun banyak manfaat. Banyak hal juga bisa di bicarakan saat nongkrong. Kalau di kampus hanya sebatas tansfer ilmu pengetahuan saja,di tempat nongkrong bisa membeda teorinya itu. Mas nya juga sebelum datang kesini pasti juga nongkrong dulu walaupun itu untuk membicarakan agenda kedepan seperti ini. Jadi nongkrong itu its ok saja. Menjadi negatif kalau orang itu berpikir negatif. Kalau selama bisa berpikir positif maka positif ajalah. Kadang orang bilang tak ada gunanya nongkrong, lebih baik daripada keluyuran, mending di rumah atau kost saja. Itu saya tegaskan bahwa hanya orang bodoh yang berpikiran seperti itu. Nongkrong itu hal biasa, bahkan pejuang masa lalu melebihi nongkrong kalau perlu tahu, bergerilya mereka lakukan. Apa bedanya. Gerilya itu membahas sesuatu dan melakukan sesuatu. Nongkrong juga membahas sesuatu dan melakukan sesuatu. Jadi apa bedanya. Tapi memang semua orang punya kelebihan berbeda dan itu tidak bisa di samakan. Bagi ilmuwan nongkrong memang membuang waktu, tapi bagi orang yang bergiat di sosial masyarakat, nongkrong itu adalah emas. Akan menjadi lebih mulia emas tersebut kalau menjadi hasil jelas seperti kenyataan yang dilakukan apalagi di bukukan. Dari tempat nongkrong juga kami pernah membahas tentang seni budaya. Contohnya pernah kami nongkrong di Pakualaman, kemudian sedikit demi sedikit pembicara tidak formal tadi mengarah ke suatu tujuan yaitu pentas seni budaya. Sedikit di analisakan, akhirnya kami sepakat untuk membuat acara tersebut. Lalu kendala lagi dari mana biayaya. Malam berikutnya ketika nongkrong lagi kami mampu memecahkan persoalan biayanya dengan membuat dan menggodok proposal. Akhirnya acara jalan, apresiasi terhadap budaya pun juga jalan. Semua bermula dari tempat nongkrong. So why not dengan nongkrong...??? ada juga hal lainnya yang kami lakukan lagi dimulai dari tempat nongkrong. Peringatan sumpah pemuda kami ansos kan dari tempat nongkrong. Itulah bukti bahwa negarapun bisa di bicarakan dari tempat nongkrong yang akhirnya tanggal 28 kemarin aksi keprihatinan nasional kami mulai dari tempat nongkrong. Bahkan kalau orang biasanya masuk dalam suatu komunitas tertentu, dari tempat nongkrong kami bahakn bisa membuat komunitas. Memang hasil nyata yang terakhir masih gelap. Kami berusaha membuat artikel, sejenis kumpulan pikiran dan ide tentangJogja atau puisi-puisi. Semuanya bisa di tuliskan, baik buruknya. Rencananya kalau bisa itu bisa di buku kan. Tapi itu masih rencana jangka panjang karena banyak hal terkait penulisan yang harus kami pahami biar hasilnya tidak hanya menjadi pembungkus nasi kucing atau kacang rebus semata. Mudah-mudahan bisa terealisasikan. Itulah manfaatnya, ternyata banyak hal bisa dilakukan. Kita tidak boleh sembarangan menjustifikasi seseoarang yang suka nongkrong itu adalah kebiasaan buruk. Apakah ada yang tahu apakah Soekarno, Hatta, yahrir, Tan Malaka, Yamin dan lainnya tidak suka nongkrong. Bisa saja mereka dahulu juga suka nongkrong dan kemudian menghasilakan sesuatu. Kalau masalah nilai kuliah bagi saya itu hanya syarat administratif saja. Itu hanya di senangi oleh orang-orang yang lebih menunjukan penampilan luar, biar kelihatan bagus tetapi kadang busuk didalamnya. Kalau menurut banyak orang, itulah kadang yang dikatakan melek hurup tapi buta realita. Banyak sekali itu, orang cerdas, pintar tapi akhirnya ya seperti pejabat negara baik di daerah maupun nasional, hanya mampu memintar-mintari masyarakat. Artinya mengadal-ngadali masyarakat nya sendiri. Apakah itu yang dikatakan cerdas..??? Cerdas dan pintar itu harus di kaitkan dengan realita dong. Misalnya pintar ekonomi, apakah perekonomian di sekitarnya berubah gak...kalau berubah lebih baik itu tepat. Tapi kalau tidak berubah apa-apa bahkan merosot itu bodoh namanya. Makanya saya bilang nilai itu hanya syarat administratif belaka. Apakah ada yang tahu berapa IPK Bung Karno sewaktu kuliah...?? tidak ada yang tahu kan. Itulah realita, walaupun ada ketidak jelasaan, bukan berarti seseorang tidak bisa melakukan sesuatu. Itulah juga kelebihan yang di beri Tuhan kalau kita percaya denganNya. Nyatanya Bung Karno mampu jadi arsiteknya negeri ini. Bukan hanya bisa membangun rumah, jembatan dan sebagainya. Tapi negara di bangunnya. Bisa jadi secara akademik nilai bung Karno tidak jelas karena tidak ada yang tahu berapa IPK nya tapi beliau mampu membuktikan bahwa beliau bisa. Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa Bung Karno dan kawan-kawan selalu diskusi terus-terusan, pasti ada juga pembahasan yang dilakukan dengan suasana santai sambil bersenda gurau. Itulah nongkrong bagi saya. Jadi tidak ada salahnya kan” tuturnya.

Jadi, melihat fenomena nongkrong tidak bisa kita maknai dari satu sisi saja. Kebiasaan nongkrong ini justru membawa kesan tersendiri bagi sekalangan orang. Disamping efek negatif yang besar, efek positifnya pun juga tak kalah besar. Lagi-lagi semuanya tergantung manusia itu sendiri. Terlepas apakah ini jerat kapitalisme, liberal atau sederet ideologi lainnya. Kebiasaan nongkrong bukanlah sebuah permasalahan. Yang jelasnya, membangun kesadaran, menciptakan solidaritas sesama untuk peka terhadap realita, menumbuhkan atmosper toleransi yang dalam sangat di perlukan bagi bangsa yang sedang terkoyak ini. Kalau dengan kebiasaan nongkrong bisa membangun persatuan dan menggalang kesatuan, so kenapa tidak. Seperti kata Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir Majalah TEMPO 2 November 2008 bahwa sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worsward Ho, “Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun