Mohon tunggu...
Sebastian Bintan
Sebastian Bintan Mohon Tunggu... -

adalah aktivis muda yang kritis. Lahir di Tanjung Uban-Kabupaten Bintan,Kep.Riau. Saat ini sedang mengenyam Pendidikan S1 di Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemahasiswaan. Aktif menulis dalam rubrik pariwisata dan di Tabloid Sinar Pelangi dan Penulis Lepas pada Forum Lingkar Pena.\r\n Saat ini Menjabat sebagai Sekretasis Jenderal Forum Melayu Rembug yang ada di Yogyakarta, sedang merintis usaha UTARA SYNDICATE yang bergerak di bidang Handycraft. Pernah menjadi aktivis di IKPMDI, IKPM Kepri Jogja, dan Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia. Temui saya juga di http://sebastian-nomor1.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meretas Masalah Pendidikan di Indonesia

15 Januari 2012   23:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Membicarakan masalah pendidikan memang tak pernah lekang selama pendidikan itu sendiri masih dibungkus oleh kepura-puraan, nafsu memperebukan kedudukan dan pemaksaan satu flatfom berpikir bersama terhadap seluruh rakyat. Pendidikan sebagai garda terdepan kemajuan, seharusnya mampu membangun karakter bangsa, mempengaruhi budaya dan membentuk paradigma berfikir yang progresif dan visioner. Jadi, mengingat kacaunya sistem dinegeri ini, sudah seharusnyalah pemerintah lewat instrumennya totalitas dalam mewujudkan semua itu sesuai dengan amanah konstitusi. Tapi lagi-lagi, pendidikan dinegeri ini seperti tidak jelas arah yang ingin dicapai. Masih banyaknya permasalahan dalam dunia pendidikan sepertinya menjauhkan harapan undang-undang dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan lahirnya generasi pemuja trendi dan gaya hidup tak bisa kita lepaskan dari peranan pendidik. Tentunya ini membuat kita bertanya, kenapa sekolah tidak lagi berdaya untuk memberikan harapan dan juga tidak berdaya menghasilkan manusia yang tangguh menghadapi tantangan moral maupun intelektual. Kenapa proses pembodohan masih saja terjadi. Bahkan tersistematis. Padahal pendidikan harus menjadi penunjang kemerdekaan. Lalu apa yang sebenarnya salah dalam negeri ini, sistem kah, sekolah kah, orang tua, murid ataukah guru? Benarkah sekolah menjadi ladang persemaian dari proses pencapaian itu? Benarkah guru yang memberikan arti dari proses persemaian itu? Benarkah anak didik berjiwa merdeka setelah berproses dalam pendidikan?

Pada dasarnya, esensi pendidikan itu ialah membangun, membentuk dan menghasilkan manusia yang merdeka. Merdeka jiwanya dan merdeka batinnya. Merujuk pada konsep Ki Hadjar Dewantara (K.H Dewantara Bag. Pertama; Pendidikan, 2004), mendidik itu sendiri adalah berdaya upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-pikiran-roh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan, jangan disertai dengan perintah dan paksaan. Jadi teranglah bahwa pendidikan bisa diartikan sebagai tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Nah jelas sekali esensi pendidikan kalau dilihat dari penjelasan itu. Tapi, seiring perjalanan waktu, esensi itu hilang dan tergantikan oleh teori-teori yang substansinya menjajah. Jadi pendidikan tidak seperti yang di gariskan KHD yang totalitas melayani kebutuhan generasi dalam negeri, membebaskan anak dari semua bentuk penjajahan dan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat undang-undang, tapi pendidikan sekarang hanya sebatas perahan oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu (kapital dan neoliberal). Padahal, kalau merujuk pada petunjuk pendahulu, maka permasalahan pendidikan seharusnya dapat diminimalisir bahkan ditiadakan. Bahkan sampai masalah pedagogik (sistem among). Lebih dari itu, guna menunjang kemerdekaan lahir dan batin sang anak didik yang nyata, KHD pun dengan tegas menyatakan bahwa antara guru dan murid dibangun relasi yang menyerupai seperti rekan (partner) dalam proses belajar mengajar. Jadi dengan cara itu, maka praktik dikotomis bisa diminimalisir. Tapi nyatanya, pendidikan kita bukannya meminimalisir dikotomi tersebut, malah sebaliknya sengaja dipelihara. Pendidikan dengan guru sebagai instrumennya, sengaja memelihara phobia tersebut agar menekan arus kritik atau masukan terhadap sosok guru yang ’katanya’ berwibawa. Dengan adanya dikotomi ini akhirnya menimbulkan perbedaan dimana guru ditempatkan sebagai patron dan murid sebagai klien. Jadi seolah-olah guru adalah seorang ’resi’ yang tidak bisa dibantah, sekalipun salah (jadi benar seperti yang dikatakan bahwa nasib murid ada ditangan (tepatnya: ujung pena) sang guru. Berani melawan guru bisa berakibat buruk meskipun sebenarnya guru sendiri yang salah. Bahkan jangankan berani melawan guru, membantah saja sudah pasti alamat buruk).
Tentunya dari kekacauan sistem dan metoda pendidikan yang ada sekarang, mengingatkan kita pada kritik metode pendidikan gaya bank (banking concept education) Paulo Freire, dimana murid diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak-anak didik.
Sementara itu, anak didik pun lantas di perlakukan sebagai ’bejana kosong’ yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman ’modal ilmu pengetahuan’ yang akan dipetik hasilnya kelak. Ini setali tiga uang dengan konsep ’TabulaRasa’ Jhon Locke, dimana anak didik diposisikan sebagai instrumen yang hanya bisa menerima saja apa yang dikatakan oleh guru. Sehingga model pendidikan akhirnya hanya menjadi tranfer ilmu pengetahuan semata antara sang guru dengan sang murid dengan mengekang alam bawah sadar sang anak didik tanpa perlu mereka melakukan kritik otokritik terhadap sistem yang selalu berubah setiap waktu. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingatkan dan dihapalkan tanpa memberikan kemerdekaan bagi sang anak didik untuk menganalisa dan menentukan sendiri apa yang dicarinya.

Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan ’gaya bank’ itu ialah (1) guru mengajar, murid belajar (2) guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa (3) guru berpikir, murid dipikirkan (4) guru bicara, murid mendengarkan (5) guru mengatur, murid diatur (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti (7) guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan gurunya (8) guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri (9) guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid, dan (10) guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya - Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasi diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal (Paulo Freire; Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, 2007).

Implikasinya, menurut Freire, lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dahulu. Sistem pendidikan, karena itu menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status quo sepanjang masa yang menjadikan anak didik sebagai manusia terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya (sangat berbeda dengan yang pernah di impikan KHD bahwa dengan pendidikan akan menggiring manusia menuju kemerdekaannya baik batin maupun lahirnya), bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) kearah perubahan dan pembaharuan. Dengan pendidikan semacam itu, maka anak didik pada akhirnya menjadi makhluk-makluk mitos pemuja simbol-simbol duniawi lewat angka-angka yang diberikan oleh guru. Anak didik sengaja dilekatkan pada proses penciptaan rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan (nekrofili) dan bukannya melahirkan kecintaan pada segala yang memiliki jiwa kehidupan (biofili)’ (Erich Fromm, 1966).

Tidak hanya itu, realitas negeri ini selalu memperlihatkan keberingasannya dalam membentuk pola yang seragam dari setiap lintas generasi. Alasan-alasan klasik acapkali menjadi tameng yang sesungguhnya kontra rakyat dan inkonstitusi. Lihat saja contohnya anggaran untuk pendidikan yang selalu tersendat selama-lamanya. Sehingga berimbas pada pemenuhan kebutuhan dalam pendidikan seperti fasilitas dan sebagainya. Pendidikan masih dijadikan ’anak tiri’ (tak jauh berbeda seperti dimasa kolonial) di dalam negeri. Ini bisa kita perbandingkan dengan Jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan ketinggian teknologinya. Mengapa bisa begitu? Mengapa Jepang mampu menjadi negara yang mencipta teknologi sedangkan kita hanya mampu menjadi pengguna teknologi? Itu karena Jepang benar-benar menghargai arti pendidikan, mendahulukan kepentingan pendidikan daripada kepentingan yang lain, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan (M. Joko Susilo; Pembodohan Siswa Tersistematis, 2007). Sedangkan negara kita hanya sibuk membicarakan kedudukan sehingga pendidikan menjadi perhatian yang kesekian. Jadi wajar kalau pendidikan kita mundur. Selain itu, tri pusat pendidikan seperti yang di gagas KHD, tak semuanya berlaku. Bahkan yang terjadi hanya tunggal pusat yaitu pendidikan di sekolah. Celakanya inipun tidak dilakukan secara maksimal dan terlalu banyak ’permainan’ didalamnya, baik oleh oknum guru maupun oleh institusi sekolah. Berbagai kasus seperti korupsi dan lainnya adalah cermin terhadap budaya tersebut. Kurikulum pun juga selalu membingungkan anak didik dimana outcame nya tidak jelas juntrungannya. Artinya pembangunan karakter terhadap anak didik tidak pernah dilakukan. Padahal pendidikan karakter penting peranannya dalam menciptakan watak dan kepribadian. Terjadinya tindakan amoral dan melawan hukum seperti korupsi dan sebagainya adalah buah dari problem mendasar manusia secara moral dan mentalitas yang terkait dengan watak dan kepribadian. Karena pendidikan seharusnya membangun watak yang baik sehingga mampu menjadi pribadi yang baik dan membuat karakter yang baik pula. Sehingga dengan karakter yang baik, mungkin tindakan amoral dan lainnya seperti melawan konstitusi tidak akan terjadi. Tapi perlu diingat bahwa dalam pendidikan karakter, sudah seharusnya terlebih dahulu pendidik harus memenuhi komitmen, integritas dan kapabilitas atau kemampuan dan ketrampilan. Ini supaya pendidikan tidak hanya menjadi sekadar pelajaran biasa yang lebih menekankan pada aspek kognitif saja (Melki AS; SKH Kedaulatan Rakyat; Menunggu Pendidikan Karakter, 01 Mei 2010). Nah, disini sekolah adalah salah satu jembatan untuk membangun karakter itu. Kalau prosesnya buruk, maka akan melahirkan karakter yang buruk pula. Kalau prosesnya baik, maka karakter yang tercipta pun akan baik pula. Celakanya lagi adalah di negeri ini justru tidak ada pendidikan karakter. Bagaimana mau menselaraskan dengan cita-cita nasional ‘Charachter and National Building’? Sementara berbicara proses, lembaga pendidikan pun tidak mampu mengerem itu semua. Justru lembaga pendidikan malah berselimutkan korupsi (termasuk korupsi waktu yang bayak dilakukan para guru. Kalau boleh dibilang, korupsi waktu mengajar adalah termasuk kejahatan pendidikan/educational crime). Sehingga kegagalan pendidikan seperti yang banyak disitir berbagai kalangan menjadi maklum karena ternyata terjadinya berbagai proses pembodohan yang dilakukan sekolah ataupun guru memang sudah tersistemkan.
Nah ini semua yang menyebabkan pendidikan di tanah air ini semakin mundur. Diperparah lagi dengan tidak jelasnya regulasi pemerintah dalam menyikapi bahaya laten kapitalisme yang nyata-nyata merasuk ke dalam dunia pendidikan kita. Contohnya UU BHP. Meskipun sudah dicabut tapi perlu kita catat bahwa ini adalah upaya mengkapitalisasikan pendidikan dimana muaranya adalah menjual pendidikan dengan ber-orientasikan pada profit (bisnis pendidikan) sehingga bisa dibayangkan semakin banyak rakyat akan menjadi bodoh karena semakin susah akses untuk mengenyam pendidikan. Tapi itu tidak perlu dicemaskan lagi karena sudah dicabut. Yang perlu dikhawatirkan juga adalah bahaya laten pasca BHP dicabut. Karena sangat berpotensi terjadinya kanibalisme. Artinya konten yang ada dalam BHP yang telah dicabut itu, bisa saja dikembalikan dalam bentuk dan format berbeda oleh sebuah permen (peraturan menteri). ”Karena pembatalan BHP justru hanya manipulasi terminologi saja yang sebenarnya pemerintah tidak rela oleh pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga berupaya tetap menghidupkan roh (BHP) dengan jasad yang berbeda” tulis Darmaningtyas pada SKH Kompas, Senin 03 Mri 2010. Cara itu ditempuh pemerintah karena disatu sisi tidak mau dituduh melanggar putusan MK, disisi lainnya mereka juga tidak ingin di permalukan atas pembatalan UU BHP. Mereka sudah terlanjur teken kontrak dengan Bank Dunia melalui Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010. Nah kalau ini masih terjadi, tentunya bertentangan dengan amanah konstitusi, dimana hak untuk mendapatkan pendidikan dijamin berdasar undang-undang dan dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Sudah seharusnya rakyat mengerti itu, guru juga mengerti sehingga terjadi pengawasan bersama terhadap policy yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Karena tanpa pengawasan bersama maka memungkinkan untuk terjadi tsunami pendidikan mengingat bahwa manusia sebenarnya adalah homo economicus yang berusaha mencari untung yang sebesar-besarnya meskipun harus menjual dunia pendidikan dll. Bahkan kalau ini terjadi dan terus tanpa regulasi yang jelas, maka bukan tidak mungkin, seperti yang ditulis Anthony Giddens dalam bukunya ’Dunia yang Berlari’, bahwa umat manusia bisa mati oleh keserakahan beberapa orang saja (Anthony Giddens,Runaway world; The Thirth Way, 1999).

Selain itu, yang turut memperkeruh pendidikan ialah dengan adanya pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan pemerintah dan di turuti oleh instrumen dibawahnya seperti di sekolah. Pemerintah sibuk dengan mengujicobakan berbagai konsep, yang pada akhirnya banyak yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya kebijakan tentang UAN, PT BHMN, Internasionalisasi, dan sebagainya. Lihat saja contoh UAN, secara logik, dapat dilihat bagaimana tidak adilnya metode itu untuk menilai kualitas sang anak didik. Karena kualitas anak didik di tentukan sesuai dengan dirinya sendiri. Adanya metode ujian akhir, sebaiknya cukup pada tataran melihat batas kemampuan murid, bukannya menjadi penentu segalanya dari pendidikan mereka. Padahal mereka belajar bertahun-tahun, tapi pada akhirnya di tentukan dengan ujian yang cukup satu minggu saja dengan beberapa pelajaran saja. Jadi wajar, selama UAN masih ada, maka bukan tidak mungkin pada momen kelulusan, telinga kita di penuhi informasi tentang murid yang stress bahkan bunuh diri, disamping hura-hura berlebihan yang ditunjukan oleh mereka yang lulus. Jadi kalau anak didik lulus dan mendapat nilai besar (nilai disini berarti yang dilihat berdasar angka) dalam setiap ujian, maka bisa dikatakan cerdas, pandai, pintar dan sebagainya. Padahal kecerdasan itu adalah sesuatu yang linier dengan perkembangan dan perubahan. Adakalanya teori lama tak terpkai lagi, dan adakalanya teori itu masih relevan dengan zaman. Adanya konsep UAN seperti yang dilakukan sampai sekarang ini turut merubah paradigma berpikir bahwa satu-satunya hal yang paling keramat dalam pendidikan adalah simbolisasi yang ditunjukan dengan angka yang menyapu semua ilmu pengetahuan sama seperti matematika, fisika serta ekonomi yang abstrak. Padahal ada cabang ilmu lainnya yang membutuhkan nalar berpikir karena selalu berubah seiring perubahan zaman yang cepat. Misalnya pelajaran Pancasila. Karena seperti dalam pembelajaran Pancasila, dituntut untuk suatu penghayatan, bukan berdasar hitungan semata. Tapi lagi-lagi, dalam pelajaran ini, sekolah dan guru pun gagal mengajarkan esensinya. Karena yang diketahui murid cuma penghapalan sila dan pasal per pasalnya saja. Esensi, penghayatan serta pengamalannya justru tidak sama sekali diajarkan. Maka tak heran ketika praktik melawan hukum selalu subur dinegeri ini karena ’nilai-nilai’ (nilai disini berarti yang dilihat berdasarkan esensi) ke-Indonesiannya memang tidak dipernah digubriskan, apalagi diajarkan.

Sementara itu, kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan iming-iming kualitas lebih baik, justru hanya sekadar menjadi cerita usang dibalik ironisnya nasib rakyat negeri ini yang semakin memburuk karena perang gengsi dunia ekonomi. Karena justru yang ada bukannya bertaraf internasional, yang ada adalah bertarif (biaya) internasional. Jadi wajar kalau rakyat tidak punya uang banyak, maka tidak bisa mengakses pendidikan. Jadi kebijakan itu seharusnya belum perlu dimasukan karena memang belum terlalu penting bagi bangsa ini mengingat masih banyak yang belum bisa mengakses pendidikan. Bahkan dari catatan dinas pendidikan (www.TempoInteraktif.com/Rabu 28 April 2010) sendiri bahwa perbandingan kualitas (output) dari sekolah berstandar Internasional dengan sekolah nasional biasa, justru lebih unggul sekolah nasional dengan perbandingan angka keluusan dari 97, 74 % ditahun sebelumnya, menjadi 89,88 % ditahun ini (meskipun disini KHD menolak istilah sekolah-sekolah dengan identitas unggul, penilaian berdasar simbol angka-angka seperti metode UAN dan sebagainya). Jadi rasanya mustahil ketika kita ingin membicarakan kualitas yang baik di tengah kuantitas yang ironik. Artinya, kualitas boleh saja kita turunkan asalkan kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat (Melki AS; SKH Kedaulatan Rakyat; Menunggu Pendidikan Karakter, 01 Mei 2010).

Nah berkaca dari itu semua, sudah seharusnya dalam usaha memperbaiki segala keadaan tentang pendidikan adalah kembali ke dasar dan esensi pendidikan sebelumnya. Kiranya ada baiknya jikalau pemerintah menerapkan pendidikan karakter dan budi pekerti yang memang telah lama di hilangkan dinegeri ini. Karena dengan adanya pendidikan karakter dan budi pekerti, bangsa ini bisa menuai generasi yang mampu bertarung secara moral dan intelektual dalam dunia yang selalu berubah-ubah tanpa meninggalkan ciri khas kebangsaannya. Karena budi pekerti menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Ini berbeda dengan pengajaran biasa, karena didalam pengajaran budi pekerti, lebih menekankan pada proses penganjuran kepada anak-anak agar membiasakan bertingkah laku yang baik supaya dapat pengertian dan penginsyafan pula tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya. Kemudian mampu melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara di sengaja. Inilah yang disebut KHD dengan metode tri ’Ng’; Ngreti, Ngrasa, Nglakoni (menyadari, menginsyafi dan melakukan). Ini sama halnya dengan pola pendidikan islam yang metodenya ditekankan pada ’Syariat, Hakikat Tarikat dan Makrifat’. Selain itu, proses pendidikan (hubungan guru dan murid dalam menyemai proses itu) pun juga harus kembali pada proses memanusiakan manusia. Bukan malah menjadikan manusia seperti kerbau yang di colok hidungnya dan bisa di perintah apa saja seenak hati. Sudah seharusnya dalam proses tersebut, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri di ujikan kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid. Begitupun sebaliknya. Hubungan keduanya pun harus jelas yaitu bukan antara patron (subyek/guru) dengan klien (obyek/murid). Karena obyek sesungguhnya adalah realita, bukan murid. Jadi pendidikan bersandar pada proses dialogisnya, bukan pencapaian-pencapaian hasil akhir lewat simbol angka-angka dan sebagainya. Dan dengan proses ini maka pendidikan akan benar-benar menciptakan generasi yang saling menghargai dan merdeka seperti yang diamanatkan Ki Hadjar Dewantara. Pemerintahpun sebagai muara dari segala keputusan juga harus peka mendengar suara-suara dari masyarakat agar policy yang di keluarkan benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. Pemerintah juga jangan hanya asyik berpolitik ’ngawur’ saja, korupsi, bermesum ria, menghabiskan uang rakyat dengan kemasan studi banding keluar negeri, tapi sekarang benar-benar harus mulai berpikir bagaimana caranya untuk memperbaiki keadaan pendidikan negeri ini dengan menyiapkan metode dan model serta pola pendidikan yang sifatnya humanistik dan berkualitas. Karena kalau tidak, maka jangan harap kita bisa menatap pendidikan yang menghasilkan generasi yang bisa memajukan bangsa. Justru yang akan kita lihat adalah pendidikan tak ubahnya seperti panggung komedi opera pembodohan kalau tidak ditanggulangi segera.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah ketertarikan menjadi pendidik jangan hanya berdasar pada iming-iming gaji. Tapi memang harus dengan penuh rasa pengabdian yang tulus sebagai lokomotif memajukan bangsa dan meneruskan cita-cita nasional. Harus kita akui bahwa kemunduran pendidikan adalah juga merupakan imbas dari pendidik atau gurunya sendiri yang tidak konsisten dalam mendidik. Para guru dewasa ini kebanyakan hanya ingin menjadi guru karena penghasilannya saja tanpa mempertimbangkan apakah murid bisa berkembang atau tidak, bodoh atau pintar, mampu atau tidak mampu. Yang terpenting kata ’mereka’ bahwa kami hanya mengajar dan pemenuhan jam mengajar itu saja, kemudian setiap awal bulan ambil gaji. Nah tinggal sekarang yang sadar akan artinya pendidikan, terutama guru, harus lebih dewasa dan obyektif lagi dalam mengarahkan kemajuan dan usaha pencerdasan bangsa ke depan. Tanpa itu semua, maka bukan hanya pendidikan saja yang akan runtuh, bahkan negara pun bisa jatuh karena masyarakatnya bodoh. Sekiranya, era kolonial telah mengajarkan bahwa dengan kebodohan maka sulit di capai kemerdekaan. Nah, haruskah kita kembali ke era kolonial tersebut. Saya rasa kita bisa katakan Tidak. Itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun