Kemarin sore di sebuah acara televisi dibahaslah mengenai harga daging sapi. Isu yang mengalir kencang adalah presiden meminta harga daging sapi 80000 per kilo. Sang presenter pun mencoba mengorek-orek dengan menanyakan harga langsung ke pedagang pasar dan mendatangkan seorang pakar analis harga. Sang analis pun dengan cekatannya mampu menghitung biaya yang paling realistis untuk harga daging sapi per kilo mulai dengan asumsi jumlah lemak dan tulangnya dengan melihat harga dasar asumsi sapi dari penjagalnya. Rasa pesimistis dan kemustahilan lebih banyak dipertontonkan dengan banyaknya asumsi logis yang dikemukakan. Harga sapi bahkan telah menjadi isu nasional mengalahkan isu isu lain yang mungkin lebih penting. Maka ingatlah saya akan kata-kata teman saya. Televisi sekarang sedikit sekali yang menayangkan keberhasilan atau sikap optimisme bangsa ini. Atau mungkinkah karena rating? Barangkali isu isu sikap pesimis terhadap bangsa ini lebih menarik dibahas dan menjadi perhatian banyak orang.
Kembali ke kasus sapi, melihat kenyataan ini sebenarnya yang dilakukan presiden adalah menebarkan rasa optimistis. Jika di negara tetangga bisa lalu mengapa di negara kita tidak bisa. Begitulah kata-kata yang sering muncul dari presiden. Ini adalah sebuah paradigma. Namun kenyataannya banyak orang yang bersikap pesimistis dan malas mencoba dan mengusahakannya terlebih dahulu. Ibarat sedang menyalakan lilin, presiden ingin menyalakan lilin harapan dengan memberikan terang di sekitarnya namun banyak orang yang melihat lebih banyak kegelapan di sampingnya. Entah lilinnya cuma pendek lah, entah lilinnya tidak bertahan lama lah, entah nanti bakal banyak angin lah dan lainnya.Â
Jika kita tidak memulainya, lalu kapan lagi. Kata-kata ini mungkin juga sering diselipkan presiden di berbagai pidatonya seperti mulai untuk membangun jalan tol, bandara, pelabuhan dan lainnya. Presiden sering berkunjung ke daerah sambil mengamati jalannya proyek. Ini adalah sebuah langkah yang dilakukan presiden bahwa segalanya jangan hanya cuma wacana tetapi eksekusi. Lalu jika kita tidak mencoba mengubah paradigma mengapa harga sapi di Indonesia lebih mahal dari negara tetangga, lalu kapan lagi? Â
Tapi entahlah, bagi saya isu sapi sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Orang kecil seperti saya lebih suka makan dengan sayur dengan tempe goreng dan sambal bawang sebagai lauknya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H