Istilah "Sandwich Generation" saat ini menjadi isu yang hangat dibincangkan. Generasi ini digambarkan sebagai generasi yang memiliki tanggungan berat dari dua generasi yakni orang tua dan anaknya sendiri sebagaimana sandwich yang berlapis lapis generasi ini berada di antara lapisan tersebut. Tidak ada yang salah menjadi seorang generasi Sandwich. Menjadi generasi sandwich tidak bisa dihindari sebagai akibat dari kegagalan generasi sebelumnya. untuk dapat memutus rantai generasi sandwich ini. Maka dari itu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana generasi sandwich mampu mengelola keuangan dan mencapai kesejahteraan sehingga dimasa depan anak dari generasi sandwich ini tidak menjadi penerus generasi sandwich selanjutnya.Â
Dalam mencapai kesejahteraan yang optimal perlu diperhatikan manajemen keluarga yang baik. Manajemen merujuk kepada penggunaan sumber daya dari masing-masing anggota keluarga yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan melalui suatu proses bekerja yang efektif dan efisien. Manajemen Sumber daya ini mencakup beberapa hal diantaranya sumber daya materi dan sumber daya waktu. Pengelolaan sumber daya materi, seperti uang atau barang, kekayaan, maupun ruang milik keluarga yang baik membuat anggota keluarga dapat berkembang secara optimal. Sedangkan sumber daya waktu keluarga adalah waktu yang dimiliki oleh anggota keluarga untuk digunakan dalam berbagai kegiatan. Manajemen sumber daya waktu keluarga bertujuan untuk memanfaatkan waktu dengan baik dalam proses kesejahteraan keluarga.Â
Manajemen keluarga yang baik tentunya akan membawa perubahan yang baik pada keluarga. Namun, terdapat konsep perubahan yang mutlak pada keluarga seperti perubahan dalam jumlah anggota keluarga, usia anggota keluarga, dan status pernikahan anggota keluarga. Perubahan tersebut dikenal dengan siklus hidup keluarga. Siklus hidup keluarga dimulai dari tahap lajang hingga tahap pasangan tua tanpa anak, karena pada umumnya keluarga terbentuk saat pasangan menikah. Kesiapan pasangan untuk menikah dapat diukur salah satunya dari sisi finansial mereka. Tak dapat dipungkiri banyak kasus perceraian terjadi karena permasalahan kondisi finansial yang tidak stabil. Hal ini disebabkan bahwa kondisi keluarga dengan finansial yang stabil pada dasarnya mampu membawa kesejahteraan pada sebuah keluarga.Â
Kesejahteraan merupakan hal yang dicita-citakan oleh setiap keluarga. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga seperti faktor internal, eksternal, dan unsur manajemen keluarga. Faktor internal berupa pendapatan, pendidikan, hingga jumlah anggota keluarga. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa peran lembaga dalam pemberian akses pada fasilitas umum, lapangan pekerjaan, hingga pemerataan pendapatan. Kondisi kesejahteraan keluarga pada keluarga yang tinggal di pusat kota dengan keluarga yang tinggal di daerah pertanian tentunya berbeda. Keterbatasan akses akan pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan membuat keluarga yang tinggal di daerah pertanian mengalami ketertinggalan sehingga mempengaruhi kesejahteraan mereka. Kurangnya pengetahuan dalam pemanfaatan sumber daya lingkungan dapat memicu rendahnya kesejahteraan keluarga petani yang ditandai dengan sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, tak jarang anak-anak dari keluarga petani yang usianya masih tergolong muda harus melakukan pekerjaan sampingan yang nantinya akan memberikan dampak serius terhadap pendidikan dan kesehatannya. Selain itu, kondisi tersebut mampu berefek pada pemenuhan kebutuhan hidup dua generasi atau yang biasa dikenal dengan sandwich generation.Â
Rendahnya posisi tawar petani juga menjadi salah satu penyebab rendahnya kesejahteraan hidup keluarga di area pertanian. Berdasarkan hasil Survei Pertanian Terintegrasi (Sitasi) tahun 2021 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil adalah sebesar Rp. 5,23 juta per tahun. Dikategorikan sebagai petani skala kecil jika luas lahan kurang dari 2 hektar, jumlah ternak yang dipelihara 3 TLU (tropical livestock unit). Sedangkan ukuran ekonomi, pendapatan pertanian maksimal 18,8 juta rupiah per tahun. Rendahnya posisi tawar para petani ini dapat berdampak pada perekonomian mereka. Apabila keadaan perekonomian para petani rendah, dapat berimbas pada terjadinya fenomena sandwich generation.
Mengutip dari seorang Aging and Elder Care Expert (Hoyt, J., 2021), Carol Abaya, terdapat beberapa jenis sandwich generation. Pertama adalah the traditional sandwich generation, yaitu orang dewasa berusia kisaran 40-50 tahun yang "dihimpit" beban finansial orang tua usia lanjut dan anak yang masih membutuhkan dukungan finansial. Kedua, the club sandwich generation. Orang dewasa berusia 30 hingga 60 tahun yang menanggung beban orang tua, anak, kakek/nenek, dan cucu. Generasi sandwich yang satu ini umumnya berasal dari seseorang yang lahir dari keluarga besar. Ketiga yaitu the open faced sandwich generation, siapapun yang terlibat dalam memberikan pengasuhan kepada kerabat yang sudah berumur. Sandwich generation tercipta akibat beberapa faktor, salah satunya adalah minimnya literasi keuangan. Kurangnya literasi keuangan cenderung menyebabkan individu sebagai generasi pertama tidak menyiapkan dana pensiun, sehingga ketika sudah memasuki usia tidak produktif diperlukan generasi kedua untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Rendahnya pendidikan literasi keuangan pada generasi sandwich merupakan penghambat tercapainya kesejahteraan keluarga. Individu yang menjadi generasi sandwich sekaligus berperan sebagai generasi pertama kemungkinan tidak memiliki figur dalam pemberian pendidikan ini. Hal tersebut dapat memiliki efek berkepanjangan pada keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Individu yang tidak memahami konsep literasi keuangan selanjutnya berpotensi tidak dapat memberikan panduan yang baik kepada anak-anak mereka sehingga dapat mengakibatkan kurangnya literasi keuangan generasi berikutnya. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan literasi keuangan dalam masyarakat.Â
Menjadi generasi sandwich bukanlah suatu hal yang mudah. Beban ganda yang dimilikinya menyebabkan kewajiban finansial yang semakin tinggi. Maka dari itu, perlu ada persiapan dalam pengetahuan pengelolaan sumberdaya keluarga, lingkungan, maupun literasi keuangan yang baik agar generasi ini mampu menjalani kewajiban dan tidak merasa terbebani dengan keadaan yang harus mereka jalani. Selain itu, untuk mengurangi beban dari peran sandwich, diperlukan evaluasi dari berbagai pihak. Beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan melakukan identifikasi aset, memisahkan anggaran untuk orang tua dan keluarga, membicarakan kondisi keuangan masing-masing anggota keluarga, mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan keluarga, serta menabung untuk masa depan.
Meskipun menjadi generasi sandwich memiliki beban ganda secara finansial dan emosional, tidak sedikit generasi sandwich yang berpendapat bahwa hal ini bukanlah sebuah beban, melainkan menjadi berkah karena mereka dapat merawat orang tua di masa tua mereka. Menjadi generasi sandwich dapat menjadi momen untuk mempererat hubungan dengan orang tua. Generasi sandwich dapat lebih banyak menghabiskan waktu bersama orang tua dan belajar dari mereka.
Penulis : Safira Zahra (H1401221061), Seba Octavia (H1401221065), Muhammad Zahran (H1401221066), Lutfi Shofi Rahmawati (H1401221088), Rahmaaningtyas Nuurasyiidina (H1401221089)