“Respect people; attack problems.”
Hargai orang, serang permasalahan. Mungkin cukup mudah bagi kita buat memahami kalimat ini. Tapi saat dihadapkan pada situasi perselisihan atau konflik, sulit juga untuk mengingat salah satu prinsip penanganan konflik ini, apalagi menerapkannya. Toh, kita cuma manusia.
Saat kita berselisih atau berkonflik dengan orang lain, mudah bagi kita untuk melihat kesalahan mereka dan melupakan bahwa kita sendiri juga punya andil dalam konflik tersebut. Dengan mudah kita bisa menganggap pihak lain ini sebagai lawan, ketimbang kawan. Apalagi ditambah dengan emosi, kita bisa saja menyerang sang ‘lawan’, baik secara verbal maupun fisik.
Tapi sebagai manusia kita juga selalu punya pilihan, termasuk dalam menghadapi konflik. Kita bebas untuk memilih cuek atau menghindar, beradu mulut/jotos dengan si ‘lawan’ atau menjadikan si ‘lawan’ sebagai kawan untuk mencari solusi bersama.
Tentu kita harus memastikan bahwa pilihan yang kita ambil sesuai dengan tujuan yang ingin kita capai.
Kalau memang kita ingin membuat masalahnya berlarut-larut dan lebih suka mendapat lawan ketimbang kawan, kita bisa memilih untuk menyerang orang lain. Dengan menyerang ‘lawan’ kita akan membuatnya menjadi defensif sehingga masalah yang ada pun terabaikan atau tambah parah, bahkan masalah baru bisa muncul.
Coba lihat skenario ini.
Seorang pengemudi mobil menyenggol motor anda saat jalan sehingga anda terjatuh. Baju anda kotor, lutut dan tangan lecet, sementara lampu belakang motor anda pecah. Padahal anda harus segera menghadiri rapat dengan bos besar dan klien. Kacau sudah semuanya! Dengan kekesalan yang memuncak anda langsung mendamprat si pengemudi mobil dan menuntutnya untuk bertanggung jawab. Si pengemudi yang sebenarnya sudah siap untuk minta maaf terkejut dengan cecaran anda dan langsung memasang benteng pertahanan. Dia juga meminta anda untuk bertanggung jawab karena mengendarai motor dengan serampangan dan membuat penyok bumper mobilnya sementara dia harus buru-buru pulang karena anaknya sakit. Tak ada yang mau mengalah karena baik si pengemudi mobil maupun anda sama-sama merasa dirugikan dan merasa tidak bersalah. Adu mulut pun tak terhindarkan. Waktu terus berjalan dan rapat penting anda akan segera dimulai. Dan saat suasana makin memanas perselisihan mulut meningkat menjadi pertengkaran fisik. Orang-orang di sekitar pun meleraikan sebelum anda dan si pengemudi babak belur. Polisi datang dan membawa anda dan si pengemudi ke kantor polisi untuk pemeriksaan.
Waktu terbuang sia-sia dan masalah masih jauh dari selesai. Sudahlah anda melewatkan sebuah rapat penting, lecet-lecet di tangan dan lutut anda belum diobati dan lampu belakang motor anda juga belum diperbaiki. Proses pemeriksaaan di kantor polisi juga memakan waktu dan tanpa kesepakatan antara anda dan si pengemudi solusi belum juga tercapai. Pak polisi terpaksa mengambil jalan tengah dan memberikan keputusan yang sebenarnya kurang memuaskan bagi anda.
Sekarang coba kita lihat skenario kedua.
Setelah motor anda tak sengaja disenggol oleh sebuah mobil, anda menghampiri sang pengemudi dengan niat baik berdiskusi untuk meluruskan masalah. Meski anda sangat kesal sudah disenggol, anda sadar kalau anda juga salah karena sudah menyelip di saat mobil itu akan belok. Si pengemudi mobil yang juga kesal karena bumper-nya jadi penyok mengurungkan niatnya untuk marah-marah saat melihat senyum dan niat baik anda. Dialog pun terjadi untuk saling memahami penyebab kecelakaan dan mengambil keputusan bersama yang saling menguntungkan. Anda dan sang pengemudi saling meminta maaf dan setuju untuk saling menanggung kerusakan yang diderita masing-masing pihak. Anda dan sang pengemudi juga menjadikan ini sebagai pelajaran untuk lebih berhati-hati di jalan. Untungnya lagi, ternyata si pengemudi mobil membawa peralatan P3K sehingga bisa membantu anda mengobati lecet-lecet akibat jatuh tadi. Anda kemudian segera melanjutkan perjalanan dan sampai di kantor tepat waktu untuk sebuah rapat penting.
Masalah selesai dalam waktu singkat tanpa harus buang-buang energi yang tak perlu. Karena saat anda memanusiakan pihak ‘lawan’ dengan menghargai dan memperlakukannya sebagai kawan, anda memberikan jalan untuk memecahkan masalah bersama.
Kalau kita punya pilihan untuk mengatasi masalah dengan damai, kenapa harus memilih untuk membiarkan masalah berlarut-larut atau menciptakan masalah baru tanpa jaminan masalah yang sudah ada bisa terselesaikan?
Dan kalau kita punya pilihan untuk mendapat kawan baru, kenapa harus memilih untuk mendapat lawan? Bukankah “1000 kawan tidaklah cukup, 1 lawan terlalu banyak”?
Menjalankannya memang tidak semudah menjabarkannya. Tapi kita tidak akan tahu sebelum mencoba, kan?
Dian Agustino
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H