“Pelatihan ini bagus, Mas. Saya ingin mengajarkan ilmu ini kepada anggota laskar saya ketika sudah pulang nanti. Dakwah dan persuasi harus selalu menjadi pilihan utama dalam menghadapi ‘gesekan-gesekan’ ini. Kekerasan udah bikin masyarakat nggak percaya lagi sama kita…”
Bertemu dengan para warga binaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sering dicap negatif oleh media dan masyarakat ternyata bisa jadi pengalaman yang berharga. Itulah yang saya rasakan saat pertama kali masuk ke dalam sebuah lapas sebagai seorang fasilitator suatu pelatihan. Bagi pemula seperti saya yang baru lulus kuliah, pengalaman ini jujur, awalnya memicu adrenalin tersendiri. Terlebih lagi ketika sebagian peserta pelatihan tersebut—manajemen konflik dan kecakapan hidup—adalah narapidana kasus terorisme yang dianggap sangat berbahaya oleh masyarakat (tapi juga dianggap pahlawan oleh beberapa pihak).
Namun seiring dengan interaksi di antara kami, kekhawatiran itu memudar. Setelah meluangkan waktu untuk bercakap-cakap dan saling mengenal, saya mendapati bahwa tak jarang kami memiliki kesamaan, seperti senang bersenda gurau dan melempar tawa. Ketika memasuki percakapan yang lebih serius mengenai pemikiran dan mindset, kami berusaha lebih banyak saling mendengar tanpa berusaha untuk meributkan argumen siapa yang paling benar.
Para warga binaan yang saya temui juga mengungkapkan beberapa hal yang membuat saya tersadar bahwa mereka tak jauh berbeda dari saya dan kita sebagai manusia. Mereka percaya bahwa dalam menegakkan syariat yang diyakini, kekerasan dan intimidasi hanyalah ekses. Kekerasan dipakai karena ternyata mereka belum pernah mencoba untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan positif (tanpa kekerasan) ketika menghadapi konflik sepanjang pengalaman hidup mereka.
Ini tercermin di aksi terorisme dan intoleransi yang diliputi oleh aksi penembakan, pengeboman dan perusakan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini. Itu semua terjadi karena adanya konflik antara perbedaan nilai yang dianut oleh para kelompok fundamentalis dengan nilai yang ada di masyarakat umum. Mereka di saat itu memandang nilai-nilai yang dianut oleh pemerintah dan masyarakat sebagai ‘musuh’ yang harus dimusnahkan dan harus dikembalikan pada jalan yang mereka anggap benar. Sementara masyarakat menilai perbuatan mereka cenderung memaksakan dan tidak menghormati prinsip hak asasi manusia.
Lantas bagaimana caranya agar nilai-nilai yang berbeda dan saling berbenturan ini tidak mengusik perdamaian di masyarakat? Inilah yang menjadi ide dasar Search for Common Ground (SFCG) Indonesia, organisasi bina damai tempat saya bekerja, ketika melakukan pelatihan manajemen konflik dan kecakapan hidup untuk warga binaan kasus terorisme dan kasus-kasus lainnya yang akan segera menyelesaikan masa hukuman di lapas.
Pelatihan manajemen konflik dan kecakapan hidup ini dimaksudkan untuk membantu para warga binaan dalam menghadapi konflik di dalam dan luar lapas sekaligus merencanakan masa depan, di mana mereka didorong untuk mengambil pilihan positif setelah kembali ke masyarakat nanti. Seluruh warga binaan peserta pelatihan diposisikan sebagai narasumber, sementara fasilitator (trainer) pelatihan cukup mengarahkan pembahasan yang dipelajari seperti pengembangan sikap empati, pengelolaan emosi, teknik bernegosiasi, mediasi, manajemen waktu dan membuat rencana hidup setelah bebas.
Semua materi pembelajaran dikemas melalui permainan, bermain peran dan juga diskusi kelompok supaya para peserta bisa saling refleksi serta bertukar pikiran dan pengalaman dalam upaya menghadapi konflik sehari-hari. Tujuannya adalah memberikan pengenalan dan pengalaman mengenai pilihan-pilihan positif yang bisa diambil sehingga membuat mereka berdaya tanpa kekerasan ketika menghadapi konflik, misalnya dengan menghormati orang yang berbeda.
Pelatihan ini secara tidak sengaja membuka ruang dialog di antara benturan nilai masyarakat yang selama ini membeku akibat prasangka. Para warga binaan kasus terorisme mengungkapkan bahwa pelatihan ini telah menuntut mereka untuk lebih cerdas dalam menghadapi konflik dengan selalu membuka ide terhadap pilihan-pilihan tanpa kekerasan. Misalnya dengan mengutamakan jalan dakwah kepada masyarakat dan berusaha mengenali dan memahami karakter masyarakat yang kompleks, seperti yang dilakukan oleh Nabi, Rasul dan sahabat-sahabat mereka. Mereka juga menyadari bahwa konflik ternyata ternyata tidak sama dengan kekerasan dan bukan soal siapa yang menang dan kalah, melainkan bagaimana ajaran Islam yang mulia harus diperjuangkan dengan cara yang baik pula.
Dari percakapan dan pelatihan ini pun saya melakukan refleksi bahwa sepanjang peradaban manusia, konflik dengan kekerasan atas nama apa pun terjadi karena kita terlalu banyak mendengar cerita dan persepsi negatif tentang kelompok yang berbeda (suku, keyakinan, ideologi, dll) sehingga menimbulkan prasangka dan rasa curiga, sebelum membuktikannya sendiri. Kita cenderung mencap mereka yang berbeda sebagai ‘musuh’ yang selamanya saling bertentangan. Hal ini akhirnya menutup ruang bagi kelompok-kelompok berbeda untuk saling mengenal dan berkomunikasi satu sama lain.
Hanya dengan saling mengenali dan berbicara satu sama lain sebagai manusia dan tanpa prasangka kita bisa mengenali banyak kesamaan di antara kita. Semua orang ingin damai. Selalu ada celah komunikasi yang bisa dibuka dan dibangun antar golongan yang berbeda. Keinginan untuk saling memahami dan menemukan kesamaan adalah suatu komitmen yang diperlukan untuk membangun perdamaian di masyarakat.
Hardya Pranadipa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H