Mohon tunggu...
Sean Hidayat
Sean Hidayat Mohon Tunggu... Bankir - Machine Learning Engineer

Aku suka uang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi Penggunaan Istilah Asing dalam Peraturan Pemerintah: Antara Keterbukaan Global dan Identitas Nasional

2 Desember 2024   15:27 Diperbarui: 2 Desember 2024   15:33 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belakangan ini, publik di Indonesia ramai memperbincangkan penggunaan istilah asing seperti living wage dan golden visa dalam dokumen resmi pemerintah. Munculnya istilah-istilah ini dalam peraturan pemerintah memicu perdebatan hangat: Apakah penggunaan istilah asing dalam konteks resmi semacam ini mengancam identitas nasional kita, atau justru menunjukkan bahwa Indonesia semakin terbuka dan terhubung dengan dunia global? 

Pernyataan pemerintah yang mengadopsi istilah asing dalam peraturan-peraturan resmi, seperti living wage yang merujuk pada upah minimum yang memadai untuk biaya hidup, dan golden visa yang merujuk pada izin tinggal jangka panjang bagi investor asing, menyentuh isu sensitif mengenai kebanggaan bahasa nasional. Sebagian kalangan merasa bahwa penggunaan istilah asing dalam dokumen resmi ini seolah meremehkan bahasa Indonesia dan kurang menghargai keanekaragaman bahasa yang dimiliki negara kita. Selain itu, bahasa adalah simbol jati diri sebuah bangsa. Mengapa harus menggunakan bahasa asing untuk menggambarkan kebijakan dalam negeri, yang seharusnya bisa dijelaskan dengan bahasa Indonesia yang lebih sederhana?

Sementara itu, pihak lain berpendapat bahwa globalisasi memaksa kita untuk menerima dan mengadaptasi istilah asing, agar bisa lebih bersaing di dunia internasional. Istilah seperti living wage dan golden visa sudah cukup umum digunakan di banyak negara, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia mungkin akan menambah kebingungan atau bahkan kehilangan makna yang ingin disampaikan. Terlebih lagi, penerapan kebijakan semacam ini bertujuan untuk menarik investasi asing dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.  

Penggunaan bahasa asing dalam konteks resmi sebenarnya bukan hal baru. Sejak Indonesia mulai terbuka terhadap ekonomi global, istilah asing mulai masuk ke dalam kosa kata kita, mulai dari istilah ekonomi hingga teknologi. Namun, ada argumen bahwa kebijakan ini harus diimbangi dengan usaha untuk tetap menjaga dan memprioritaskan bahasa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam dokumen resmi negara. 

Banyak yang berpendapat bahwa bahasa Indonesia bisa tetap digunakan, meskipun ada beberapa istilah asing yang lebih tepat atau lebih mudah dipahami. Misalnya, living wage bisa diterjemahkan menjadi upah layak hidup, dan golden visa menjadi visa emas. Penerjemahan semacam ini tidak hanya akan menjaga bahasa Indonesia tetap hidup, tetapi juga menunjukkan komitmen pemerintah dalam melestarikan bahasa sebagai bagian dari identitas bangsa.

Untuk menjaga keseimbangan antara keterbukaan global dan identitas nasional, pemerintah bisa mulai mempertimbangkan penggunaan istilah asing secara bijak. Sebagai contoh, istilah-istilah asing yang sudah sangat melekat di dunia internasional dan sulit untuk diterjemahkan bisa tetap digunakan, dengan catatan ada penjelasan yang jelas untuk masyarakat. Namun, istilah-istilah yang bisa dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebaiknya diterjemahkan untuk menghindari kesan bahwa bahasa Indonesia dianggap kurang relevan dalam konteks resmi. 

Selain itu, pemerintah juga dapat melibatkan para ahli bahasa untuk membuat pedoman yang jelas mengenai penggunaan istilah asing dalam peraturan-peraturan negara. Dengan demikian, istilah asing yang digunakan tetap mempertimbangkan aspek kebahasaan yang baik dan benar, serta tetap menghormati jati diri bangsa. 

Pada akhirnya, bahasa adalah jembatan yang menghubungkan sebuah bangsa dengan dunia luar. Menggunakan istilah asing tidak berarti kita mengabaikan bahasa kita, melainkan bisa menjadi tanda bahwa kita siap berinteraksi dengan dunia internasional. Namun, hal tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan, agar kita tidak kehilangan identitas budaya yang telah lama melekat pada bangsa Indonesia. 

Penting untuk diingat bahwa penggunaan bahasa asing dalam dokumen resmi bukanlah masalah yang harus dipandang hitam putih. Alih-alih menganggapnya sebagai ancaman, kita bisa melihatnya sebagai tantangan untuk lebih kreatif dalam mengadaptasi istilah asing, agar tetap sesuai dengan kebutuhan dan karakter bangsa Indonesia. Dengan begitu, bahasa Indonesia tetap bisa menjadi bahasa yang hidup, relevan, dan bangga digunakan, sambil membuka pintu untuk dunia yang lebih luas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun