Haruskah aku takut kepada gumpalan tanah yang menyelimuti tubuhku ini?
Aku harap mereka tidak murka kepadaku karena aku akan terus menggali.
Bukan, ini bukanlah sebuah renungan tentang kematian.
Hanya hembus angin yang terkadang aku rindukan.
Sesekali, keluhan dari sisa napasku sebagai satu-satunya yang kini bisa aku dengar.
Rasanya sudah ratusan tahun bagiku mengendap di bawah sini bersama kegelapan.
Bagaimana aku bisa begitu tenang?
Padahal, aku tak tahu kemana jalan panjang ini akan berakhir.
Mungkinkah di ujung sana ada kegaduhan dari mereka yang memperjuangkan kalimat-kalimat yang sama? Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Kebencianku kepada mereka adalah alasanku ada di sini. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Sayangnya, perjuangan ini tidak akan tertulis dalam sejarah.
Akankah ada penyesalan, atau ada harapan?
Bolehkah aku menyerah dan berbalik?
Percuma saja, tidak akan ada langit biru lagi untukku.
Kesepian telah membunuhku berminggu-minggu yang lalu.
Namun, kini itu bukan apa-apa.
Sebab jeritan orang-orang yang sekarat di atasku telah menjadi semacam candu.
Yang juga akan menjadi mimpi buruk abadi selama sisa hidupku.
Bagaimana rasanya mati terkubur sendirian?
Siapa peduli, Aku akan terus merangkak menuju titik yang sudah ditentukan.
Sambil aku rangkul jasadku yang sudah lama membusuk.
Kemudian, aku akan menyambut para bajingan yang terkutuk.
Tugasku adalah mengirim mereka ke neraka.
Bersama diriku, tentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H