"Persahabatan adalah hadiah terbesar yang dapat kita peroleh dari perbedaan, sementara kerendahan hati adalah kuncinya."Â -- Nelson Mandela
Perjalanan ekskursi ke Pesantren Al Marjan bukanlah sekadar perjalanan tiga hari dua malam. Ini adalah kesempatan untuk menyelami keragaman, mengasah pemahaman lintas budaya, dan merefleksikan makna keberagaman dalam hidup sehari-hari. Sebagai siswa kelas 12, kunjungan ini memiliki arti khusus, bukan hanya kegiatan sekolah biasa, tetapi pengalaman yang berupaya memupuk kesadaran bahwa dunia ini lebih luas daripada apa yang kita lihat sehari-hari.
Kami memulai perjalanan dengan bus yang membawa kami melintasi jalanan Jakarta menuju Banten, ke pesantren yang dikenal dengan kehidupan sehari-harinya yang penuh kedisiplinan dan ketulusan. Begitu tiba di Pesantren Al Marjan, sambutan hangat yang kami terima dari para santri, ustaz, dan ustazah membuka hati kami. Mereka menyambut kami dengan senyum tulus, yang tak hanya memecah jarak fisik, tapi juga jarak budaya dan persepsi. Di sini, kami menyaksikan sendiri dari nilai-nilai kesederhanaan, kesabaran, dan keteguhan yang jarang kami temui di lingkungan kota yang serba cepat dan modern.
Menyatu dengan Suasana PesantrenÂ
Suasana di pesantren terasa sangat damai namun penuh makna. Dari sudut pandang kami yang terbiasa dengan kehidupan modern, kehidupan di pesantren ini membawa kedamaian yang unik. Para santri mengikuti rutinitas yang teratur dan penuh kesungguhan, mulai dari shalat berjamaah hingga belajar bersama. Menyaksikan mereka dengan hati yang tulus melantunkan ayat-ayat Al-Quran memberikan perasaan yang mendalam. Dalam pandangan saya, disiplin mereka adalah bukti nyata akan nilai-nilai yang kuat dan terus dijunjung. Kehidupan sehari-hari mereka sederhana, tetapi dalam kesederhanaan itu terkandung ketenangan dan ketulusan yang menjadi nilai utama di sana.
Bertukar Cerita dan Budaya Â
Di malam pertama, kami berpartisipasi dalam acara seni yang dipersembahkan oleh santri. Mereka menampilkan keterampilan bermain musik tradisional dan menari, dengan tarian khas yang membangkitkan semangat kami untuk ikut serta. Kami pun turut tampil dengan permainan gitar dan stand-up comedy, yang ternyata mendapat sambutan hangat. Pertukaran budaya ini memberikan keakraban yang dalam sekejap menghapus perbedaan latar belakang. Momen ini mengajarkan kami bahwa keberagaman adalah kekuatan dan kita dapat memahami dan dihargai satu sama lain melalui ekspresi budaya, tanpa mengabaikan identitas masing-masing. Keriuhan dan gelak tawa malam itu menjadi awal hubungan yang semakin akrab, di mana persahabatan terjalin dengan sendirinya di tengah keterbukaan hati.
Refleksi Nilai dan Kehidupan SederhanaÂ
Pengalaman belajar dan kehidupan di pesantren menjadi pengingat penting bahwa kesederhanaan dapat membawa ketenangan jiwa. Bagi suku Baduy, misalnya, kesederhanaan bukanlah keterbatasan, tetapi pilihan untuk menjaga hubungan harmonis dengan alam. Dalam era serba teknologi, konsep hidup sederhana ini dapat dirasa sulit diterima, terutama di kalangan yang terbiasa dengan modernitas. Namun, melihat cara mereka menjalani hidup dengan penuh syukur, dapat disadari bahwa hidup tidak selalu tentang apa yang kita miliki, melainkan tentang bagaimana kita menghargai dan merawat apa yang ada. Kesederhanaan mereka mengajarkan kita bahwa terdapat kebahagiaan dalam hidup yang tak bergantung pada materi, tapi pada hubungan sejati antar manusia dan dengan alam. Â
Momen Kebersamaan di Baduy
Salah satu kegiatan dihari kedua yang paling berkesan adalah kunjungan ke suku Baduy. Walaupun hanya bagian Baduy luar tetapi memiliki cerita yang begitu menarik. Dengan menaiki truk pick-up, kami bersama-sama menempuh perjalanan selama sekitar tiga puluh menit di bawah sinar matahari yang terik. Setibanya di sana, pemandangan desa yang asri dan masyarakat yang ramah menyambut kami. Kami berkesempatan makan siang bersama dan berbicara dengan mereka, mendengarkan cerita tentang tradisi mereka yang menjunjung tinggi kelestarian lingkungan. Bagi mereka, alam bukan sekadar sumber daya, tetapi juga bagian dari kehidupan yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Melihat kehidupan mereka yang begitu sederhana dan penuh rasa syukur, kami belajar bahwa kebahagiaan sering kali terletak pada keterhubungan yang tulus dengan lingkungan sekitar.
Berkaitan dengan pandangan multikulturalisme, Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa "pendidikan harus menanamkan rasa kebangsaan dan rasa kemanusiaan yang meluas, bukan sekadar pengetahuan kognitif". Menghargai perbedaan adalah nilai utama yang saya pelajari dari ekskursi ini. Kami hidup dalam keberagaman budaya, yang seharusnya dapat menjadi aset dalam menciptakan hubungan saling menghargai. Pertukaran pengalaman di pesantren ini bukan hanya tentang saling mengenal, tetapi juga tentang menemukan makna bahwa keberagaman budaya merupakan sesuatu yang patut dihargai, dan pengalaman ini memberikan kami kesempatan untuk memperluas rasa kemanusiaan. Â
Saat akhirnya kami meninggalkan pesantren, perasaan syukur dan kekaguman menyelimuti hati kami semua. Kami pulang dengan pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana hidup sederhana dapat membawa kedamaian, tentang betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama, dan tentang kekayaan persahabatan yang terjalin tanpa sekat. Ketika kembali ke rutinitas di Jakarta, pengalaman ini tetap akan tinggal dalam ingatan sebagai pelajaran hidup yang berharga. Ekskursi ke Pesantren Al Marjan bukan hanya sebuah perjalanan, tetapi sebuah pembelajaran yang membuka mata dan hati kami pada pentingnya menghargai setiap interaksi, menghormati perbedaan, serta menjaga kebersamaan di tengah keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H