Mohon tunggu...
Si Hantu
Si Hantu Mohon Tunggu... -

biru itu lautan biru itu langit biru itu rimbun pepohonan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna Lebaran

15 September 2010   04:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lebaran tahun ini berlalu begitu saja seperti tanpa makna tanpa kesan. Lho, memangnya tiap tahun lebaran harus punya makna? Ya, bukannya begitu, hanya saja tahun ini saya seperti kehilangan orientasi memaknai lebaran sebagai penanda berakhirnya bulan ramadhan. Tidak ada perasaan apa-apa menjalani lebaran ini. Berbeda pada saat menjalani ibadah puasa di bulan ramadhan saat ini, saya merasakan pusing dan emosi tinggi karena tuntutan PANGAB (PANGAButuh = kebutuhan dalam bahasa sunda,pen) di satu sisi, serta rasa senang di sisi lain karena malam-malam di bulan ramadhan pasti ramai.Itu makna bulan ramadhan bagi saya. Sedangkan menjalani lebaran saat ini, ya.. tidak ada perasaan apa-apa, tidak seperti masa-masa sebelumnya. Yap! masa sebelumnya.....

Kalau waktu kecil saya di tanya apa makna puasa di bulan ramadhan, pasti akan saya jawab tidak tahu! Karena memang saya tidak tahu apa maknanya. Tapi yang jelas saya merasakan sedikit kesedihan karena harus menahan lapar dan haus dari subuh sampai maghrib serta harus bangun dini hari untuk makan sahur di satu sisi, tapi di sisi lainnya saya juga senang karena bulan puasa berarti sama dengan perbaikan gizi! Bisa di bayangkan menu 4 sehat pada waktu berbuka, takjil : kolak pisang atau es buah atau jus buah atau minimal buah kurma; menu utama : sayur kacang plus udang dan atau sayur buncis plus udang dan atau sambal goreng ati lengkap (artinya ada kentang, ati sapi atau ayam dan sedikit potongan buncis) di tambah ayam atau tenggiri atau empal. Kemudian menu sahur yang harus ada kuahnya (agar makanan bisa tetap masuk ke tenggorokan anak-anak yang ngantuk) maka ibu saya akan masak sayur asam lengkap dengan tetelan daging sapi atau sayur lodeh lengkap dengan tetelan daging atau sayur bening yang tidak bening karena genangan lemak cair dari tetelan daging atau sop yang juga lengkap dengan tetelan daging, jangan di tanya kalau soto, puasa gak puasa pasti ada dagingnya. Ini tentunya berbeda dengan menu selain bulan puasa yang paling banter lauknya cuma tahu tempe dan atau sayur-sayur yang disebutkan diatas tadi tanpa tetelan daging, udang atau ati termasuk sop yang hanya berisi potongan kentang, wortel dan buncis serta sambal goreng ati tanpa ati. Nah itu baru dari sektor makanan, belum lagi dari kegiatan yang bisa dilakukan. Bagi anak kecil bulan puasa berarti juga sebagai bulan kebebasan. Mengapa? Karena saat itu kami boleh bermain di malam hari selepas sholat tarawih bahkan ikut begadang untuk membangunkan warga makan sahur. Dan semua kesenangan tadi akan diakhiri oleh lebaran. Lebaran ini menjadi puncak dari segala kesenangan karena pada saat lebaran kami, anak-anak, akan menjadi bos atau orang kaya baru dengan uang angpau di tangan. Itu berarti juga bahwa kami bisa merayakan kebebasan untuk makan minum di siang hari dengan membelanjakan semua uang angpau untuk membeli....makanan dan minuman!

Waktu remaja saya masih merasakan, memaknai, bulan puasa sama seperti yang dirasakan pada waktu kecil ditambah romantika masa remaja yaitu menjadikan momen sholat tarawih sebagai kesempatan untuk bertemu dan atau untuk menambah durasi memandang pujaan hati. Kalau selain bulan puasa kesempatan untuk bertemu atau memandang si pujaan hati hanya dari pagi sampai sore. Sedangkan lebaran mengalami pergeseran makna seiring dengan sedikitnya uang angpau yang diterima. Dengan uang angpau yang pas-pasan (malah kadang tidak menerima karena katanya uang angpau khusus untuk anak-anak) saya tidak bisa lagi bersukaria berpesta belanja makanan dan minuman. Mulai saat itu saya memaknai lebaran sebagai...IT'S KETUPAT TIME. Mulai saat itu saya bersyukur sebagai muslim yang dilahirkan di Indonesia karena sebagai muslim indonesia saya bisa merasakan kelezatan ketupat opor yang mungkin tidak bisa saya rasakan andaikan saya sebagai muslim arab...misalnya. Sejak saat itu pula saya memproklamasikan bahwa ketupat opor sebagai makanan terlezat di dunia pada saat lebaran. Mengapa? karena di luar lebaran ketupat opor tidak terasa nikmat!

Saat ini? Entahlah saya bingung bagaimana memaknai lebaran saat ini. Entah karena saya sudah berjibaku mencari uang untuk kebutuhan menghadapi bulan puasa dan atau mencari uang THR untuk lebaran? Tapi saya juga tidak bisa meninggalkan lebaran tanpa makna, tanpa perasaan apa-apa. Jadi tekad saya, saya harus menemukan makna lebaran. Saya harus merasakan atau mengidentifikasi perasaan saya di momen lebaran ini.

Kalau saya renungkan katanya lebaran ini merupakan hari kemenangan, tapi kemenangan dari apa? Kata ustad kemenangan melawan hawa nafsu. Apa benar? Tepatnya apa benar saya sudah menang melawan hawa nafsu? Kalau dipikir-pikir kayaknya kok enggak, wong kalau melihat daftar penerimaan dan pengeluaran di bulan ramadhan ini kedua-duanya meningkat cukup tajam. Artinya dari segi penerimaan ada barokah bulan ramadhan sehingga rezeki meningkat (benar gak sih?) tapi dari segi pengeluaran berarti nafsu konsumtif saya meningkat tajam. Berarti saya kalah dong melawan hawa nafsu! Itu baru dari segi pengeluaran keuangan belum lagi dari cara saya mendapatkan uangnya. Karena tingginya instruksi dari PANGAB (PANGAButuh maksudnya), maka saya mati-matian mencari uang agar bisa memenuhi instruksi PANGAB tadi...tanpa peduli lagi sumber uangnya dari mana, apa uang halal atau uang haram? Dari situ saya merasa kalah telak, kalah TKO dari hawa nafsu. So, lebaran bukanlah hari kemenangan  bagi saya yang masih menjadi jajahan hawa nafsu!!

Saya renungkan lagi...katanya lebaran ini merupakan momen untuk saling bermaaf-maafan. Wah, kalau yang ini, saya menentang keras pernyataan ini. Mosok untuk meminta maaf saja harus nunggu lebaran? Bagusnya kan pada saat itu melakukan kesalahan, pada saat itu pula harus minta maaf (kalau sudah sadar, kalau belum? Ya nunggu lebaran?!?!).

IT'S KETUPAT TIME! Itu dulu! Sekarang? Sebelum hari H istri saya sudah memproklamasikan bahwa pada hari lebaran istri saya akan makan nasi liwet plus ikan asin bakar plus lalaban. Lho, kalau mau makan menu itu sih gak usah nunggu lebaran, hari-hari lain kan bisa. Jadi lemes mendengar proklamasi istri saya tersebut (meruntuhkan mental dan semangat untuk menyantap ketupat opor di hari lebaran). Anak-anak? Sebelum hari H, pada saat neneknya memasak ketupat dan menu lebaran lainnya, ribut untuk segera menyantap ketupat opor. Pas hari H? Ribut minta dimasakin telur ceplok atau mie rebus. Tambah lemes lagi. Dan ternyata banyak para handai tolan lainnya yang seide dengan istri saya, walhasil semakin berkurang nikmatnya ketupat opor. Mengapa saat ini ketupat opor tidak senikmat dulu? Apa karena masakan ibu mertua yang tidak selezat masakan ibu saya? Sejujurnya masakan ibu mertua saya lebih enak dari masakan ibu saya karena ibu mertua punya usaha warung makan. Jadi apa? Nanti dulu! Dulu sewaktu ibu saya masih hidup, sewaktu kami, anak-anaknya, masih lajang, di hari lebaran kami selalu berebut ketupat, berebut paha ayam baik dengan kakak-adik maupun dengan kerabat atau tetangga. Di malam takbiran kami berusaha agar ketupat opor ibu saya tidak jatuh ke kekuasaan kerabat atau tetangga. Jadi yang boleh di kirim ke kerabat atau tetangga, ya kiriman kerabat atau tetangga yang lain. Nah itu dia jawabannya mengapa makan ketupat opor saat ini tidak senikmat dulu. Ternyata proses mengatur ulang/memadu padankan kembali kiriman kerabat/tetangga untuk di kirim kembali serta proses rebutan paha ayam dan makan ketupat bareng kakak-adik serta orangtua itulah yang bikin ketupat opor lebaran nikmat bin lezat! Makan ketupat sendiri di hari lebaran dengan stok berlimpah (ibu mertua selalu memberi ketupat dan kawan-kawannya lebih banyak pada saya dibandingkan ke kakak ipar, padahal kakak iparlah yang membiayai seluruh pembuatan ketupat dan kawan-kawannya itu, entah karena saya termasuk menantu yang paling baik -saya yakin haqul yakin kakak ipar sayalah yang merupakan menantu paling baik- atau karena saya yang terlihat paling semangat menyantap ketupat opor buatan ibu mertua dibandingkan yang lainnya?) mana enak?!?!

Harus saya renungkan lagi apa makna lebaran saat ini bagi saya? Apa yang saya rasakan pada saat lebaran ini? Masak lebaran berlalu tanpa perasaan apa-apa, berarti saya mati rasa dong! Dan saya tidak mau menjadi orang yang mati rasa karena mati rasa pangkal dari hilangnya perikemanusiaan dari diri manusia! Setelah saya pikir-pikir lagi akhirnya saya merasakan hal yang sama dirasakan oleh para AULIYA dan para SHOLIHIN lainnya apabila menghadapi lebaran sebagai penanda berakhirnya bulan ramadhan, yaitu....saya merasa sedih meninggalkan bulan ramadhan ini. Mengapa? karena saya sudah kehabisan uang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun