Mohon tunggu...
Si Hantu
Si Hantu Mohon Tunggu... -

biru itu lautan biru itu langit biru itu rimbun pepohonan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokratis Vs Monarki

6 Desember 2010   08:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:58 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendengar hiruk pikuk RUU Keistimewaan Yogyakarta membuat saya tergoda untuk lebih membuat gaduh walaupun saya bukan orang Yogyakarta. Sebelum adanya kegaduhan ini saya termasuk golongan pembenci SBY karena kebijakan-kebijakannya selalu bertentangan dengan nalar saya. Tetapi pada saat SBY membuat pernyataan yang intinya adalah gubernur DIY harus dipilih bukannya ditetapkan, nalar saya tidak langsung membuat penolakan seperti biasanya malah cenderung lebih setuju. Sebagai orang yang dilahirkan jauh dari lingkungan Kesultanan Ngayogyakartahadiningrat saya cenderung anti monarki. Saya benci sekali kalau ada warga negara Indonesia yang masih mengagung-agungkan kebangsawanannya dan gelar kebangsawanannya. Karena kebangsawanan seseorang bukan jaminan orang itu lebih baik dari kebanyakan orang lainnya. Jadi untuk yang satu ini saya setuju dengan pendapat SBY bahwa untuk mendapatkan gubernur DIY yang terbaik harus melalui jalur pemilihan langsung.

Saya sangat menghormati dan mengagumi (khususnya) Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Karena faktor kepemimpinan, kecerdasan dan kebijaksanaan serta kenegarawanan beliau berdua yang bisa menempatkan beliau dengan pantas untuk memegang kekuasaan sebagai gubernur. Pertanyaannya apakah keturunan beliau berikutnya dijamin memiliki kualitas yang sama? Itu satu! Kedua. Kalau melihat tetangga terdekat yaitu Keraton Kasunanan Surakartahadiningrat dan tetangga jauhnya yaitu Kesultanan Cirebon yang mungkin sampai saat ini masih terus bertikai untuk memperebutkan posisi nomor satu di wilayahnya. Padahal kedudukan sebagai Sunan Paku Buwono tidak otomatis menjadi walikota Surakarta. Atau kedudukan sebagai Sultan Cirebon tidak otomatis menjadi walikota Cirebon. Nah yang tidak memiliki wewenang politis formal (hanya sebagai pemimpin simbol budaya) saja begitu diperebutkan apalagi nanti bila otomatis gubernur DIY adalah Sri Sultan Hamengku Buwuno?!?!

Sekali lagi gubernur terbaik hanya bisa diperoleh melalui  mekanisme pemilihan langsung! Apa betul? Rasa-rasanya tidak juga. Setelah beberapa kali mengalami atau mengamati pemilukada rasanya tidak ada yang memenuhi kriteria "pemimpin terbaik". Padahal proses untuk mencari "pemimpin terbaik" itu memerlukan dana yang tidak sedikit. Kalau memikirkan hal ini saya jadi bingung apakah harus sependapat dengan SBY atau sependapat dengan sebagian rakyat Yogya? Kalau pemilukada tidak menjamin kepastian untuk mendapatkan "pemimpin terbaik" kenapa tidak kembali seperti dahulu saja yaitu gubernur ditetapkan oleh DPRD tidak dipilih langsung. Untuk semua daerah tidak hanya DIY saja. Mengapa? Pertama: alasan mengapa diadakan pemilihan langsung adalah (salah satunya) untuk meminimalisir politik uang yang mungkin bisa terjadi di DPRD! Kenyataannya, politik uang masih tetap berjalan bahkan lebih parah di pemilukada daripada waktu pemilihan lewat DPRD. Kedua: otonomi daerah hanya ditetapkan di kabupaten/kota. Dengan demikian peran gubernur hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah otonomi (kabupaten/kota) dan sebagai koordinator pembangunan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsinya. Jadi tidak begitu jauh dengan peran camat atau lurah. Yang berbeda mungkin hanya cakupannya saja. Dan yang perlu digarisbawahi disini adalah camat dan lurah tidak dipilih langsung tetapi ditetapkan! Dan terus terang saja selama ini saya tidak pernah merasakan dampak dari kebijakan gubernur.

Jadi ditengah kegaduhan demokratis vs monarki, saya ingin melemparkan wacana agar pemilihan gubernur cukup ditetapkan oleh DPRD Provinsi! Sedangkan pemilukada langsung cukup di level bupati/walikota karena otonomi berada di level kabupaten/kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun