Kedua. Kita tidak harus memiliki sudut pandang atau cara hidup yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Kita perlu menempuh perjalanan yang berbeda dari orang lain supaya kita sampai pada tujuan yang benar. Ketika orang lain sibuk membicarakan pandemi dan efek yang ditimbulkan, maka saat itu pula kita dituntun untuk berdiam dan menutup mulut dengan masker. Ketika orang lain sibuk mempersoalkan ekonomi yang merosot akibat pandemi, maka seharusnya kita sibuk untuk mencari peluang bagaimana mengantisipasi resesi ekonomi akibat pandemi. Hal ini bisa saja kita realisasikan dengan menghidupkan lahan-lahan yang tidur atau lahan sempit di sekitar rumah kita, dengan menanam berbagai macam sayuran atau buah-buahan. Tidak ada alasan bagi kita untuk menyatakan bahwa kita tidak punya pengalaman, sebab realisasi yang demikian sangat relevan dengan pengalaman Nuh, dalam waktu yang singkat Nuh dipaksa untuk berpikir bagaimana bisa membuat sebuah bahtera tanpa ada pengalaman sama sekali. Demikian juga kita di masa pandemi ini, kita dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menanggung pergumulan kita masing-masing dalam segala aspek kehidupan kita.
Ketiga. Kita perlu menjaga tradisi untuk tetap hidup bersih. Tradisi hidup bersih sudah ada sejak lama. Kebersihan tidak hanya dituntut secara fisik, namun juga secara batin. Orang yang batinnya bersih, tentu akan menghindari kemungkinan terburuk terjadi pada dirinya. Sama halnya dengan Nuh, dia tidak mengikuti pola hidup masyarakat di zamannya yang mengabaikan tradisi leluhur. Nuh tetap menjaga kesucian tradisi nenek moyangnya, dia tidak terlibat dalam skandal yang merugikan lingkungannya. Semua itu dilakukan tentunya untuk hidup lebih baik dan memelihara peradaban ciptaan. Demikian juga dengan kita,  hidup bersih baik secara lahir dan batin bukanlah tradisi yang baru lagi di dalam kehidupan kita, tentu hal itu sudah diajarkan dan seharusnya menjadi tradisi yang berkelanjutan demi peradaban yang lebih baik.
Demikianlah ketiga hal di atas menjadi pelajaran bagi kita. Tentu, ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mendengar panggilan jiwanya untuk merawat peradaban yang lebih baik. Dalam hal mendengar, orang yang memiliki daya imajinasi yang tinggi tentu memerlukan ruang  yang cukup untuk mengaktualisasikan idenya. Nuh menemukan ruang untuk mengaktualisasikan idenya, yaitu bencana. Nuh mampu mempersiapkan diri untuk menyambut kemungkinan terburuk hadir dalam hidupnya. Nuh fokus pada pendengaran hati nurani yang berporos pada keyakinannya terhadap eksistensi Tuhan.  Maka  kita perlu merekonstruksi kembali pendengaran yang dimiliki oleh Nuh, supaya kita tetap siaga dalam menghadapi kemungkinan terburuk dari bencana pandemi. Saat ini, bencana adalah salah satu ruang bagi kita untuk melihat bagaimana Tuhan memakai imajinasi kita supaya kita dapat keluar dari segala persoalan yang kita hadapi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H