Mohon tunggu...
Samuel Ordo Fransiskan
Samuel Ordo Fransiskan Mohon Tunggu... Jurnalis - Samuel

Asal Sekura Kalimantan Barat, Keuskupan Agung Pontianak. Sekarang Profesi sebagai Jurnalis di Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Pontianak di Portal berita MajalahDuta.Com, dan PenaKatolik Nasional. Ia juga sudah menerbitkan 6 buku ber-ISBN.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Pan Thung Sui (Air Setengah Ember)

30 Juni 2020   10:37 Diperbarui: 30 Juni 2020   10:53 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hallo saudara-saudari ku di mana pun anda berada. Terutama mereka turunan Tiongkok alias Tionghua yang ada di Indonesia, semoga kalian sehat selalu dan diberkati setiap pekerjaan maupun niat baik anda. Sebelum saya menjelaskan arti dari judul di atas dan bagaimana falsafah hidup ditengah masyarakat. Saya mau sedikit mengulas turunan Tionghua yang pernah saya dengar dan ketahui. 

Di sini kita hanya sekedar sharring saja ya, jangan terlalu tegang. Kalaupun ada yang kurang atau belum masuk dalam tulisan ini, bisa anda chat di kolom komentar dibawah ini. 

Oke, mari kita mulai.

Indonesia itu unik ya, di Republik ini ada ribuan suku dan bahasa. Namun dari ribuan suku dan bahasa itu, disatukan dengan bahasa Indonesia. Salah satu suku yang ada di Indonesia itu adalah turunan Tionghua yang banyak beredar sampai ke Pelosok. 

Tionghua di Indonesia juga beragam, ada yang Hakka (Khek), Tioucu, Hokkian dan masih banyak lagi  yang belum disebutkan. Namun umumnya yang saya ketahui dan sering berjumpa hanya tiga suku Tionghua ini di Kalimantan Barat.

Kalau di Pontianak Kota dan Ketapang umumnya Tioucu, kalau di Kota Singkawang (San Kew Jong) dan sekitarnya, termasuk pinggiran kota Pontianak contohnya di Siantan Mayoritas Khek (Hakka) dengan logat khas ada yang lembut dan kasar. Sedangkan untuk Hokkian yang saya temui, tersebar dimana-mana dalam jumlah yang tidak  begitu banyak. 

"Pan Thung Sui" atau Air Setengah Ember ini diambil dari bahasa Hakka Singkawang yang merupakan salah satu Pepatah yang Sarat akan makna dan falsafah hidup. 

Sekali waktu, ayah saya menawarkan saya untuk belajar bela diri, dalam hal ini ia menawarkan belajar Silat Dayak Kanayatn (Tradisional). 

"Dek, kamu mau belajar silat Dayak? Di kampung ada buka latihan silat, coba ikut," katanya. 

Karena tertarik dengan tawaran Ayah, selama tujuh malam berturut-turut, saya pun belajar... 

Singkat cerita, suatu malam ada Om saya (adik dari mama saya), datang ke rumah bertepatan dengan acara rumah. Dalam obrolan malam itu, Paman saya ingin tahu seberapa lincah dan cepatnya gerakan yang telah ku pelajari dari sang guru sebelumnya. 

(Karena sebelum acara malam itu, saya pernah ikut lomba karate komite perwakilan sekolah dan pencak silat dua kali Naik Dango.  Lumayan pernah ikut sebagai bekal dan pelajaran hidup).

Malam itu, sang paman minta saya untuk melakukan beberapa gerakan bunga silat dan kata karate (lumayanlah, saat itu saya menguasai sampai kata

Kanku Sho - INGKAI ) dan Paman meminta agar menyerangnya dengan cara saya bertanding. Malam itu, serasa malam yang tak bisa saya lupakan. Karena satu pukulan pun tidak berhasil mengenai tubuhnya saat itu. 

Kejadian ini saya merasa harus lebih rendah hati untuk belajar lagi. Dalam perbincangan malam itu, Paman katakan bahwa yang saya pelajari ini, masih tingkat olah tubuh. Belum sepenuhnya bela diri. 

"Sini om ajarkan, bagaimana Jurus Si Fung (Empat Mata Angin) yang dalam bahasa Indonesia disebut "Menyelam Naga, Menghembus Awan,"katanya. 

Mulai malam itulah saya belajar Ilmu baru dengan paman, yang ia bimbing selama 3 bulan di galang tempat kerja ayah saya. Selama Proses latihan, ternyata ayah begitu memperhatikan ku. Hingga sekali waktu, tak sengaja saya bertanya dengan ayah. 

"Pa, beladiri yang paling bagus menurut Papa apa?" kata ku. 

Senyum-senyum sendiri, ia hanya mengatakan semua beladiri itu tidak ada yang paling hebat dan tidak ada yang paling lemah. Ia mengatakan bela diri yang paling bagus adalah bela diri yang dilatih setiap hari. Tidak peduli apapun itu. 

"Dek, ada pepatah tua dalam bahasa Hakka yang mengatakan bahwa apa yang kita punya sekarang masih "Pan Thung Sui" berarti air setengah ember. kita harus lebih banyak belajar dan tekun dengan apa yang kita punya sekarang. Bukan apa yang hebat dimata kita tapi tidak kita punya," katanya. 

Ia juga berpesan, yang paling penting adalah bukan apa yang hebat atau yang mana yang paling hebat. Tetapi kemampuan apapun dan sederhana apapun yang kita punya, asal itu dikerjakan dengan hati,  maka hasilnya akan hebat. 

Dari perbincangan dengan Ayah inilah saya mendapat istilah Pan Thung Sui. Kata-kata Pan Thung Sui ini, mengajarkan ku untuk sadar dan harus belajar rendah hati lagi. Intinya dari perbincangan kami sore itu, setiap manusia harus bersyukur dengan apa yang mereka miliki. Karena sejatinya, apa yang kita punya sebenarnya belum sempurna maka harus selalu disempurnakan, supaya Pan Thung Sui (Air setengah ember) ini selalu kita isi, sampai nafas terakhir. (Belajar sepanjang hayat).

Bahasa Hakka: 
Pan: Setengah
Thung: Drum/ ember besar
Sui: Air

Oleh: Samuel (Bong Jan Pheng)
Nama Pena: Semz

Pontianak, Selasa 30 Juni 2020 (KomsosKap).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun