Tulisan ini merupakan beberapa catatan dan komentar saya tentang surat terbuka Romo Franz Magnis Suseno SJ untuk Prabowo yang berjudul “Masa Depan Bangsa Dalam Taruhan” tertanggal 2 Juli yang lalu.
Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa saya memilih menyebut beliau sebagai Prof. Magnis, karena sebagai seorang Katolik penyebutan Romo membawa saya kepada hubungan domba dengan gembalanya yang tidak saya maksudkan dalam tulisan ini.Hal ini juga lebih tepat karena dalam surat tersebut beliau menempatkan diri sebagai warga negara biasa.Dengan demikian, ini merupakan catatan seorang warga negara terhadap tulisan sesama warga negara lain. Sedangkan sebutan professor digunakan selain beliau memang guru besar juga karena rasa hormat saya mengingat usia beliau yang dua tahun senior saya.
Tulisan beliau ini bukan satu-satunya tulisan Prof. Magnis tentang ikhwal pencapresan Prabowo Subianto. Yang kebetulan saya baca termasuk bulan Maret yang lalu beliau berbicara dalam suatu pertemuan di Maarif Institute menyampaikan pesan agar masyarakat ‘Jangan pilih Capres yang tangannya berlumuran darah’. Di kali lain beliau diberitakan mengatakan bahwa kalau Jokowi bukan yang terpilih menjadi Presiden, Indonesia akan mengalami chaos. Mungkin sekali masih ada yang lain lagi.
Yang lebih banyak menjadi perhatian saya adalah yang terakhir, surat kepada Prabowo Subianto yang diumumkan melalui suatu website. Surat ini memang jelas ditulis untuk disebar-luaskan kepada masyarakat luas.
Prof. Magnis merasa terpanggil untuk menjelaskan ke masyarakat mengapa beliau tidak mungkin memilih Prabowo Subianto tanggal 9 Juli nanti. Sekiranya itu surat pribadi ke Prabowo, tentu saya tidak akan tahu. Tetapi jelas surat ini adalah pengumuman beliau kepada masyarakat luas mengapa beliau tidak memilih Prabowo.
Adalah hak setiap orang untuk memilih atau tidak memilih dalam Pilpres. Dan kalau memilih juga kepada siapa pilihannya dijatuhkan. Demikian pula adalah hak Prof. Magnis untuk menulis surat terbuka kepada Prabowo sebagai capres. Akan tetapi dengan mengumumkannya kepada masyarakat, tentu dimaksudkan atau dengan harapan agar keputusan beliau akan diikuti orang lain. Tulisan ini menuai sejumlah tanggapan tertulis juga. Saya rasa yang tidak tertulispun tentu banyak, baik yang setuju maupun yang sebaliknya, mengingat kepiawaian beliau sebagai cendekia.
Jadi jelas, tulisan ini bukan dalam kapasitas Prof. Magnis sebagai rokhaniwan atau gembala spiritualitas bagi umat Katolik yang beliau sandang. Bagi saya pesan spiritualitas adalah pesan yang mendekatkan pendengar atau pembacanya kepada Tuhan. Pesan spiritualitas tidak akan memuat hal yang bersifat menghakimi orang (judgemental), menunjuk kepada kebenaran, adalah pesan kasih yang tidak saya temukan dalam surat tersebut.
Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa saya adalah kakak ipar Prabowo Subianto - Capres nomor urut satu – karena saya adalah suami dari Bianti, kakak tertua Prabowo. Saya menjadi ipar Prabowo sudah hampir genap 43 tahun.Oleh sebab itu saya merasa mengenal Prabowo dengan baik. Tetapi saja juga mohon maaf, karena sebagai ipar mungkin membuat pandangan saya tentang dia bias alias kurang objektif.
Bagaimanapun saya mempunyai itikad yang bersih dalam menyampaikan pandangan dan catatan saya. Sebagai warga negara yang juga mempunyai kepedulian terhadap nasib bangsa Indonesia, saya juga terpanggil untuk memberikan catatan dan tanggapan atas apa yang tersurat maupun tersirat dalam surat terbuka Prof. Magnis tersebut.
Saya ingin menyampaikan hal-hal yang saya merasa tahu dan yakin mengenai Prabowo Subianto yang saya rasakan tidak benar atau tidak lengkap disebutkan mengenai diri Prabowo dalam surat tersebut. Ini adalah hak pribadi saya memperjuangkan hak asasi orang yang saya kenal sebagai saudara.
Berbagai hal yang ditulis Prof. Magnis mengenai Prabowo
Terlebih dahulu puji Tuhan Prof. Magnis ternyata percaya bahwa Prabowo adalah seorang Pancasilais dan tidak anti pluralis, jadi Prabowo adalah pluralis.Prof. Magnis juga tidak meragukan itikad baik Prabowo dalam keinginannya membangun dan menyelamatkan bangsa Indonesia.
Akan tetapi Prof. Magnis tidak dapat memberikan suaranya kepada Prabowo dengan sejumlah alasan.Saya kemukakan kembali alasan-alasan beliau dibawah.
Sebelumnya Prof. Magnis secara tidak langsung menyebutkan Prabowo tangannya berdarah. Demikian pula menurut beliau kalau Prabowo terpilih akan terjadi chaos (kekacauan).
Akan tetapi dalam surat terbukanya, alasan Prof. Magnis tidak bisa memilih Prabowo adalah karena beliau merasa khawatir mengenai pengaruh para pendukung kalangan Islam aliran keras terhadap Prabowo. Secara spesifik disebutkan bagaimana Pak Amien Rais mengibaratkan persaingan antara Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK dalam Pilpres bagaikan perang Badar, dengan Prabowo-Hatta merupakan pahlawan untuk mengalahkan orang-orang kafir.
Prof. Magnis khawatir Prabowo akan merasa berhutang budi dan pada waktunya harus membayar (pay-back time) para pendukung Islam berhaluan keras.Ini disebutkan dalam pernyataan Prof. Magnisdengan kata-kata “sepertinya Prabowo menjadi tumpuan harapan pendukung Islam bergaris keras, seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi Presiden”.
Prof. Magnis kembali mempertanyakan permasalahan ‘pemurnian agama’ yang disebutkan dalam manifesto Gerindra tahu 2009. Prof. Magnis menekankan bahwa meskipun Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo yang juga wakil ketua dewan Pembina Gerindra, pernah mengatakan bahwa hal tersebut adalah suatu kekeliruan yang akan dihapus, akan tetapi sampai kini masih belum dihapus. Dari hal ini Prof. Magnis berkesimpulan Hashim tidak punya pengaruh di Gerindra. Atau mungkin ingin mengatakan Hashim bohong?
Prof. Magnis kembali mempertanyakan mengapa Gerindra mengatakan bahwa masalah HAM itu dianggap permasalahan usang? Ini telah dikemukakan beliau sebelumnya.
Tetapi menurut saya hal yang paling berat adalah bahwa Prof. Magnis meragukanPrabowo akan memegang teguh UU dan UUD. Saya sitir “Apa jaminan bahwa Prabowo akan taat undang-undang dasar dan undang-undang kalau dia merasa tak terikat oleh ketaatan di militer?”
Prof. Magnis menekankan Prabowo tidak pernah menyangkal bahwa penculikan 9 aktivis yang menyebabkan dia diberhentikan dari karir militernya adalah tanggung jawabnya. Prof. Magnis menambahkan bahwa Prabowo melakukan penculikan tersebut atas inisiatif sendiri. Beliau juga menyesalkan bahwa para mantan yang akan membuka borok Prabowo dikritik.
Mengenai pendukung Prabowo
Dalam kenyataannya partai-partai Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta terdiri dari 7 partai, di mana ada 4 partai Islam- PAN, PPP,PKS dan PBB - yang memenangkan 22.37%suara pemilih, dan 3 partai nasionalis-pluralis - Golkar, Demokrat dan Gerindra - sebesar 36.75%.
Dari komposisi anggota Koalisi Merah Putih dengan perbandingan 36.75% nasionalis-pluralis dan 22.37% Islam tersebut dasar Prof Magnis mengkhawatirkan Prabowo akan dikendalikan oleh Islam keras rasanya tidak tepat. Apalagi kalau mengatakan bahwa pendukung Prabowo adalah partai-partai Islam saja.
Kalau salah seorang tokoh partai pendukung koalisi, apakah Amin Rais atau yang lain membuat suatu pernyataan atau analisa, apakah hal tersebut merefleksikan pandangan atau sikap koalisi dan kemudian menjadi sikap Prabowo merupakan isu akademis. Bahwa para pendukung koalisi mempunyai sejumlah harapan masing-masing saya kira itu wajar dan tidak perlu dikhawatirkan. Apalagi siapa yang percaya dalam koalisi itu tidak ada kesepakatan tentang hak dan kewajiban?
Tetapi mengatakan Prabowo tentu akan menerima semua usulan pendukungnya karena berhutang budi dan merasa harus membayar kembali pada waktunya (ada pay-back time) untuk mementingkan program atau agenda masing-masing partai, apalagi kelompok atau individu, rasanya ini merupakan kesimpulan yang simplistik.Pertama dari partai koalisi sendiri tentu tidak bisa mengharapkan hal-hal yang tidak realistis. Dan mengatakan bahwa Prabowo tentu akan bersikap seperti ini, menerima untuk didikte partai atau individu, saya rasa jelas tidak sesuai dengan sikap Prabowo dalam menjalankan kepemimpinannya yang saya amati.
Mengkhawatirkan Prabowo akan didikte oleh individu atau sekelompok pendukungnya, dengan perkataan lain mengatakan Prabowo seorang yang lemah dalam memimpin tidak sesuai dengan kekhawatiran sebaliknya yang juga dikumandangkan terus menerus terhadapnya, bahwa Prabowo orang yang keras dan tegas, berani mengambil keputusan. Apalagi Prabowo oleh Prof. Magnis juga dituduh berani mengabaikan atasan (militer). Sekaligus Prabowo dikhawatirkan akan berperilaku sebagai boneka dan juga diktator atau autocrat, apa tidak aneh?
Sebagai saudaranya selama 43 tahun saya berhak untuk merasa mengenal Prabowo dengan baik. Dan atas dasar tersebut saya ingin menekankan bahwa Prabowo tidak bersifat sektarian, dia adalah pluralis. Prabowo orang yang sangat disiplin dan konsisten, karena itu juga patuh dan disiplin terhadap aturan, Undang-Undang, apalagi UUD. Prabowo menjunjung tinggi peraturan, UU dan UUD, baik dalam menjalankan tugas maupun dalam menerima sanksi, betapapun dia merasakan pahitnya perlakukan tidak adil, seperti waktu masih menjadi kadet di AKABRI Magelang dan menerima pemberhentiannya sebagai Komandan Kostrad.
Permasalahan pemurnian agama
Saya terus terang susah mengerti kekhawatiran Prof. Magnis tentang hal ini. Sebagaimana diakui beliau secara terbuka, Hashim Djojohadikusumo sudah menyatakan hal tersebut adalah suatu kekeliruan yang akan diluruskan dengan menghilangkan kata-kata yang keliru dalam Manifesto Gerindra.
Kalau sampai sekarang penghapusan itu belum terlaksana saya yakin bukan karena akan disembunyikan dan didiamkan oleh Gerindra. Dalam semua kegiatan Partai menghadapi pencalonan Prabowo-Hatta dalam Pilpres, memang semua perhatian dan waktu dicurahkan kepada Pilpres tersebut. Karena itu perubahan Manisfesto menyangkut hal tersebut belum dilakukan. Mudah-mudahan Prof. Magnis bukan menuduh Hashim berbohong. Kalau itu yang dimaksud, saya kembali sebagai saudara Hashim akan mengatakan adalah mustahil bahwa Hashim bohong waktu mengatakan hal tersebut.
Mungkin juga perlu disebutkan bahwa setelah pernyataan Hashim mengenai hal tersebut, beberapa orang lain telah mengatakan hal yang serupa di muka umum, termasuk Fadli Zon (Waketum Gerindra), Kastorius Sinaga (anggota timses Prabowo-Hatta), dan saya sendiri (Penasehat Gerindra). Saya ingin menyampaikan di sini; kami-kami ini bukan pembohong dan bukan pula penakut.
Gerindra tidak menganggap masalah HAM usang
Saya secara persisnya tidak tahu apa yang menjadi sumber Prof. Magnis mengatakan bahwa beliau heran bahwa Gerindra menganggap masalah HAM itu usang. Seandainya ada pernyataan demikian oleh kader Gerindra saya yakin hal tersebut tentu berkaitan dengan tuduhan yang terus menerus dilancarkan terhadap pihak-pihak yang ingin menjelek-jelekkan Prabowo dengan menggunakan isu pelanggaran HAM oleh Prabowo yang sudah lama dikemukakan dan yang sudah pula dibantah, tetapi terus saja dimunculkan.
Tuduhan terhadap pelanggaran HAM oleh Prabowo biasanya dikaitkan dengan penahanan atau penculikan aktivis, penembakan Trisakti dan kerusuhan Mei.Karena tuduhan-tuduhan tersebut berulang-ulang setelah ditanggapi, diberikan kesaksian dan keluarnya dokumen-dokumen baru apapun, tuduhan ini tetap diulang dilancarkan dengan sifat dan intensitas sama, maka mungkin kader ini kemudian mengatakan hal tersebut. Yang mencolok adalah bahwa tuduhan ini tidak nampak sewaktu tahun 2009 Prabowo berkampanye sebagai cawapres berpasangan dengan Megawati. Tetapi dewasa ini tuduhan tersebut dilancarkan kebanyakan oleh timses koalisi PDI-Perjuangan dengan 3 partai lain.
Saya tidak percaya Gerindra menyepelekan dan menganggap remeh masalah pelanggaran HAM, karena itu juga tidak menganggap usang masalah pelanggaran HAM.
Akhirnya perlu saya tekankan di sini bahwa masalah pelanggaran, termasuk pelanggaran HAM ada dalam ranah hukum, karena itu tidak boleh melancarkan tuduhan berdasarkan atas prasangka. Tuduhan pelanggaran HAM harus dibuktikan menurut proses hukum. Dikemukakan dalam periode kampanye hal ini jelas dijadikan isu politik.
Prabowo tidak menyangkal bertanggung jawab dalam penahanan 9 aktivis oleh unit di Kopassus.
Saya percaya bahwa Prabowo tidak menyangkal bahwa penahanan 9 aktivis oleh Tim Mawar, suatu unit di dalam Kopassus pada waktu Prabowo menjadi komandannya menjadi tanggung jawabnya. Tetapi saya kira tidak benar seperti ditulis Prof. Magnis bahwa Prabowo melakukan itu atas inisiatifnya sendiri. Saya tahu itulah yang dikatakan Pak Wiranto sebagai PANGAB, atasan Prabowo waktu itu.
Adalah hak Prof. Magnis untuk percaya kepada pernyataan tersebut, tetapi adalah hak saya pula untuk tidak mempercayainya. Yang jelas Prabowo tidak mengatakan demikian.Pernyataan Prabowo melakukan penahanan aktivis adalah inisiatifnya sendiri merupakan pernyataan Prof. Magnis yang mungkin diambil dari perkataan Pak Wiranto.Tanpa ada suatu bukti, isu ini hanya tergantung kepada siapa yang lebih bisa dipercaya. Tanpa bukti-bukti yang jelas, hal tersebut hanya tuduhan belaka.
Prabowo selalu menekankan, diucapkan juga dalam salah satu debat capres, tidak ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya. Inilah arti Prabowo tidak menyangkal atas tuduhan penahanan 9 aktivis yang dilakukan oleh Tim Mawar. Sebagai Komandan Kopassus yang membawahi Tim Mawar, Prabowo merasa bertanggung jawab dan menerima keputusan Presiden Habibie memberhentikan dirinya dari ABRI yang sangat dia cintai. Prabowo menerima konsekuensi sebagai komandan dimana anak buahnya melakukan kegiatan yang oleh lembaga penegak hukum yang benar (Mahmil), diputuskan tentang adanya perbuatan pidana yang menyangkut pelanggaran HAM. Prabowo menunjukkan tanggung jawabnya dengan kehilangan karir militernya yang telah dijalaninya dengan cermerlang.
Mudah-mudahan hal tersebut bisa dibedakan dengan pernyataan yang menyebutkan Prabowo mengakui melakukan perbuatan melanggar HAM. Prabowo mengatakan dia mempertahankan hak asasi manusia dengan menjalankan perintah untuk melakukan pengamanan terhadap unsur-unsur yang pada waktu itu dianggap musuh negara karena membahayakan keselamatan masyarakat. Dalam kenyataannya dilakukan penahanan atas 9 aktivis. Semua yang dilakukan dalam pelaksanaan perintah ini dilaporkan kepada atasannya. Prabowo tidak pernah menyebutkan dimuka umum siapa atasan tersebut.
Mengenai 9 aktivis yang ditahan unit dibawah Kopassus dengan Prabowo sebagai komandannya, ada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bekerja sama dengan Komisi HAM. Demikian pula ada laporan Pemerintah yang dilakukan Sekneg, diumumkan Mensekneg Muladi yang menyebutkan tidak ditemukan bukti yang mendukung tuduhanPrabowo melakukan pelanggaran HAM dalam penahanan mahasiswa maupun kerusuhan Mei 1998.
Sebagaimana semakin terkuak di masyarakat, keseluruhan aktivis yang ditahan menurut TGPF adalah 24. Dari jumlah ini menurut berbagai laporan tersebut satu orang ditemukan telah meninggal. 9 orang yang ditahan Tim Mawar dibawah Kopassus semua dilepaskan kembali oleh Kopassus dan masih hidup (banyak dilaporkan, antara lain 4 orang menjadi kader Gerindra, satu orang kader Jokowi, ada yang bekerja di Sekneg, menjadi wartawan dst).
Pertanyaannya adalah di manakah yang 13 orang? Ini merupakan tragedi yang menyesakkan bangsa Indonesia. Tetapi terus menerus menanyakan dan melemparkan tuduhan kepada Prabowo semakin sulit dimengerti. Prof. Magnis dalam hal ini benar, mengritik mengapa baru sekarang dipertanyakan? Sayangnya beliau sendiri juga ikut mempertanyakan saat ini. Kalau sampai sekarang masalah ini belum dituntaskan, apakah juga karena Prabowo? Tentu beliau mengatakan sudah juga menanyakan sebelumnya. Tetapi disaat kampanye pilpres mengatakan tindakan ini dilakukan dalam rangka memperjuangkan HAM saya rasa banyak pihak yang meragukannya.
Di pihak lain, masalah pelanggaran HAM seyogyanya diusut tuntas tidak hanya karena seseorang mencalonkan diri menjadi caleg, cawapres atau capres, tetapi buat semua saja. Prabowo sudah membuka diri, mempertanggung-jawabkan porsi yang harus dipertanggung-jawabkannya. Bagaimana dengan yang lain?
Suatu catatan kecil saja, kalau digunakan penalaranatau akal sehat, sekiranya Prabowo juga tersangkut dengan ke 14 aktivis yang meninggal dan hilang tersebut, mengapa Prabowo melepaskan 9 aktivis yang dia mengakui ditahan oleh Tim Mawar? Apa hal ini - melepas sebagian dan menghilangkan yang lain – bukan suatu tindakan bunuh diri?
Sebaliknya Prabowo juga mengatakan melaporkan apa yang dilakukannya kepada atasan. Kalau yang diakui atasan berbeda dengan yang diakui Prabowo, bukankah harus dilakukan cross check, dipertemukan menjadi jelas siapa yang mengatakan yang benar siapa yang berbohong? Bagaimana yang lain lagi yang memilih diam seribu bahasa? Paling banter kita boleh mengatakan ini belum jelas,tetapi menuduhkan semua kepada Prabowo yang melakukan dengan inisiatif sendiri semua ini rasanya sangat tidak sesuai dengan akal sehat.
Mengenai para mantan yang membuka borok Prabowo dikritik. Apakah ini sesuatu yang tidak masuk akal? Kalau kritiknya benar harusnya jangan khawatir dikritik, kalau kritiknya tidak benar, apalagi kalau dicurigai orang lain karena dianggap tidak benar atau tidak akurat karena mereka juga mengetahui, apa masalahnya? Yang sebenarnya langsung menuduh adalah Prof. Magnis yang mengatakan para mantan yang akan membuka ‘borok Prabowo’.
Sebenarnya yang tepat adalah dibiarkan semua yang mengetahui membeberkan yang mereka mengklaim mengetahui. Nanti akan kelihatan siapa yang lebih konsisten, siapa yang bohong dan siapa yang mengatakan benar. Hanya di saat kampanye penyebutan masalahnya saja sudah menjadi isu politik, apalagi disertai tuduhan.
Apa jaminan Prabowo akan taat UU dan UUD?
Prof. Magnis meragukan Prabowo akan taat kepada UU dan UUD karena menurut beliau dulu dia merasa tidak terikat kepada ketaatan di militer. Menurut saya ini suatu tuduhan yang sangat berat, tetapi saya ingin membahasnya seperti isu lain.
Saya tidak mengerti apa yang digunakan sebagai dasar Prof. Magnis mengatakan dulu Prabowo merasa tidak terikat kepada ketaatan militer. Bagaimana kalau saya menggunakan kesaksian sejumlah rekan Prabowo yang mengatakan bahwa perintah mengamankan para aktivis yang dikhawatirkan bisa menganggu kestabilan dan keamanan menjelang SU MPR tahun 1997/98- menurut suatu dokumen dinamakan Operasi Mantap (?) untuk mengamankan sejumlah ‘setan gundul’ – itu menyangkut tindakan Prabowo mengabaikan perintah atasan. Menurut kesaksian tersebut keputusan Prabowo melepas 9 aktivis yang ditahan Tim Mawar bertentangan dengan perintah atasan untuk menghilangkan para aktivis tersebut. Apakah hal ini yang menunjukkan Prabowo merasa tidak terikat kepada ketaatan militer, membangkang keputusan atasan?Saya tidak tahu.
Akan tetapi menurut saya, meragukan Prabowo, seorang warga negara Indonesia yang telah bertekad maju menjadi calon presiden dalam Pilpres dengan mengikuti semua persyaratan dan proses demokratis yang panjang, rumit dan berat, dalam ketaatannya kepada UU dan UUD kalau nantinya terpilih, adalah suatu tuduhan yang tidak pantas diajukan oleh warga negara Indonesia yang lain, apalagi seorang cendekia yang juga rokhaniwan. Kepercayaan Prof. Magnis bahwa Prabowo itu Pancasilais adalah dengan meragukan ketaatannya kepada UUD. Itu hak Prof. Magnis untuk mengatakan. Saya hanya menggunakan hak saya untuk berkomentar, bahwa buat saya hal tersebut aneh.
Prof. Magnis menanyakan mengenai hal ini apa jaminannya? Ya, siapapun yang nantinya terpilih, termasuk Prabowo harus mengucapkan sumpah jabatan yang mempunyai kekuatan dan konsekuensi hukum, termasuk impeachment dan kriminalisasi? Bukankah itu jaminan yang jelas dari sistem negara hukum yang kita anut?
Saya ingin menambahkan, kembali sebagai seorang saudara saya justru melihat Prabowo sangat patuh terhadap aturan dan perundangan, apalagi UUD. Saya lihat Prabowo mempunyai disiplin yang luar biasa sebagai seorang prajurit yang memegang Sapta Marga. Prof. Habibie menuduh Prabowo akan melakukan coup d’etat terhadapnya.Penalaran saya mengatakan, Prabowo waktu itu sebagai komandan Kostrad menguasai lebih dari separo kekuatan militer Indonesia yang ada dibawah komandonya, belum lagi yang ada diluar itu yang dia tahu mendukung dia.
Kalau dia gila kekuasaan dan tidak taat kepada UUD, itulah waktu terbaik bagi dia melakukan coup. Tetapi Prabowo tidak melakukan coup d’etat di tahun 1998. Dia tidak melakukannya bukan karena dia penakut, seperti yang banyak orang mengakui, jadi karena apa kalau bukan karena dia tunduk kepada UUD?
Mengapa Prabowo memilih tidak menggunakan jalan pintas merebut kekuasaan, tetapi mengikuti proses yang rumit dan berat, bangkit kembali setelah jatuh dengan menghadapi semua cobaan, tuduhan dan kritik. Prabowo bersama Hashim membentuk Gerindra dan mengikuti semua proses dan persyaratan untuk menjadi capres tahun 2014 ini. Apakah itu bukan bukti dia seorang demokrat yang tunduk pada peraturan perundangan, apalagi UUD?
Saya justru merasa heran. Saya adalah seorang pejabat tinggi negara dalam era Orde Baru, tetapi saya bias melihat dan mengakui bahwa era reformasi telah berhasil mengintrodusir dan membangun sistem demokrasi yang meskipun banyak yang masih harus disempurnakan, telah menjadi landasan kokoh dari kehidupan bangsa Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara. Saya yakin tidak ada orang atau sekelompok golongan atau partai yang ingin merusak sistem demokrasi yang sudah tertanam ini. Kalaupun ada yang ingin mencoba, saya yakin sistem demokrasi dan pengamanannya akan mematahkan usaha tersebut. Saya yakin sistem demokrasi yang sudah tertanam ini akan berdiri langgeng di bumi pertiwi kita, Indonesia.
Sebagai orang yang mengenal Prabowo, saya yakin Prabowo tidak ada sedikitpun kecenderungan apalagi niat untuk merubah sistem demokrasi yang sudah kuat tertanam di Indonesia. Kalaupun saya salah, saya yakin sistem demokrasi kita dengan sistem dan kelembagaan hukum yang ada telah merupakan jaminan tetap berdirinya NKRI.
Penutup
Demikianlah catatan dan komentar saya terhadap surat terbuka dan argumen Prof. Magnis yang merasa terpanggil untuk mengumumkan kepada masyarakat luas mengapa dia tidak memilih Probowo Subianto dalam Pilpres tanggal 9 Juli ini.
Pengumuman tentang pilihan beliau dalam Pilpres yang adalah hak setiap warga negara yang boleh dirahasiakan ini tentu dimaksudkan agar selain diketahui masyarakat luas, juga agar masyarakat luas mengikuti pilihannya.
Catatan dan komentar saya ini juga merupakan pemanfaatan hak saya untuk berkomentar dengan maksud agar pembaca tidak serta merta mengikuti apa yang menjadi pendapat pribadi Prof. Magnis.
Saya sendiri ingin agar semua orang menggunakan hak pilih masing-masing secara cerdas, sesuai dengan hati nurani. Sebagai seorang yang mempercayai Tuhan, sebagai Pancasilais, pada waktu anda akan melaksanakan pilihan anda tanggal 9 Juli nanti undanglah Tuhan hadir dalam diri anda untuk membimbing anda menjatuhkan pilihan di bilik pemilihan di TPS anda masing-masing.
Jakarta, 06/07/2014
J. Soedradjad Djiwandono
Guru Besar Emeritus Ekonomi, UI dan Professor IPE, Rajaratnam School of International Studies, NTU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H