Rabu, 23 Maret 2022, masyarakat sipil Indonesia melaporkan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan ke Polda Metro Jaya terkait dugaan konflik kepentingannya sebagai pejabat publik dan bisnis tambang perusahaan yang dia tercatat sebagai pemegang saham mayoritas. Lokasi tambang emas itu berada di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua.Â
Namun, polisi menolak dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, ketika meminta laporan tanda terima polisi, polisi mengatakan tidak bisa mengeluarkan LP (Laporan Polisi), hanya bisa mengeluarkan LI (Laporan Informasi).
Setelah mereka menerima, ternyata polisi mengingkari penyataannya karena laporan tersebut hanya dikategorikan sebagai surat-menyurat biasa. Tentu saja, hal ini dianggap sebagai pengingkaran terhadap penegakan hukum pidana.
Respon kepolisian tersebut sangat berbanding terbalik ketika Luhut Binsar Panjaitan melaporkan Fatia dan Hariz yang diproses dengan cepat, hanya beberapa bulan saja keduanya sudah ditetapkan menjadi tersangka. Sehingga semakin membuktikan bahwa pihak kepolisian melakukan disparitas dan diskrimasi terhadap kasus yang melibatkan pejabat publik dengan kasus-kasus yang menimpa masyarakat.
Dalam kebijakan PP Nomor 43 Tahun 2018 tentang penanganan kasus korupsi, seharusnya ada upaya aktif dari penegak hukum, bahkan ketika pelapor hanya menyampaikan laporan secara lisan, penegak hukum seharusnya langsung mencatatnya. Padahal, sudah jelas ada laporan yang dibangun secara komprehensif, tetapi penegak hukum bersifat reluctant atau tidak mau menindaklanjuti.
Abdul Fickar Hadjar selaku pakar hukum pidana Universitas Trisakti mengatakan bahwa polisi tidak sepantasnya menolak laporan tersebut jika tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam KUHAP yaitu melalui penghentian penyidikan (SP3) yang mana dapat ditokal karena kurang bukti atau perkara atau laporan itu bukan perkara pidana. Penolakan yang dilakukan tersebut dinilai seakan polisi masuk dalam ranah politis.
Penegakan hukum yang tidak seimbang antara pejabat publik dan masyarakat biasa telah berpotensi menganggu proses demokrasi. Dimana rakyat bisa bersuara jika hanya kelompok elit saja yang didengar? Sementara UU telah menjamin rakyat punya hak dalam mengawasi kinerja pejabat publik. Dengan demikian, bukankah sudah pantas polisi disebut pelanggeng oligarki?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H