Dewasa ini pendidikan menjadi topik pembicangan yang sangat menarik dimana pada jaman dulu kala,perempuan selalu dituntut untuk didapur mengurus anak dan juga menjadi ibu rumah tangga biasa.
Tetapi sekarang ada nama nya wanita karier,Menurut Munandar (dalam Ermawati, 2016: 2), wanita karier adalah wanita yang berkecimpung di dalam kegiatan profesi (usaha dan perusahaan). Selain itu wanita yang berkarier merupakan wanita yang melakukan pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu dan keahliannya.
Dalam era globalisasi di awal abad ke-21 ini, isu mengenai tingkat pendidikan, independensi, peran, fungsi dan masalahnya dalam keluarga maupun masyarakat merupakan isu yang tidak saja menarik tetapi juga sangat relevan untuk dibicarakan.
Perempuan memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam keluarga dan masyarakat. Sayangnya, banyak yang tidak bisa memainkan peran dan fungsinya dengan baik karena faktor kemiskinan dan salah satu penyebab utama terjadinya kemiskinan ini adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan,apabila perempuan memiliki pengetahuan yang luas dan tingkat pendidikan yang tinggi, maka peran mereka secara mikro dalam keluarga akan tinggi, bahkan peran sosial perempuan dalam masyarakat juga tinggi.
Sekalipun pendidikan merupakan hak seluruh rakyat Indonesia, namun kenyataannya masih terdapat kesenjangan pendidikan. Kesenjangan perempuan dan laki-laki masih nampak ada.Â
Data BPS pada tahun 1999 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 20 - 44 tahun, laki-laki buta huruf sebesar 4 per 100 orang, sedangkan perempuan sebesar 9 per 100 orang. Menurut World Education Report (1995), banyak anak perempuan yang meninggalkan sekolah di tingkat dasar pertama pada usia 11 tahun yang putus sekolah, ini disebabkan karena faktor kesulitan ekonomi.
Inilah salah satu faktor ekonomi yang membuat perempuan di desa Kubu Raya tidak melanjutkan pendidikan mereka dan kemudian mengikuti saran orang tua mereka untuk segera menikah dengan Pria dari negara Taiwan. Dimana mereka akan di iming imingi hidup berkecukupan untuk mereka dan orangtua mereka yang berada di Indonesia.
Rasa bakti ini yang mendorong mereka berani untuk tidak mengapai cita cita mereka dan kemudian menikah dan menjadi dewasa disaat usia yang sangat dini,secara psikologi memiiliki anak di usia dini dapat memberi beberapa dampak seperti :
Perkawinan usia anak, remaja perempuan yang hamil dan melahirkan rawan mengalami gangguan mental pasca melahirkan, seperti depresi setelah melahirkan (baby blue syndrome) yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurangnya bantuan ketika melahirkan.
Dampak psikologis yang lain dapat menimbulkan trauma dan krisis percaya diri, kemudian emosi nggak berkembang dengan matang Menurut dokter Spesialis Jiwa OMNI Hospitals Pulomas Jakarta dr Jimmi MP Aritonang, SpKJ tuturnya.
Secara psikologis hal yang dipaksa itu tidak baik,karena segala hal yang bukan keingginan kita tapi dilakukan karena terpaksa bisa membuat menjadi tertekan.
Sejatinya Perkawinan merupakan salah satu kejadian penting yang akan dihadapi oleh setiap manusia dalam perjalanan hidup. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh individu usia dewasa awal pada akhirnya akan melakukan perkawinan Atwater (dalam Vembry, 2012)