Mohon tunggu...
Schmuel Matthew Muhea
Schmuel Matthew Muhea Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seorang siswa SMA

"Orang menuntut kebebasan berbicara sebagai kompensasi atas kebebasan berpikir yang jarang mereka gunakan." -Søren Kierkegaard

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kierkegaard: Menjadi Seorang Manusia

1 Maret 2022   12:00 Diperbarui: 1 Maret 2022   12:03 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap manusia mempunyai kecenderungan dan kebiasaan masing-masing. Kecenderungan tersebutlah yang membuat manusia menjadi seorang “homo sapiens” yang berbeda dengan hewan. 

Oleh sebab itu seorang filsuf dan teolog Denmark bernama Kierkegaard membahas hal ini secara terperinci. Mulai dari kehidupan mula-mula seorang manusia yang dengan berselangnya waktu mempelajari arti kehidupan yang sebenarnya. 

Meskipun tidak semua orang mungkin mengalami tahapan-tahapan kehidupan ini tetapi Kierkegaard sudah menyusun secara terperinci mengenai hal-hal yang mungkin akan dilewati oleh setiap manusia atau bahkan sudah terlewati atau sudah berada pada tahap itu. 

Melalui tulisan ini penulis ingin memaparkan secara terperinci mengenai tahapan-tahapan kehidupan ini dengan contoh-contoh sederhana yang bisa dikaitkan dengan tahapan kehidupan tersebut ataupun yang berkaitan dengan tulisan penulis.

Sebelum masuk ke dalam penjelasan yang lebih dalam penulis akan terlebih dahulu menjelaskan salah satu hal penting dalam filsafat Kierkegaard, yaitu komitmen. Apa itu komitmen? Apakah hal ini penting sekali sehingga hal ini bisa menjadi tujuan hidup manusia? Ya, komitmen itu penting. 

Tidak banyak yang menyadarinya, tetapi orang yang tidak berkomitmen justru tidak memiliki tujuan apa-apa. Di lain hal orang yang berkomitmen biasanya akan memiliki tujuan dan bisa menjadi lebih maju daripada orang yang tidak memiliki komitmen sama sekali. Hal yang menarik di sini adalah meskipun orang berkomitmen dalam hal yang salah kekuatan dari komitmen tersebut juga tetap besar.

Orang yang berkomitmen secara filsafat bisa dikatakan membatasi dirinya. Hal ini sudah jelas dari arti katanya sendiri bahwa komitmen itu adalah sebuah dedikasi kepada sesuatu atau kepada seseorang. 

Dedikasi tersebut tidaklah main-main, berarti orang hanya bisa berdedikasi kepada hal tersebut dan tidak dapat melakukan hal lain selama dia masih di dalam lingkaran dedikasi tersebut. Contoh yang sederhana mengenai komitmen ini bisa kita andaikan seperti seorang muda yang mau pergi ke suatu tempat, dia sudah menetapkan bahwa dari rumahnya ke tempat itu ia akan melewati jalan yang mana dan yang paling cepat. 

Di sinilah kita lihat ketika dia sudah menetapkan mau ke jalan yang mana dia justru membatasi dirinya untuk tidak menuju jalan yang lain karena bisa membuat dirinya mungkin tersesat dan lain hal. Di lain pihak orang yang justru tidak memiliki komitmen dia justru tidak memiliki tujuan apapun sehingga bisa kemanapun.

Orang yang mau apa saja boleh tidak memiliki tujuan hidup sama sekali, masa depan pun tidak dapat menjadi jelas. Tetapi, begitu ada komitmen (memiliki suatu tujuan) tidak semua jalan/hal dalam kehidupannya boleh dijalankan. Semakin serius seseorang hidup maka akan semakin memiliki tujuan hidup dengan membatasi diri (berkomitmen). 

Kierkegaard sendiri pun menjelaskan secara jelas bahwa sebuah perjalanan yang panjang itu baru bisa dimulai kalau ada komitmen. Keputusan awal itu sangat penting. Seorang presiden dalam masa jabatannya memulai pekerjaannya dengan bersumpah atas nama Tuhan dan kepada masyarakat. Hal ini pun bisa menjadi salah satu bentuk komitmen yang sangat penting. 

Keberanian adalah salah satu hal yang diperlukan dalam komitmen. Orang yang tidak berani, tidak mau berkomitmen itu adalah pengecut! Komitmen sebaiknya dilakukan secepat mungkin dan jangan ditunda-tunda. Komitmen paling dasar bisa dibagi menjadi dua hal yaitu komitmen hidup untuk Tuhan atau untuk diri sendiri. 

Jika sudah memilih Tuhan, komitmen sederhana adalah hal yang baik asalkan benar. Komitmen tidak usah tinggi-tinggi, komitmen dilakukan mulai dari hal yang sederhana. Komitmen untuk diri sendiri bisa kita lakukan untuk diri kita sendiri misalnya, tujuan kehidupan kita dan pencapaian-pencapaian yang kita ingin capai.

Hal yang terpenting dalam komitmen adalah pilihannya dan pilihan tersebut ditentukan oleh siapa yang memilihnya. Oleh sebab itu pilihan manusia harus yang baik berdasarkan yang benar. 

Hal/siapakah yang benar itu? Tuhan yang mahakuasa. Setiap kali kita memilih harus terdapat kemurnian hati, yang adalah hanya untuk menginginkan satu hal, “Purity of heart is to will only one thing”, demikian kalimat Kierkegaard. 

Yaitu menyenangkan Tuhan. Orang yang mengambil keputusan baik dan benar disebut otentik. Lawan dari orang yang tidak mau berkomitmen adalah yang mendua hati. Jikalau tidak mau memilih maka sama saja membiarkan orang lain memilih untuk kita, dengan demikian menghilangkan diri sendiri dan tidak bertumbuh.

Adapun pilihan bisa terbagi menjadi dua juga yaitu pilihan eksistensial yaitu pilihan yang beresiko. Pilihan ini penting sekali bagi pertumbuhan seseorang khususnya yang ingin menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang bagus biasanya mampu dengan baik mengambil keputusan-keputusan yang beresiko. 

Pilihan lainnya adalah pilihan yang biasa. Tetapi dari semua keputusan yang diambil hal yang terpenting adalah mengambil keputusan sebisa mungkin jujur di hadapan Tuhan. 

Salah satu contoh orang yang mengambil komitmen paling nyata dan jujur yang bisa kita lihat merupakan Yusuf. Dia hidup di hadapan Tuhan dengan jujur dan suci dan melalui hidupnya kita dapat melihat bahwa ia komit untuk hidup dengan benar.  Hal yang seperti inilah yang wajib kita lakukan.

Setiap orang memiliki hal yang membuat dia ingin melakukan sesuatu dalam hidupnya. Ada “spirit” tertentu yang ingin membuat hidup terus-menerus, meskipun ia mungkin tahu bahwa kehidupannya tidak selancar orang lain atau bahkan memiliki lebih banyak masalah tetapi, ada orang yang tetap bersemangat dan memilih untuk melanjutkan hidupnya. 

Pada tahapan-tahapan inilah yang menjadi materi penulisan Kierkegaard mengenai tahapan hidup seorang manusia. Disini Kierkegaard ingin lebih khusus menekankan bagaimana seseorang bisa hidup “sempurna” dan memiliki hidup yang berarti.

Tahapan yang pertama adalah tahapan estetis. Kata estetis berarti keindahan, bahkan kesenangan. Pada tahap ini seseorang berkomitmen pada kesenangan dan kesenangan adalah hidupnya. 

Maka, kejadian di dalam hidup orang tersebut diputuskan berdasarkan kesenangannya sendiri. Orang yang mau mengejar kesenangan terus-menerus biasanya tidak mau berkeluarga, karena kalau berkeluarga ia harus mengorbankan dirinya, waktunya, dan banyak hal lainnya untuk membangun keluarga tersebut. Pada tahapan ini Kierkegaard membaginya menjadi 2 tipe orang:

1.      Immediate Aesthetic (kesenangan langsung): orang yang berada pada tahapan ini lebih menyukai kesenangan-kesenangan yang langsung dapat membahagiakannya sebagai seorang manusia. Entah kesenangannya adalah kemabukan, seks, atau bahkan hawa nafsu lainnya yang membuat dia ingin langsung merasakan kesenangan tersebut. 

Bahkan musik yang langsung membawa kesenangan tertentu pada seseorang bisa menjadi salah satu hal dari immediate aesthetic. Contoh fiksi yang bisa kita lihat adalah Don Juan yang “berkomitmen” secara tidak langsung untuk berhubungan dengan perempuan secara terus-menerus, tetapi dengan perempuan yang berbeda-beda, yang pada zaman sekarang seringkali disebut dengan istilah “playboy”.

2.       Reflective Aesthetic (kesenangan reflektif): orang-orang pada tahapan ini menikmati proses kesenangan dalam refleksi. Orang tersebut harus belajar baru menghargai hal tersebut atau bisa dikatakan orang tersebut untuk menikmati hidupnya perlu belajar. 

Misalnya musik klasik, tidak semua orang menyukainya secara langsung tetapi ada orang yang mempelajarinya dan menghargai musik tersebut karena usaha keras yang dilakukan komponis tersebut untuk menciptakan suatu lagu yang indah dan memiliki arti yang baik. Contoh yang terdapat pada kehidupan nyata adalah seperti Albert Einstein yang menyukai fisika dan haus akan ilmu pengetahuan. Ia menikmati proses belajar tersebut sejak ia kecil dan menjadi seorang reflective aesthetic.

Uniknya dari tahapan ini seseorang yang memiliki tipe estetik yang berbeda bisa bingung melihat orang yang memiliki tipe estetik yang berbeda dengan dirinya. 

Tetapi, orang estetis bisa menjadi bosan (boredom), dia hanya melakukan hal-hal yang dia senangi saja dan jika hal itu sama secara terus-menerus orang tersebut bisa menjadi bosan ketika sudah sampai puncaknya. Maka orang yang sudah bosan seperti ini biasanya akan masuk ke tahapan berikutnya yaitu tahapan etis.

Tahapan etis atau yang biasa kita sebut dengan etika merupakan tahap yang membuat orang hidup berdasarkan pikirannya yang berpikir dengan rasio dan akal sehat dan etika. Orang yang mengikuti hal ini biasanya akan memiliki pemikiran yang jauh lebih berkembang daripada orang yang hanya hidup karena kesenangannya, karena ia mulai berpikir sesuatu yang benar dan menjalankannya. Orang yang seperti ini sudah mulai mendekati prinsip komitmen yang berdasarkan kebenaran. 

Salah satu contoh dalam sejarah filsafat mengenai orang seperti ini merupakan Socrates. Socrates hidup dengan pikiran etikanya dan juga berpikir tentang etika itu sendiri. Singkat cerita mengenai Socrates, ia adalah seseorang yang tidak mempercayai dewa/dewi Yunani pada waktu itu dan mengajarkan ajaran baru kepada generasi muda. 

Hal ini membuatnya dijatuhi hukuman mati dengan meminum hemlock yang membuatnya mati. Tetapi uniknya adalah Socrates memiliki peluang untuk kabur tetapi memilih untuk tidak melakukannya, berdasarkan prinsip etika yang benar. Hal ini membuat Kierkegaard dan penulis pun setuju bahwa Socrates termasuk dalam kategori orang yang menjalani hidup dengan etis.

sumber: fivebooks.com
sumber: fivebooks.com

Tahapan yang terakhir menurut Kierkegaard merupakan tahapan religius. Tahapan ini merupakan tahapan yang membuat orang berserah sepenuhnya kepada Tuhan menurut kepercayaan mereka. 

Dalam tahapan ini diperlukan iman yang besar dan sebuah “lompatan iman (leap of faith)” dari rasionalitas kepada iman. Bagi Kierkegaard kita percaya terlebih dahulu baru ada Tuhan. Beliau sangat mementingkan hubungan personal dengan Tuhan. Tetapi hal ini pun masih bisa dibagi berdasarkan reaksi orang tersebut:

  1. Penggemar religius: orang yang seperti ini mengikuti sebuah ajaran agama karena menurutnya menarik dan seringkali ketika datang krisis atau hal buruk yang bisa saja berkaitan dengan agama tersebut ia langsung mengingkari imannya.

  2. Religius yang mau berkorban: bisa saja sama dengan tipe orang yang pertama, yang mulai mengikuti karena menarik tetapi perbedaannya adalah tipe yang ini mau berkorban bahkan walaupun harus mati. Maka krisis pun tidak menjadi ombak yang terlalu tinggi baginya untuk tidak menyebrangi lautan. Oleh sebab itu krisis ini sangat krusial untuk pertumbuhan iman dan juga pengujian iman.

Manusia yang menurut Kierkegaard memiliki kehidupan religius yang benar adalah Abraham yang meskipun diminta oleh Allah untuk mempersembahkan anaknya satu-satunya ia tetap mau taat dan benar-benar mengikuti imannya meskipun dicobai. Hasilnya pun setara ia justru bukan hanya tidak jadi mengorbankan anaknya tetapi ia juga memiliki keturunan yang banyak seperti pasir di pantai dan bintang di laut yang masih bertumbuh hingga zaman ini yaitu Israel.

Disinilah puncak kehidupan seseorang menurut Kierkegaard. Setiap orang yang semakin menuju ke arah kehidupan religius menjadi lebih otentik. 

Tetapi tidak semua orang dapat melalui tahapan ini. Ada mungkin yang terus-menerus di tahapan itu sampai mati. Ada juga yang mulainya bukan dari tahapan estetis tapi mungkin langsung etis yaitu orang-orang yang dari kecilnya sudah berpikir dengan etis. Tetapi ada juga orang yang justru mundur misalnya dari etis menjadi estetis. 

Ada juga yang langsung lompat dari tahapan estetis menuju religius. Salah satu contohnya adalah Agustinus dari Hippo yang pada masa mudanya hidup berdasarkan kesenangannya, kesenangan duniawi dan akhirnya bertobat dan menjadi hamba Tuhan disinilah adalah lompatan dari tahapan estetis menjadi tahapan religius.

 

Kritik Kierkegaard terhadap Hegel:

Kierkegaard sangat sedih melihat Kekristenan yang terjadi pada zamannya. Banyak orang yang pergi ke gereja hanya sebagai ritual sehari-hari dan kehidupannya sangatlah sekuler. 

Kierkegaard merasa yang bertanggung jawab atas hal ini merupakan pemikiran Hegel. Hegel meninggalkan konsep individu sehingga, manusia lebih tereduksi menjadi kelompok. Kemampuan subjektif manusia/komitmen pribadi tidak dianggap pada masa itu karena Hegel lebih mengutamakan suatu hal yang bersifat komunal. Ajaran Hegel membuat manusia tidak bertanggung jawab karena hampir semua tanggung jawab dilemparkan pada komunal. 

Hubungan pribadi dengan Tuhan sudah tidak dipentingkan lagi. Banyak orang yang percaya akan injil tetapi tidak semua orang mau melakukannya/mempraktikkan yang sudah diajarkan. Maka, Kierkegaard mendorong semua umat Kristen untuk menjadi otentik dan cara untuk menjadi manusia otentik adalah dengan berkomitmen. 

Dengan adanya komitmen hidup manusia bisa menjadi lebih berkualitas (lebih berarti). Kierkegaard berpikir bahwa eksistensi seseorang harus dipertanggungjawabkan secara individu. Bereksistensi menurut Kierkegaard adalah bahwa saya tidak bisa direduksi dalam masyarakat. 

Eksistensi seseorang secara personal dan otentik bisa didapat jika sudah melewati 3 tahapan hidup yang sudah dibahas sebelumnya. Kierkegaard mengatakan bahwa hanya saya yang bisa mengambil keputusan bagi diri saya sendiri dan tidak boleh diwakili oleh siapapun (eksistensialisme).

Menjadi sebuah diri bisa dibagi menjadi 2 hal. Pertama adalah diri sebagai substansi, hal ini ada pada hakikatnya. Kedua adalah diri sebagai subjek. Diri sebagai subjek bisa kita lihat pada kalimat Descartes mengenai dirinya yaitu “Cogito Ergo Sum”, “Aku berpikir maka aku ada”. Kedua hal ini bisa menjadikan seseorang menjadi “wujud” manusia. Untuk menjadi diri sendiri ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi yang pertama adalah this sickness not unto death dan yang kedua adalah sickness unto death yang berarti bahwa kita ingin menjadi orang lain dan menolak untuk menjadi diri sendiri.

Permasalahannya pasti ada, tetapi juga penting dengan siapa menjalani pergumulan tersebut. Menjadi diri sendiri adalah suatu proses untuk menggali potensi dan harus dilakukan dengan tanggung jawab. Manusia yang gagal menjadi diri sendiri akan menjadi manusia yang putus asa dan hal ini terjadi karena pilihan manusia. Sedangkan jika Tuhan yang memilih jalan tersebut dan kita menjalaninya maka kita bisa menjadi berhasil dengan bertanggung jawab. Tetapi ketika kita berontak, kita bisa gagal dan harus menanggung konsekuensi yang menyakitkan.

Semua hal ini pasti terjadi dalam kehidupan manusia yang mau berusaha untuk bisa menjadi manusia yang terbaik dalam hidupnya. Entah dia ingin menjadi baik bagi satu orang secara khusus, bagi Tuhan, ataupun bagi sesamanya, ataupun bisa juga bagi Tuhan dan bagi semua orang yang hidup bersama-sama dengannya. Tetapi penulis ulangi bahwa yang terpenting adalah hidup dengan jujur dan setia di hadapan Tuhan, coram deo.    

sumber: edsitement.neh.gov
sumber: edsitement.neh.gov

   

Pemikiran Kierkegaard Mengenai Media Sosial:

Menurut Kierkegaard media sosial itu membuat orang menjadi abstrak, tidak bergumul pribadi, dan tidak membuat orang berkomitmen. Misalnya karena terlalu banyak teori pada media sosial maka tidak dapat ditarik kesimpulan yang jelas. Tesis dan antitesis yang tidak pernah berhenti menyebabkan orang tidak jelas mau memilih yang mana yang menyebabkan orang tidak dapat berkomitmen dengan jelas juga. Media sosial juga membuat orang menjadi lebih berani sedikit karena dalam media sosial mereka dikenal sebagai anonim. 

Seorang anonim tidak dapat bertanggung jawab dan biasanya menyembunyikan diri dalam kerumunan. Kierkegaard mau orang Kristen harus berani bertanggung jawab oleh sebab itu tidak memakai anonim. Individu adalah orang yang berani bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan di hadapan masyarakat.

Kesimpulan:

Penulis menyetujui pemikiran Kierkegaard mengenai komitmen, 3 tahapan hidup manusia, kritik Kierkegaard terhadap Hegel, dan juga pemikiran mengenai media sosial. Tetapi, menurut penulis ada hal yang masih kurang mengenai tahapan kehidupan manusia. Masalahnya tidak semua orang mau berkembang ataupun dapat berkembang. 

Orang yang akhirnya bunuh diri karena pasrah dan tidak mau berjuang lagi dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya menurut penulis dapat dibuat menjadi suatu kategori baru. Bahkan orang-orang yang tidak mau berkembang atau hidup begitu-begitu saja bisa menjadi kategori ini yang penulis sebut tahapan budak. 

Sama seperti budak yang tidak dapat melakukan hal apa-apa lagi di dalam hidupnya selain menuruti majikannya. Tentu budak tersebut masih bisa melakukan 3 tahapan kehidupan di dalam hatinya, tetapi dia sudah tidak berkuasa atas dirinya sendiri (fisik dan bisa saja mental) berarti dia sudah tidak menjadi seorang individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

        Penulis membagi tahapan ini menjadi 2 bagian:

1.      Desperate Life (Kehidupan putus asa): siapapun sebenarnya bisa masuk ke dalam tahapan ini jika sudah putus asa dengan kehidupannya dengan alasan apapun. Akhirnya orang tersebut hanya menjalani kehidupannya seperti itu saja dan tidak memiliki komitmen dan hanya pasrah terhadap keadaan seperti seorang budak.

2.      Freedom in Death (Kebebasan dalam kematian): hal ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan yaitu bunuh diri. Tetapi tidak sedikit orang yang putus asa dan akhirnya ingin bunuh diri. Bahkan budak pun bisa melakukan hal ini. Pada kondisi seperti ini bisa dikatakan kondisi di mana budak tersebut mempunyai kontrol terhadap kehidupannya untuk mengakhiri kehidupannya sendiri meskipun tidak selalu semua budak dapat melakukan hal ini. 

Di lain hal orang bisa juga diambil nyawanya dan mendapatkan kebebasan karena sudah mati meskipun tentu tidak akan bebas di akhirat. Salah satu contohnya adalah Aesop, di beberapa cerita ia mati karena bunuh diri karena tidak diizinkan pulang tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa dia dihukum mati karena mencuri. Orang tersebut tidak mempunyai kontrol atas kematian dan mungkin saja mempunya kontrol atas kematiannya tetapi ketika ia sudah mati ia mempunya kontrol sepenuhnya terhadap dirinya sendiri.

Dengan demikian kita sudah mengetahui bahwa setiap orang mempunyai tahapan-tahapannya sendiri dalam kehidupannya yang harus dilalui agar bisa menjadi dirinya sendiri. Jika dia memang mau menjadi seorang religius ia pasti akan menjadi seorang religius atas tuntunan Tuhan. Tetapi ada orang yang semasa hidupnya tetap dalam satu tahapan terus sampai akhir hidupnya yang bisa membuat hidupnya tidak memiliki arti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun