"Ih, kok gigi kamu hitam semua?"
Itu kata-kata yang selalu mereka lontarkan pada saya saat saya masih berumur 6-7 tahun, kira-kira 10 tahun silam. Itu semua dikarenakan kebiasaan saya yang suka makan permen dan manis-manisan. Mungkin kalau saya rajin merawat gigi, akibatnya tidak akan separah itu.Â
Tetapi masalahnya, pada waktu itu, saya takut ke dokter gigi untuk memeriksa gigi saya. Karena yang ada di pikiran saya, dokter identik dengan suntikan. Hal itu juga yang membuat saya memilih mencabut gigi saya yang tanggal dengan cara ala kadarnya. Akibatnya, gigi saya malah jadi berantakan dan hitam sampai sekarang.
Hal lain yang membuat saya tak pernah ke dokter gigi waktu masih kecil, yaitu saya tidak pernah merasakan sakit. Walau ternyata, belakangan ini saya tahu, bahwa gigi saya saat itu keropos. Namun, pada akhirnya ada sesuatu yang berhasil mendorong saya untuk periksa ke dokter gigi, yaitu lubang sangat besar yang berada di gigi graham. Kebayang dong, setiap kali makan, pasti aja ada yang nyangkut di situ. Saat saya menyadarinya, saya masih membiarkannya. Namun, lama-kelamaan, saya lelah mengambil sisa makanan yang mengganjal di situ. Begitulah cara pertama kali saya berinisiatif ke dokter gigi.
Sesampainya di dokter gigi, saya masih menganggap remeh. Tapi setelah diperiksa, ternyata ada beberapa lubang yang tak saya ketahui. Di situ saya sadar, bahwa lubang-lubang kecil tersebut tak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun mereka ada, pada kenyataannya. Saya pun membuat kesimpulan, bahwa hanya karena gigi kamu tidak sakit, bukan berarti kamu tak bermasalah. Sebaiknya, masih perlu konsultasi ke dokter gigi, dua kali dalam setahun.
Gigi kita bermacam-macam, begitu pun dengan lapisan-lapisannya. Lapisan gigi dibagi menjadi tiga, yaitu email, dentin, dan saraf. Setiap lapisan gigi itu tipis dan semakin lama semakin lunak. Apabila terkena lubang kecil, ia akan merambat dari lapisan paling luar hingga berdampak pada saraf. Coba, sekarang ambil secangkir air es dan minum beberapa teguk. Linu, nggak? Kalau linu, berarti sudah bertanda bahwa gigi kamu mulai berlubang, dan sudah merambat hingga lapisan dentin.
Kalau kata orang Indonesia, "lebih baik sakit hati daripada sakit gigi." Itu menunjukkan bahwa kita sadar kalau sakit gigi itu menyiksa, lebih menyiksa daripada ditinggal lagi sayang-sayangnya, loh. Namun, menurut School of Dentistry Association, pada kenyataannya, 7 dari 10 orang Indonesia, memiliki lubang di gigi nya. Akan tetapi, hanya 2 dari 10 orang, yang memiliki kesadaran untuk memeriksa secara rutin. Sedikit ironis, bukan? Yang bicara seperti itu hampir semua orang saat giginya sakit, namun persepsi bahwa tak sakit berarti tak bermasalah, pun masih menghantui 8 dari 10 orang Indonesia yang sakit gigi.
Setelah saya melakukan serangkaian riset mengenai alasan orang-orang tidak ingin memeriksa giginya secara rutin, ternyata alasan utamanya ada dua. Hal pertama, karena masalah finansial, dan hal kedua, karena fasilitas yang tak memadai. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, memeriksa gigi secara rutin itu tidak memerlukan jumlah uang yang besar, karena perawatannya sangat simple dan tidak macam-macam. Justru memeriksa saat benar-benar sakit akan menguras duit lebih banyak, karena bentuk perawatannya pun lebih rumit dan mahal.Â
Dan, hampir semua rumah sakit, puskesmas, dan posko-posko kesehatan lainnya menyediakan fasilitas untuk pemeriksaan gigi. Namun, masalahnya kembali pada kesadaran masing-masing. Sebetulnya, penyakit gigi tidak hanya menyerang orang Indonesia saja. Menurut World Health Organization,hampir 100% orang dewasa dan 90% anak-anak di dunia memiliki lubang di giginya. Ini mencerminkan bahwa kesehatan gigi adalah masalah yang dihadapi secara global.
Gigi berlubang, Periodontitis (Infeksi Gusi) dan Kanker Mulut adalah beberapa dari penyakit yang paling umum dan sering ditemukan di seluruh dunia. Dengan keajaiban yang dimiliki oleh para dokter gigi, mereka dapat mendiagnosis gejala penyakit-penyakit tersebut, sebelum berkembang menjadi penyakit yang menyerang kita lebih kuat.Â