"When you hear the word 'disabled,' people immediately think about people who can't walk or talk or do everything that people take for granted. Now, I take nothing for granted. But I find the real disability is people who can't find joy in life and are bitter." -Teri Garr
Setiap orang tidak dapat memilih dilahirkan dalam keadaan seperti apa, termasuk mereka teman-teman yang memiliki perbedaan  fisik, mental, emosional, sensorik, dan perkembangan. Hal ini kemudian dipatenkan dalam Bahasa Indonesia sebagai disabilitas.Â
Meskipun begitu, beberapa orang memilih tetap menggunakan istilah 'difabel' meskipun berasal dari frasa Bahasa Inggris yaitu different ability, karena merasa penggunaan imbuhan 'dis' pada kata disabilitas menunjukkan ketidakmampuan hingga memunculkan stereotipe dan  diskriminasi tertentu. Hingga saat ini terdapat beberapa fakta yang pelu digarisbawahi keberadaannya.
Disabilitas di Indonesia: Diberdayakan atau Diperdaya?
Pada dasarnya, pemerintah menjamin hak-hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.Â
Selain itu, terdapat pula  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menekankan bahwa mereka juga dijamin dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).Â
Dengan kata lain, kehidupan mereka tidak lagi dinilai dan dilihat sebagai masalah sosial yang penuh dengan belas kasihan melainkan perlunya kesempatan yang sama dalam mengembangkan diri melalui kemandirian sebagai manusia yang bermanfaat.Â
Aktualisasi sederhana dalam hal ini seharusnya terwujud dari sarana prasarana publik yang ramah disabilitas. Walaupun Indonesia terus berbenah, pada kenyataannya hingga saat ini masih banyak para penyandang disabilitas yang mengalami kesulitan untuk mobilisasi.
Disabilitas: Mereka Besar dan Tersebar di Antara Kita
Laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 menyebutkan bahwasanya 15 dari 100 orang di dunia disabilitas dan 2-4 orang di antaranya mengalami disabilitas berat.Â