Oleh Sigit Budhi Setiawan
Kosa ‘maesenas’ secara etimologi berasal dari bangsa Romawi. Tepatnya merujuk pada Gaius Mascenas, seorang tokoh politik dan penasehat Augustus Caesar.
Gaius pada masa hidupnya adalah seorang dermawan yang menyokong para pelaku seni semacam Horatius dan Virgil. Tidak hanya menyokong para pelaku seni, Gaius juga merupakan seorang sponsor atau pendana besar aksi dan pertunjukan seni pada jaman itu.
Tidaklah mengherankan jika pada masa kini, kosa-kosa ‘maesenas’ diadopsi di berbagai bahasa di bangsa-bangsa di dunia. Kosa ini merujuk pada orang kaya yang menjadi patron atau tokoh penyokong bagi keberlanjutan seni dan budaya.
Dalam bahasa Indonesia, seperti tertera dalam KBBI, kosa maesenas merujuk pada “orang kaya pendukung kebudayaan; pelindung seni dan kalangan seniman: kita memerlukan -- untuk menggairahkan kegiatan seni.” Kosa dalam bahasa Inggris (maecenas), Jerman (maezenat) dan mecenat (Perancis) juga merujuk makna yang sama: penyokong keberlanjutan seni budaya.
Sejarah Maesenas di Indonesia
Di Indonesia, maesenas seni budaya telah dikenal sejak berabad lamanya, biasanya mereka adalah raja, bangsawan atau saudagar kaya. Pada masa kolonial Belanda, para menak atau raja lokal sering bertindak sebagai maesenas seni. Metode pemberian dukungan para menak ini biasanya dirupakan dalam tanah bengkok, lungguh atau tanah olahan pertanian.
Pada masa ini, dikenal pula maesenas seni Jawa yang terkenal dermawan dan kaya raya. Mereka adalah Oei Tiong Ham dan Gan Kam. Oei Tiong Ham adalah saudagar gula, konglomerat Asia pertama yang berasal dari Semarang. Kegemarannya pada seni dan budaya Jawa sejak kecil, menjadikannya sebagai maesenas ternama.
Selain Ham, Gankam adalah juga sosok maesenas seni dan budaya Jawa lainnya. Gan Kam adalah sosok dibalik keberlanjutan seni wayang orang, yang kala itu hendak mati tanpa dukungan dan inovasi. Berkat kedekatanya dengan penguasa kraton Solo dan jiwa wirausaha sosialnya, Gan Kam berhasil menghidupkan seni Wayang Orang untuk dinimati secara luas. Bahkan sampai kini, wayang orang masih hidup dan dikenal sebagai salah satu seni adiluhung bangsa Indonesia.
Dengan berbagai metode menyumbang, ada satu benang merah yang ditarik, para maesenas ingin berbuat baik untuk kepentingan bersama. Dengan dukungan mereka, para pelaku seni dan budaya di harapkan tidak lagi binggung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Walhasil karya-karya bermutu akan terus tercipta.[] Sigit Budhi Setiawan adalah co author buku "Filantropi Seni" terbitan Hivos ROSEA dan PIRAC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H