Sejumlah 939.236 orang PNS beserta jutaan anggota keluarganya saat ini risau  menghitung hari menunggu pindah ke ibu kota baru.
Presiden Jokowi telah memutuskan ibu kota negara akan pindah ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara. Karena Jakarta sudah terlampau berat bebannya dan rumit masalahnya sehingga perlu ditinggalkan sebagai ibu kota negara. Secara pribadi, saya sependapat dengan alasan Presiden, kalau bukan sekarang kapan lagi!. Tetapi saya juga memaklumi betapa beratnya pilihan itu bagi sebagian besar PNS.
Mengapa ke Kalimantan Timur? Presiden Jokowi menimbang atas lima landasan; risiko bencana alam minimal, Â letaknya berada di tengah-tengah Indonesia, Â lokasi berada di tengah-tengah kota yang sudah berkembang Balikpapan dan Samarinda, Â infrastruktur sudah lengkap, dan lahan sudah dikuasai pemerintah 180 ribu hektar. Â Pemerrintah mengatakan, total kebutuhan dana pembangunan ibu kota baru kurang lebih Rp 466 triliun. Pada 2020, pemerintah mulai mematangkan regulasi, masterplan, dan desain tata ruangnya, dan diperkirakan proses pemindahan ibu kota baru dimulai pada 2024.
Meskipun secara legalitas formal belum ada dasarnya, Presiden Jokowi sangat cerdik menyiasati prosedural politik pengesahan RUU di DPR untuk menyiapkan landasan hukumnya, dengan terlebih dahulu membentuk opini di masyarakat  sebagai dasar legitimasinya. Dengan demikian, nantinya di DPR  tidak lagi dipermainkan politisi penentangnya sebagai isu merebut simpati publik penentang perpindahan.
Opini publik terpecah dua, antara yang mendukung dan menentang. Sudah barang tentu muatan politik sangat kental dalam polarisasi pendapat ini. Akan tetapi, tanpa muatan politik sekalipun, perpindahan ibu kota negara menjadi kepentingan banyak pihak, baik pro maupun kontra. Â Pengusaha misalnya, sebagian sudah membayangkan keuntungan dari uang Rp. 466 Milyar itu, Â sedangkan sebagian lagi merasa dirugikan karena bisnisnya di Jakarta akan lesu bahkan mati bila ibu kota pindah.
Banyak sekali dimensi yang dapat diperdebatkan perihal perpindahan ibu kota baru, karena memang semuanya berkepentingan berbeda-beda. Saya lebih tertarik membahas bagaimana PNS, atau sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN) menyikapinya. Dari semua pihak yang berkepentingan pada perpindahan ibu kota, PNS Pemerintah Pusat beserta seluruh keluarganya  adalah yang paling risau dengan perpindahan ini.
Berdasarkan buku statistik PNS yang diterbitkan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada Desember 2018, total PNS pemerintah pusat berjumlah 939.236 orang.Â
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Nasional Bappenas), menyebut, "Skenario pertama, dengan estimasi biaya Rp 446 triliun, akan terjadi pemindahan sebesar jumlah ASN sebesar 195.550 orang sehingga total jumlah penduduk ibu kota akan menjadi 1,5 juta orang termasuk keluarga, perangkat pendukung dan pelaku ekonomi," ungkapnya di kantornya, cnbcindonesia.com Selasa (30/4/2019).Â
Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan kepada Kompas.com, Selasa (27/8/2019) mengatakan, "Perkiraan dari total 900.000 PNS kementerian/lembaga yang ada saat ini, 600.000 yang akan dipindahkan,"
Meskipun tidak akan semuanya diboyong sekaligus, tapi seluruh PNS pusat baik yang di Jakarta maupun di daerah, Â tetap cemas dan risau karena bisa jadi dia yang terpilih dipindahkan duluan. Kalaupun tidak pindah ke ibu kota baru, roda mutasi akan bergulir ke PNS pusat yang ditempatkan di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Saya yang pernah mengalami perpindahan ke kota lain dimana tidak saya kehendaki, dapat membayangkan betapa galaunya PNS sekarang ini. Banyak sekali faktor yang saling kait mengkait menjadi momok bagi PNS yang akan dipindahkan.Â