UUD 1945 tidaklah sempurna, tetapi bila merubahnya tidak hati-hati, hanya demi kepentingan jangka pendek rezim berkuasa, maka menjerumuskannya ke arah bongkar pasang berkelanjutan.
Amandemen UUD 1945 kian gencar diwacanakan PDIP dengan menggalang dukungan partai politik setelah Kongres V PDI Perjuangan di Bali mendeklarasikan tekad politiknya, yaitu: Demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional perlu dilakukan  amandemen terbatas UUD NKRI 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
Perubahan UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali dalam kurun 1999-2002, sebagai tuntutan gerakan reformasi masyarakat sipil yang berhasil memaksa Presiden Soeharto lengser  dari kekuasaan lebih 30 tahun. Seluruh esensi perubahan UUD 1945 dijiwai semangat reformasi  untuk mengkoreksi secara menyeluruh kehidupan berbangsa dan bernegara yang diterapkan rezim Soeharto.
Tekad PDIP tersebut pantas dicermati karena bukan sekedar omongan tokoh PDIP, tetapi hasil kongres dari partai pemenang pemilihan legislatif dan presiden tahun 2019. Dengan dukungan kekuatan koalisi lebih 60 persen di DPR, ditambah kekuatan baru dari partai Gerindra, maka tekad poitik PDIP tersebut sangat mungkin terwujud.
Beberapa pakar tata negara menduga niat tersebut sarat kepentingan politik dari pada pertimbangan memperkuat konstitusi. Tetapi, bukankah sepanjang sejarah, konstitusi merupakan hasil keputusan  politik. Hanya saja, apakah pemilihan anggota DPR/MPR yang sarat dengan politik uang, sungguh-sunguh mewakili kehendak seluruh Rakyat Indonesia, dapat dipercayai merubah UUD 1945?
Ada juga yang mencurigai rencana amandemen UUD 1945 ini berpotensi menjurus ke arah  kemunduran demokrasi, bahkan cenderung mengembalikan semangat rezim orde baru. Kecurigaan ini tentunya masih berupa kekhawatiran karena belum jelas betul esensi UUD 1945 yang hendak dirubah. Bila amandemen dimaksudkan untuk memperkuat konstitusi demi perbaiakan kehidupan berbangsa dan bernegara,  tentunya Rakyat akan mendukung perbaikannya. Persoalannya adalah, politisi selalu berlindung dibalik  demi kepentingan rakyat, untuk menutupi akal bulusnya melanggengkan kekuasaan oportunis.Â
Tekad PDIP menghidupkan kembali GBHN akan berimplikasi memperluas kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Â sistem pertanggungjawaban presiden menjadi ganda, kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait pelaksanaan Undang-undang dan terhadap MPR dengan mengacu GBHN. Ada kelemahan dan kekuatannya.
Kelemahannya, kekuatan visi misi Presiden yang menjadi dasar keputusan rakyat memilihnya menjadi dibatasi GBHN. Visi misi Presiden adalah hakekat sistem pemerintahan presidensial yang berlaku selama ini.Â
Tetapi fakta realitanya, visi misi Presiden  selama ini hanya formalitas kampanye Presiden, setelah terpilih, sistem birokrasi pemerintahan akan bekerja dengan caranya sendiri.Â
Visi misi Presiden hanya narasi hiasan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), yang isinya setara GBHN, yang disusun rutinitas gurita birokrasi.
Kelebihannya, GBHN akan menjadi batu uji untuk menilai kemampuan Presiden menjalankan Pemerintahan. GBHN menjadi jaminan konsistensi, Â menutupi kelemahan akibat politik populis yang berlaku selama ini di Indonesia.Â