Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Koalisi Pemerintah Vs Oposisi, Pelacur Politik atau Oportunis?

30 Juni 2019   05:00 Diperbarui: 30 Juni 2019   05:00 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua pihak kini cermat mengamati kemana Prabowo melangkah memposisikan dirinya, bergabung dalam koalisi Pemerintahan atau beroposisi. Pilihan Prabowo  strategis bagi Partai Gerindra, juga simbolistik pertarungan politik identitas dan politik oportunis. Dilansir dari detik.com,  27/06/2019, mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, menilai rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo sebagai hal yang baik. "Tapi kalau rekonsiliasi Prabowo-Sandi mengakui kemenangan Jokowi sehingga kemudian mendapatkan beberapa kursi, itu namanya pelacur," kata Abdullah.

Menarik dicermati, politik pemilihan presiden 2019 sedikit berbeda dengan periode-periode sebelumnya karena unsur politik identitas agama semakin kental, bukan hanya saat kampanye tapi berlanjut hingga hari ini. Meskipun ada saja politikus mempolitisir ini sebagai keburukan, sesungguhnya ada nilai-nilai esensi demokrasi yang dapat dijadikan  pembelajaran untuk peningkatan kesadaran politik  rakyat Indonesia. Salah satu isu yang ditimbulkan politik identitas agama adalah munculnya istilah pelacur politik.

Pelacur, secara umum dimaknai: perempuan yang menjual diri.  Pada tubuh perempuan menyatu  esensi kehormatan, maka makna pelacur mendalam, menjadi perempuan yang menjual kehormatannya.

Politik pada dasarnya adalah kesadaran dan pikiran sesorang untuk mempengaruhi kesadaran dan pikiran orang lain dengan tujuan hendak berkuasa. Karena ada nilai-nilai kehormatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka seorang politikus merefleksikan diri terhadap nilai-nilai kehormatan tersebut, sehingga publik memandang identitas politikus sudah menyatu nilai-nilai kehormatan.  Dengan demikian politikus dimaksud layak dipercaya  mengemban kekuasaan. Apakah esensi kehormatan tersebut sesungguhnya menyatu dengan politikus tersebut? Belum tentu, karena yang dipandang publik adalah citra refleksi diri politikus, bukan diri sejati politikus tersebut.

Ketika seorang politikus dipandang pengikutnya bersikap tidak sesuai dengan nilai-nilai kehormatan sesuai citra refleksi dirinya yang ternyata ketahuan hanya bertujuan  meraup kepuasan ekonomi  semata,  maka dia dipandang telah menjual kehormatannya yang sejatinya tidak ada, disebut oportunis.  Bila memang nilai-nilai kehormatan esensi dirinya, kemudian dia menjual kehormatannya, disebut pelacur politik. Bedanya adalah, pada oportunis kehormatan itu dari awal tidak dimilikinya sehingga sebenarnya tidak ada yang dijualnya, sedangkan pada pelacur politik, awalnya memiliki kehormatan tapi  kemudian dijualnya.

Sesungguhnya sangat sedikit politikus yang dapat dijuluki pelacur politik di Indonesia, karena kebanyakan politikus saat ini tidak memiliki nilai-nilai kehormatan identitas dan ideologi. Identitas dapat berupa agama, nasionalisme, suka, ras, sedangkan ideologi dapat berupa sistem khilafah, komunis, dan kapitalis. Pelacur politik pada awalnya memiliki nilai-nila kehormatan pada identitas dan ideologi, akan tetapi hanya demi memenuhi nafsu kepuasan ekonomi semata, maka dijualnya kehormatannya dengan imbalan kedudukan dan jabatan di Pemerintahan.

Sedangkan politik oportunis, akan memanfaatkan sebaik-baiknya setiap kesempatan untuk meraup kekuasan demi kepuasan ekonomi semata. Apa saja akan dilakukannya untuk mencapai tujuan tersebut, nilai-nilai kehormatan baik pada identitas maupun ideologi baginya hanyalah media pencapaian tujuan, dan itu bisa direfleksikan dimata rakyat melalui pencitraan. Terkadang  sulit membedakannya dengan politik pragmatis yang  lebih beroreantasi pada efesiensi dan jalan pintas meraup kekuasaan dengan tidak terlampau mempermasalahkan identitas dan ideologi.

Ketiadaan identitas dan ideologi partai-partai menegaskan arus utama di Indonesia adalah politik oportunis dan politik pragmatis. Ciri-cirinya, tidak ada komitmen pada visi misi yang akan diperjuangkan ,  kalaupun ada visi misi itu hanya formalitas belaka, komitmen urusan belakangan. Sehingga komposisi dan konfigurasi partai-partai oposisi atau koalisi Pemerintahan setiap saat dapat dirubah disesuaikan kombinasinya.  Setiap partai bebas dan senantiasa bergonti-ganti pasangan setiap Pilpres maupun Pilkada. Pada pemilihan legislatif, setiap tokoh caleg juga  bebas lompat kesana kemari ke  partai sesuai situasi kondisi  paling menguntungkan baginya.  Termasuk rakyat pemilih,  kebanyakan tidak memperhatikan garis politik partai, bahkan politik uang sudah biasa.  Para politikus partai tidak memperjuangkan ideologi partai, karena memang tidak ada ideologi partai yang hendak diperjuangkan. Pilpres, Pilkada, Pilleg sudah seperti industri demokrasi, ada modal yang harus diinvestasikan dan ada perhitungan-perhitungan pengembalian modal.

Pertarungan poltik identitas dan ideologi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kehormatan identitas  dan ideologi tersebut-apapun identitasnya dan ideologinya- adalah hakekat berdemokrasi.Terkadang ini berbahaya karena dapat menimbulkan perpecahan rakyat sehingga mengancam keutuhan negara kesatuan bila kesadaran politik dan pemikiran rakyat masih rendah dan belum siap menjalaninya,  Keadaan berbahaya tersebutlah yang selalu dipolitisir oleh kekuatan politik oportunis dan pragmatis. Demokrasi Indonesia pada hakekatnya masih perebutan kekuasaan oleh politik oportunis dan pragmatis, dan tampaknya akan berusaha untuk tetap dipertahankan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun