Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri memantau grup-grup WhatsApp selain melakukan patroli siber di media sosial. Namun, patroli itu hanya dilakukan di grup WhatsApp yang terindikasi menyebarkan kabar bohong atau hoaks. "Direktorat Siber melakukan patroli siber di grup yang sudah terindikasi menyebarkan konten-konten hoaks," kata Kepala Subdirektorat II Direktorat Tindak Pidana Siber, Bareskrim Polri, Komisaris Besar Rickynaldo Chairul, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 14 Juni 2019.
Ricky enggan menjelaskan cara kepolisian memantau grup WA yang terindikasi menyebar hoaks, karena itu masuk ranah penyidikan dan penyelidikan. Lebih jauh, Ricky memastikan bahwa patroli siber di Grup Whatsapp tidak melanggar Undang-Undang (UU) apapun. Oleh karena itu Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dapat masuk ke Grup WhatsApp dan menangkap siapa pun yang menyebarkan info bohong atau hoax." Coba dibaca lagi, UU apa yang dilanggar kami ini. Kan belum ada yang mengatur itu. Lagi pula hoax ini masif beredar di Grup WhatsApp," katanya. (TEMPO.CO,14/6/2019).
Tampaknya Kepolisian sangat serius menanggulangi penyebaran hoaks, bahkan terkesan mengalami ketakutan berlebihan. Memang Kepolisian menyatakan tidak akan sewenang-wenang untuk masuk ke dalam Grup Whatsapp kecuali memang ada laporan dari masyarakat yang resah dengan pemilik akun penyebar hoaks. Apakah itu artinya masih dalam ranah delik aduan dalam pidana umum atau laporan atas tindak pidana biasa yang dapat dilaporkan oleh siapa saja?
Bila delik aduan biasa, Kepolisian tidak bisa mencurigai objek 'siapa saja', harus tertentu orangnya. Sedangkan group-group WA adalah banyak orang. Bila berupa Laporan tindak pidana umum biasa maka penyelidikan materi indikasi pidananya harus masuk kedalam group-group WA, hak-hak privasi pribadi-pribadi dalam group WA akan terganggu. Terganggunya hak privasi seseorang atau sekelompok orang dapat menjadi persoalan hukum.
Persoalan berikutnya adalah, bagaimana menentukan materi hoaks dapat dijadikan delik hukum? Memang banyak hoaks bermuatan politik yang vulgar, mudah ditandai, dan gampang mengungkap faktanya seperti kebohongan Ratna Sarumpaet atas penganiayaan yang menimpa dirinya. Akibat perbuatannya menyebarkan berita bohong atau hoaks, tidak sulit menyangka Ratna melakukan perbuatan pidana. Tapi hoaks sangat luas spektrumnya, dari yang kasar sangat vulgar hingga halus lembut, tetapi tetap saja semuanya kebohongan. Dengan luasnya spektrum hoax maka semakin luas juga spektrum orang yang dapat dicurigai. Kepolisian sendiri akan mengalami kesulitan memantaunya, atau Kepolisian akan mengerahkan sumber daya intelejen lebih besar. Apakah ini hanya strategi gertakan belaka?
Kalau hanya gertakan belaka, maka strategi penanggulangan hoak ini tidak akan efektif mencegah orang/kelompok yang dengan sengaja memang sudah terorganisir berniat jahat menggunakan hoaks sebagai media provokasinya. Mereka sudah merancang dengan seksama operasinya, sehingga pendeteksiannya juga harus sistematis, tersruktur, dan masif. Hanya orang umum biasa yang kurang hati-hati berekspresi yang secara kebetulan sial menjadi sasaran penindakan, yang berniat jahat bebas.
Sejauh ini, Kepolisian menegaskan ini adalah persoalan keamanan terkait dengan realitas politik terkini. Tapi melihat keseriusan Kepolisian menyatakan (bukan melakukan) menangani hoax ini, tampaknya ini bukan pidana umum biasa. Mengapa Kepolisian demikian takutnya pada hoax? Apakah ini persoalan keamanan umum biasa, atau karena ketakutan politik?
Sampai sejauh ini belum pernah dibuktikan, terjadi peristiwa keamanan katakanlah kerusuhan masal akibat penyebaran hoaks. Memang rasa kebencian dapat disebarkan, dan kebencian dapat. -tapi tidak selalu- memotivasi tindakan anarkis. Hoaks mengakibatkan tindakan anarkis tidak dapat dihubungkan langsung secara sederhana, banyak faktor-faktor lain yang lebih substansi ada dalam jiwa seseorang/kelompok melakukan tidakan anarkis.
Apakah karena ketakutan politik? Sesungguhnya tidak ada yang perlu ditakutkan dengan realitas poltik saat ini. Proses Pileg 2019 berjalan normal, dan sesuai konstitusi. Proses penyelesaian sengketa juga telah diserahkan ke Mahkamah Konstitusi, dan berjalan normal. Bila masih ada pihak/golongan merasa tidak puas, itu lumrah dan biasa. Bila mereka melakukan gerakan anarkis, penindakan hukum tegas harus dilakukan. Tidak ada yang perlu ditakuti, konstitusi berjalan baik.
Bila memang ini bukan gertakan saja, tapi menjadi kebijakan resmi Kepolisian secara struktural, sistematis dan masif maka berpotensi melanggar Hak Azasi Manusia yang diatur oleh konstitusi. Pasal 28F Undanga Undang Dasar 1945 pada amandemen kedua menyatakan: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Meskipun Kepolisian dapat meggunakan berbagai Undang-Undang untuk menjerat penyebar hoaks, katakanlah seperti KUHP dan ITE, tetapi bila akibat dari proses penegakan hukum tersebut mengakibatkan orang lain --lebih banyak- yang tidak ada kaitannya dengan delik pidana hoax menjadi korban karena privasinya terganggu dan atau kebebasan berekspresinya terhambat maka itu adalah pelanggaran hak azasi manusia.