Melihat sengkarut kasus ekologi semacam izin reklamasi Pantai Utara Jakarta dan izin tambang semen di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah, ada suatu urutan yang menunjukkan bahwa ada sisi urusan pemerintahan telah dijalankan secara ilegal oleh pejabat eksekutif negara.
Mari kita berlogika yang sehat, tidak perlu menggunakan teori yang muluk-muluk. Izin reklamasi dan izin usaha pertambangan telah diberikan oleh Gubernur. Untungnya ada sebagian warga masyarakat yang protes karena merasa dirugikan atau menilai bahwa ada potensi bahaya ekologi atas dikeluarkannya izin tersebut, sehingga selanjutnya menjadi kasus yang dibahas umum. Lalu pemerintah pusat barulah turun tangan.
Pemerintah kemudian turun tangan membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan hasil KLHS itu keluar rekomendasi agar dilakukan "penghentian sementara penambangan" di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Pegunungan Kendung. Bukan hanya PT. Semen Indonesia yang mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP) di situ, tetapi ada 22 pemegang IUP di wilayah itu. Demikian pula, sebelum KLHS disusun untuk reklamasi Pantai Utara Jakarta, karena dibikin rebut, maka barulah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Kemen LHK) melakukan investigasi dan memberikan sanksi kepada pengembang reklamasi untuk "menunda reklamasi."
Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) untuk diberlakukan 3 Oktober 2009 atau tujuh tahun yang lalu. Sistem pembangunan berwawasan lingkungan dalam UU itu sudah jelas mengatur urut-urutan suatu usaha. Izin usaha dikeluarkan setelah adanya izin lingkungan. Izin lingkungan diwajibkan memperhatikan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan syarat-syarat lingkungan. Sedangkan penataan ruangnya sendiri harus berdasarkan pada KLHS. Artinya, KLHS itu mendahului RTRW. Lha KLHS itu menjadi kewajiban dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah untuk menyusunnya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Apakah Anda sudah pernah diajak diskusi oleh pemerintah untuk penyusunan KLHS?
Tetapi sekarang justru fakta pembangunan yang terjadi adalah kebalikan dari (bertentangan dengan) sistem hukum ekologi yang sudah disepakati sebagai hukum negara. KLHS ternyata dijadikan sebagai pemadam kebakaran. IUP dikeluarkan, lalu diprotes warga, baru kemudian pemerintah sibuk meneliti dan akhirnya menyusun KLHS. Kok KLHS ditaruh di belakang?
Baiklah, saya berandai-andai bahwa para pejabat negara terlalu sibuk dengan politik pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang selalu menjadi biang rebut itu, sehingga tidak sempat menyusun KLHS dalam rangka evaluasi terhadap hukum penataan ruang (RTRW), tetapi pembangunan harus tetap berjalan, sehingga tidak mungkin pembangunan dihentikan karena menunggu KLHS itu. Tetapi kapan pemerintah mulai serius bekerja secara taat hukum? Apakah hukum itu hanya diwajibkan ditaati oleh rakyat jelata saja? Tapi entitas yang besar-besar diberikan dispensasi untuk melanggar hukum?
Saya menjadi curiga, jangan-jangan para pejabat eksekutif yang terpilih  itu memang tidak mempunyai kapabilitas untuk memerintah. Mereka teledor dalam mengeluarkan keputusan-keputusan izin usaha demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi di mana angka pertumbuhannya secara mayoritas hanya dinikmati pada penabung kekayaan besar. Rakyat kecilnya hanya menjadi buruh dan korban-korban penggusuran serta para korban kerusakan lingkungan: rakyat mati terhanyut banjir dan tertimbun tanah longsor, anak-anak lahir terkontaminasi racun tanah dan udara, para petani harus membeli pestisida karena lenyapnya peradator alami wereng dan penyakit tanaman, dan akibat buruk lainnya.
Demokrasi Asal-asalan
Sistem pemilihan dalam demokrasi kita memang sebuah sistem yang sembarangan. Coba pikirkan! Orang untuk bisa menjadi guru harus berpendidikan tinggi khusus pendidikan dan harus lulus uji kapabilitas sebagai guru, terutama di bidangnya. Sama halnya orang akan menjadi dokter harus berpendidikan khusus kedokteran.
Tetapi di sini untuk bisa menjadi anggota parlemen yang harus memiliki keahlian menyusun regulasi berbagai bidang, atau untuk menjadi presiden dan kepala daerah yang seharusnya mempunyai keahlian hukum tata negara dan administrasi negara, mereka itu hanya dipilih melalui pemilihan oleh rakyat, tanpa memiliki mutu dengan pendidikan khusus dan tanpa diuji secara khusus keahlian ketatanegaraannya dan ketataadminstrasiaannya. Mereka juga tidak teruji akhlaknya karena hukum politik yang longgar (liberal). Bagaimana terpidana korupsi kok bisa menjadi anggota parlemen?
Akhirnya pemilihan umum dalam demokrasi di Indonesia ini seperti sistem judi, untung-untungan. Celakanya, jika orang-orang yang terpilih itu kebanyakan tidak mempunyai keahlian di bidang pemerintahan, lalu mengandalkan para staf ahli yang advis-advisnya mungkin dipahaminya dengan cara yang buta karena tanpa landasan ilmu pemerintahan.