Hari-hari ini kita direpotkan kembali dengan penaikan harga LPG (dibaca: elpiji) yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero). Perusahaan yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) seratus persen ini konon terpaksa menaikkan harga LPG kemasan tabung 12 kg, sebab selama ini Pertamina menjual secara merugi. Sepanjang tahun 2013 diperkirakan kerugian Pertamina mencapai Rp 5,7 triliun. Dalam enam tahun terakhir kerugian Pertamina mencapai Rp 22 triliun. Kabarnya hal itu sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Harga yang diberlakukan saat ini katanya merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009, yakni Rp 5.850,- per kg. Padahal harga pokok perolehannya saat ini mencapai Rp 10.785,- per kg. Akhirnya Pertamina memutuskan menaikkan harga LPG sekitar 68 persen dari harga semula, terhitung mulai 1 Januari 2004. Semula harga LPG 12 kg adalah Rp 5.850,- per kg atau Rp 70.200 per kg. Kini hanrganya menjadi Rp 117.708 per tabung 12 kg. Tentu saja di lapangan harganya bisa lebih dari itu.
Apakah LPG itu? LPG singkatan dari Liquefied Petroleum Gas. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas (Permen ESDM No. 26/2009) mendefinisikan, Liquified Petroleum Gas yang selanjutnya disingkat LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya (Pasal 1 angka 3). LPG berasal dari pengolahan minyak dan gas bumi (migas) dan hasil pengolahan lapangan pada kegiatan usaha hulu (tambang) migas.
Dalam Permen ESDM tersebut dibedakan ada dua jenis pengguna LPG, yakni pengguna LPG tertentu dan pengguna LPG umum. Pengguna LPG tertentu merupakan konsumen rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan LPG kemasan tabung LPG 3 Kg. Harganya diatur dan ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan pengguna LPG umum merupakan konsumen yang menggunakan LPG dalam kemasan tabung 12 Kg, tabung 50 Kg dan/atau dalam bentuk kemasan lainnya atau dalam bentuk curah (bulk), serta konsumen LPG sebagai bahan pendingin.
Nah, berdasarkan peraturan tersebut setidaknya kita sedikit mencoba memahami, mengapa LPG kemasan tabung 3 kg tidak dinaikkan harganya oleh Pertamina. Sebab, untuk LPG tertentu dalam kemasan tabung 3 kg itu Pertamina tidak mempunyai kewenangan mengatur harganya, karena menjadi kewenangan Menteri ESDM. Hal itu terkait dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. Tetapi pertanyaannya adalah, dengan perbedaan harga antara LPG tertentu (kemasan tabung 3 kg) dengan LPG umum (kemasan tabung 12 kg) itu, dapat dijamin tidak terjadi penyeberangan alias korupsi konsumen, yakni golongan konsumen kaya memborong LPG kemasan tabung 3 kg? Butuh kontrol yang kuat hingga ke sel-sel penjualan terbawah.
Apakah Pertamina memang mempunyai kewenangan mutlak untuk menentukan harga LPG kemasan tabung 12 kg tersebut? Bahkan dalam berbagai media dikabarkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, mengatakan bahwa pihaknya (Pemerintah) tidak memiliki kewenangan untuk melarang PT Pertamina (Persero) menaikkan harga elpiji ukuran 12 kilogram (kg). Itu murni corporaton action, tidak ada kaitannya dengan subsidi.
Mari kita tengok peraturan masa lalu ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU No. 22/2001) menentukan bahwa harga migas mengikuti mekanisme pasar dan persaingan usaha sehat dengan tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah kepada golongan masyarakat tertentu (Pasal 28 ayat 2 dan 3). Golongan masyarakat tertentu yang dimaksudkan adalah golongan yang membutuhkan bantuan negara (kaum miskin). Ketentuan ini dieliminasi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor  002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004.
MK berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU No. 22/2001 mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah.
Menurut MK dalam putusannya tersebut, seharusnya harga BBM dan gas bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangandengan UUD 1945.
Berdasarkan putusan MK tersebut jelaslah bahwa pendapat Pemerintah yang dilontarkan Hatta Rajasa itu keliru, sebab harga migas (termasuk LPG jenis apapun) tidak boleh diserahkan dalam hak corporate action, melainkan harus ditetapkan oleh pemerintah. Yang menjadi obyek pandang dalam hal ini bukan pada kemampuan subyek warga negara, tetapi titik tumpunya pada cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dimonopoli negara. Maka paradigmanya bukan lagi kebebasan korporasi, tetapi korporasi yang ditugasi memperdagangkan kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus tidak bebas, alias sewaktu-waktu harus menerima dan tunduk jika diintervensi negara dalam menetapkan harga. Justru yang menetapkan harga LPG seharusnya pemerintah, bukan Pertamina.
Apakah Pertamina tidak boleh merugi? Ketika Pertamina sebagai BUMN ditugasi untuk mengeruk laba, maka paradigma itu membawa akibat pusing tujuh keliling pada para punggawa Pertamina, sebab Pertamina harus bertindak sebagai pebisnis mengelola dan menjual migas kepada masyarakat. Hubungan Pertamina sebagai perseroan terbatas (meski Persero) dengan masyarakat menjadi hubungan antara pedagang (pengusaha) dengan konsumen. Lalu, mana ada saudagar/pedagang yang mau rugi? Hanya pedagang goblok yang mau menjual barang dagangannya dengan cara merugi terus-menerus.
Menurut saya, kerugian Pertamina dalam menjual LPG di bawah harga perolehan, jika kepentingannya untuk rakyat, tidak dikategorikan sebagai kerugian negara. Mengapa? Pertama, pejualan produk migas ditetapkan dengan keputusan pemerintah. Keputusan pemerintah tersebut secara konstitusional menjadi kewenangannya, dibenarkan oleh putusan MK. Apalagi lebih baik setelah penetapan harga dilakukan konsultasi dengan DPR, KPK dan BPK, meski tidak wajib. Kedua, jika yang diuntungkan masyarakat, baik yang miskin atau kaya, maka seluruh warga negara adalah bagian dari unsur-unsur negara itu sendiri.
Pertanyaan berikutnya, apakah pemerintah sanggup mengurus hal-hal begitu, dan dari mana anggarannya untuk selalu bisa menjual harga LPG di bawah harga perolehannya? Pertama, tertibkan tata usaha migas nasional. Sebab negara banyak dirugikan dari praktik tidak sehat. Kedua, urus negara dengan benar dengan mencegah korupsi. Termasuk peningkatan pendapatan perikanan yang juga menajaga perairan laut kita dengan benar.
Jika kita sudah diskenariokan bergantung pada LPG itu, sesuai program pemerintah sendiri, bukankah suatu saat ketika kita kehabisan LPG produksi dalam negeri, kita harus beli LPG dari negara lain dengan subsidi negara? Jika paradigma pengharaman subsidi oleh negara dianut, lalu buat apa kita punya negara? Di negara manapun yang maju di dunia ini selalu ada subsidi untuk rakyatnya, termasuk kepada para petani dan peternak yang sudah makmur seperti di negara-negara Eropa
Atau kita mau masak pakai apa? Pakai kompor listrik dengan tenaga panas matahari? Kapan dimulai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H