Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan banyak sorotan dan kritik terkait dengan eksekusi terhadap vonis hukuman mati dalam perkara narkotika. Meskipun saya bukan pendukung presiden Jokowi, dan sering sebel kepadanya, tetapi dalam hal ini perlu kiranya saya – melalui tulisan ini – tidak ikut-ikutan memojokkan presiden Jokowi. Jika perlu saya membela Jokowi, khusus untuk urusan ini.
Dalam negara hukum modern, presiden bukan satu-satunya penentu hukum, apalagi presiden bukan orang yang memutuskan hukuman bagi seseorang. Hanya saja, presiden harus mampu menjadi pemimpin negara dalam segala urusan, termasuk dalam penegakan hukum.
Dalam eksekusi (pelaksanaan) hukuman mati tersebut posisi presiden harus dilihat secara adil atau paling tidak dilihat secara proporsional. Ini merupakan hal yang bertema hukum, di mana ada sistem hukum yang diberlakukan, bukan semata soal emosi atas dasar tinjauan atau memihak paradigma suatu aliran pemikiran tertentu.
HAM dan mazhab hukum
Dari perspektif hak asasi manusia (HAM) mazhab uniformisme mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran bahwa HAM itu pasti universal. Dari mazhab inilah pemikiran tentang hak hidup yang absolut itu timbul. Nyawa itu pemberian Tuhan. Hidup itu pemberian Tuhan, maka hanya Tuhan yang berhak mancabut hak hidup seseorang. Tetapi apakah manusia pasti tahu bagaimana cara Tuhan mengambil hak hidup seseorang? Apakah harus selalu dengan penyakit, atau bunuh diri, atau kecelakaan, atau saat badan tak memenuhi syarat hidup, atau apa lagi?
Bicara tentang hak hidup dikaitkan dengan Tuhan itu saya jadi ingat penuturan Krisna saat ia dikutuk oleh Gandhari, ibu kurawa, bahwa Krisna titisan Wisnu itu akan mati di tangan pemburu di dalam hutan setelah kehancuran bangsa Yadhawa. Maka Krisna berkata, “Kutukan ibu Gandhari itu adalah jalan Tuhan baginya.” Jadi, cara Tuhan mengambil hak hidup seseorang itu adalah misteri, mungkin termasuk karena hukuman mati itu.
Di mazhab pemikiran HAM lainnya berpendapat bahwa HAM merupakan bagian sistem hukum yang harus menyadari dan memberi ruang pluralisme hukum yang mengandung konten kebudayaan-kebudayaan yang tidak mungkin diseragamkan. Meskipun mungkin ada lembaga internasional yang “ngeyel” menguniversalisasi, menguniformisasi (menyeragamkan) seluruh nilai HAM, tetapi kengeyelan itu tetaplah tak mampu menyeragamkan semua paradigma. Akhirnya hal itu hanya soal paradigma mana yang “berkuasa” alias paradigma mana yang mendapatkan tempat di lembaga hukum internasional.
Seperti halnya paradigma hukum mana yang sedang mendapatkan tempat di dalam sistem hukum suatu negara, tetapi tidak mampu membunuh paradigma hukum lainnya yang berbeda yang tidak dianut suatu rezim. Sementara itu terdapat asas hukum internasional yang menghormati kedaulatan hukum suatu negara yang harus berbasis HAM. Sementara itu cara memahami HAM itu sendiri masih berbeda-beda. Untuk membahas asal-usul HAM juga tidak mungkin seragam. Di satu sisi dikatakan HAM bersumber dari Tuhan (mazhab hukum alam), tetapi bagi mazhab sekularisme dan ateisme, pantang bagi mereka menghubungkan urusan hukum (termasuk HAM) dengan Tuhan. Bahkan bagi mereka yang mempunyai agama yang berbeda, dapat berbeda pula dalam memahami HAM.
Jika menggunakan teori hukum kritis, maka hukum (termasuk hukum HAM) bukan semata hukum yang diciptakan oleh penguasa semacam pemikiran aliran positivisme ala John Austin atau Hans Kelsen. Hukum modern merupakan hasil pertarungan hegemoni dalam masyarakat bernegara, yang pada kenyataannya memang lebih banyak memenangkan mereka yang mempunyai kekuasaan uang. Tetapi hukum yang seperti itu tidaklah ideal. Idealnya, hukum dapat memberikan kenyamanan dan keadilan kepada semuanya. Tetapi ternyata dunia ini menjadi ladang pertikaian dalam sepanjang perjalanan sejarah manusia yang tak mampu menemukan keadilan yang sejati. Ini akan menjadi pembahasan filsafat hukum dan HAM yang terus akan berlangsung dalam sepanjang sejarah manusia.
Jika bicara tentang Tuhan yang memiliki hak atas nyawa manusia dan Dia satu-satunya yang berhak mencabutnya, ternyata hukum agama-agama di dunia juga membawa risalah tentang hukuman mati. Hukuman rajam sampai mati bagi para pezina yang sudah mempunyai ikatan perkawinan yang dikenal dalam Hukum Islam contohnya, adalah kelanjutan dari hukum Tuhan sejak zaman Kitab Taurat. Jadi, Tuhan pun mempunyai wajah dan rasio yang berbeda dalam perbedaan cara pikir dan imajinasi banyak manusia. Lalu mana yang paling benar? Jawabannya tentu hanya ditemukan saat semua manusia sama-sama menghadap Tuhan untuk menanyakan itu.
Kedudukan presiden
Saya kembali pada tema posisi alias kedudukan presiden dalam eksekusi hukuman mati. Jika hendak menilai salah atas hukuman mati, presiden Jokowi bukanlah sebuah entitas jabatan menurut hukum negara yang menjadi satu-satunya jabatan negara yang harus bertanggung jawab pada seluruh sistem hukum (yang di dalamnya juga mengandung konten HAM).. Ada konstitusi yang dibuat MPR, ada undang-undang organik pelaksana konstitusi yang dibuat legislatif (DPR dan kadang bersama DPD, bersama dengan presiden). Konstitusi dan undang-undang sebagai norma umum. Ada lembaga yudikatif yang memutuskan norma individualnya berdasarkan undang-undang. Dalam struktur tersebut, presiden merupakan pimpinan lembaga eksekutif yang menjalankan titah konstitusi dan undang-undang serta putusan hakim.
Hukuman mati yang dieksekusi merupakan perintah Hakim sebagai putusannya yang sudah tidak memungkinkan dianulir oleh putusan Hakim lainnya. Satu-satunya cara untuk menganulir hukuman mati yang putusannya sudah tidak dapat dianulir tersebut adalah penggunaan kewenangan grasi (ampunan) oleh presiden. Grasi diberikan setelah presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Meskipun tidak ada ketentuan bahwa pertimbangan MA itu mengikat presiden dalam memutuskan grasi, tetapi tentu ada etika dalam hubungan antar kewenangan lembaga tinggi negara. Apa guna aturan yang melibatkan pertimbangan MA dalam memutuskan grasi itu?
Grasi merupakan hak prerogatif presiden. (Saya lebih suka menggunakan istilah “kewenangan” daripada hak, sebab grasi merupakan kekuasaan yang didasarkan pada hukum. Sedangkan hak lebih cocok melekat pada subyek hukum nonkekuasaan). Grasi merupakan kekuasaan presiden untuk memberikan ampunan orang yang bersalah. Apakah jika presiden tidak mempergunakan kewenangan grasi kepada terpidana mati, dapat dikatakan melanggar HAM?
Bagi para penganut mazhab pemikiran universalisme (uniformisme) HAM, jelas bahwa pidana mati itu melanggar HAM. Hakim yang memutuskan, jaksa dan algojo yang mengeksekusi, mereka dikatakan melanggar HAM secara aktif (violation by commission). Presiden yang tidak bersedia menggunakan kewenangannya untuk memberikan ampunan (grasi) dapat dikatakan melanggar HAM dengan cara pembiaran (violation by omission).
Lain halnya bagi para penganut pemikiran partikularisme HAM, hukuman mati selama hukum yang menjadi dasarnya mengatur tentang hukuman mati tersebut, maka pidana mati bukan merupakan pelanggaran HAM. Undang-undang - berdasarkan teori fiksi hukum – dianggap diketahui semua orang. Jika ada orang yang melakukan kejahatan yang dapat berakibat pidana mati, orang itu dianggap tahu risikonya, ibaratnya sengaja bunuh diri. Dalam resep keberhasilan usaha, risiko tinggi ditempuh untuk memperoleh hasil tinggi pula. Tetapi memang ada kemungkinan adanya rekayasa hukum, keterpaksaan akibat putus asa dan sebagainya.
Masyarakat telah menjepit posisi presiden Jokowi dengan menuduhnya terlibat dalam pelanggaran HAM dalam eksekusi hukuman mati, dan di sisi lain adanya desakan agar segera mengeksekusi para terpidana mati dalam perkara narkotika tersebut. Apabila presiden terlalu sering menggunakan kewenangan pemberian ampunan (grasi) maka hal itu juga menjadikan seolah-olah presiden lebih benar dibandingkan dengan lembaga yudikatif. Dalam tingkat tertentu mungkin presiden akan dituduh menyalahgunakan (obral) kekuasaannya. Tetapi saya yang bekerja sebagai pekerja hukum memang melihat kebobrokan hukum yang memungkinkan suatu hukuman penuh dengan rekayasa. Masyarakat muak dengan hukum. Ini memang berbahaya.
Kebobrokan Hukum
Dalam situasi kebobrokan hukum itu memang pidana mati menjadi sangat mengkhawatirkan. Kekhawatirannya bukan cuma soal keliru dalam menghukum seseorang, tetapi ini juga terdapat kekhawatiran berikutnya, yakni kebiasaan mafia pemerintahan yang menyebabkan para bandar narkotika bebas mengendalikan perdagangan narkotika dari balik tembok penjara. Bahkan ada mantan narapidana yang berkisah bahwa setiap malam ia bebas pergi ke tempat yang ia sukai dikawal para petugas lapas atau rutan. Uang yang dapat mengatur semua itu. Kehancuran hukum karena kekuasaan uang itulah yang menyebabkan orang salah dibebaskan dan orang benar dihukum. Betapa rumitnya memikirkan hal itu.
Perjuangan para penetang hukuman mati mungkin juga lebih strategis pada level penyusunan undang-undang, agar setiap undang-undang yang memuat hukuman mati diamandemen. Namun yang paling mendasar adalah amandemen UUD 1945 ke arah larangan terhadap hukuman mati. Tentu saja itu akan menyangkut konsensus nasional, lebih dominan mana kekuatan hegemoni dalam penyusunan hukum tersebut.
Seandainya dalam situasi para penegak hukum jujur, disiplin, tidak korup dan nepotis, serta ahli dalam ilmu hukum, saya setuju jika para gembong narkotika yang tertangkap itu dihukum nungging di lapangan basket di luar ruangan selama 200 tahun menjadi tontonan masyarakat dan seluruh kekayaannya disita oleh negara untuk dana rehabilitasi para korbannya. Tapi tentu dengan mengubah undang-undangnya lebih dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H