Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Istilah Hater dan Hohohihi dalam Kamus

1 Januari 2016   19:53 Diperbarui: 2 Januari 2016   05:03 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah “pencitraan” menjadi terkenal di jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Istilah tersebut dipergunakan oleh para pengritik SBY. Sebenarnya bukan hanya Presiden SBY yang melakukan pencitraan, tetapi hampir semua kalangan masyarakat tentu berusaha mencitrakan diri, apalagi dalam politik. Presiden Sukarno yang playboy itu pun melakukan pencitraan untuk dirinya dengan segala penampilannya.

Para pendukung Suharto yang tiran kepada musuh-musuh politiknya itupun melakukan pencitraan untuknya. Saat saya di Buton pernah ada yang berkisah bahwa saat Suharto berkunjung ke Sulawesi Utara jaman dahulu, semalam sebelumnya padi-padi yang jelek di sawah yang akan dikunjungi Suharto dicabuti digantikan dengan padi dari tempat lain yang lebih subur. Pencitraan demikian mungkin juga terkait watak asal bapak senang (ABS) di jaman Suharto.

Pencitraan merupakan upaya untuk menonjolkan diri agar orang lain memandang diri orang tersebut sebagai orang yang baik atau unggul. Mungkin memang orang tersebut baik atau unggul, atau sebaliknya orang tersebut tidak memiliki kelebihan yang menonjol tapi butuh untuk memperlihatkan diri. Barangkali itu adalah bagian aktualisasi diri yang oleh Abraham Maslow dianggap sebagai kebutuhan. Dalam ajaran Islam, pencitraan diri dan membanggakan diri itu dilarang. Tapi para politisi muslimpun pun melanggar larangan pencitraan diri tersebut.

Cara-cara melakukan pencitraan terus berkembang, termasuk dengan mempergunakan istilah bahasa. Pada masa kampanye pilpres 2014, para pendukung Joko Widodo  – Jusuf Kalla (Jokowi – JK) mempergunakan istilah “hater” (pembenci) guna memberikan label mereka para pengritik Jokowi – JK. Tentu masih ingat saat kampanye pilpres lewat TV, Jokowi bilang bahwa ia punya program e-government yang katanya programnya bisa diselesaikan dalam waktu 2 (dua) minggu. Setelah ramai menjadi bahan dagelan maka para pendukung Jokowi menilai bahwa mereka yang menertawakan itu adalah para haters.

Setelah berhasil memenangi pilpres, istilah hater itu hanya lebih dilekatkan kepada para pengritik Jokowi dan tidak kepada JK. Terutama para pemuja Jokowi memandang Jokowi sebagai figur sentral sehingga bagi mereka tidak ada satupun kekuatan politik yang mempengaruhinya. Jokowi dipandang sebagai sebuah kesempurnaan dan harapan satu-satunya bagi negara ini, sehingga siapapun yang mengritiknya atau menjadikan bahan dagelan akan dilabeli sebagai hater. Apakah memang orang itu pembenci Jokowi, ataukah mereka yang terbiasa mengembangkan watak kritis dalam mengontrol kekuasaan, semua dianggap hater. Bisa jadi suatu saat kata “hater” itu akan diserap menjadi kata dalam bahasa Indonesia. Ada juga media massa yang menggunakan istilah hohohihi untuk menggantikan kata "bersetubuh." Tentu saat ini kata "hater" dan kata "hohohihi" belum ada di kamus Bahasa Indonesia.

Istilah hater tersebut memang baru dipergunakan dalam rangka membangun pencitraan bagi Jokowi. Semua presiden Indonesia sejak Sukarno hingga Jokowi memang mungkin ada para pembencinya. Tetapi para pengritik dan orang-orang yang menjadikannya sebagai bahan dagelan tidak dapat dikualifikasi sebagai hater. Rizal Ramli merupakan salah satu orang yang mampu dengan jernih memberi contoh dan membedakan antara hater dengan pengritik. Rizal Ramli kadang memberikan statemen yang keras kepada JK atau para pejabat publik lainnya, tapi dia bilang, “Yang tidak disukai itu kelakuannya. Kalau hubungan dengan orangnya biasa-biasa saja.”

Rakyat Indonesia yang 70 tahun berada dalam keadaan “terbohongi rezim” mungkin memang besar harapannya agar Indonesia menemukan pemimpin yang benar-benar menjadi Ratu Adil. Segala berita media massa pencitraan yang dibangun untuk Jokowi sejak ia menjabat Walikota Solo bagaimanapun juga menumbuhkan harapan besar bagi banyak orang kepada sosok Jokowi. Selama ini Jokowi dipandang dan dicitrakan sebagai anugerah Yang Atas untuk perubahan Indonesia. Itulah yang kemudian membuat banyak orang menjadi semacam terpenjara dalam harapan besar.

Saya mencoba membandingkan dengan kuatnya cita-cita salah satu teman saya SD dulu yang pengin menjadi tentara. Dengan bekal postur tubuh yang ideal dan orang tuanya yang cukup berharta, mungkin ia tidak pernah memikirkan kemungkinan akan gagal untuk menjadi tentara. Jaman itu semua bisa diatur, asalkan ada uang dan fisiknya mumpuni. Kemampuan otak urusan belakang. Harapannya sangat besar. Tapi ternyata kawan saya itu gagal dalam rekrutmen akhir. Apa yang terjadi? Ia menjadi gila. Tiap pagi ia berdiri di pinggir jalan dan memberi hormat kepada setiap orang yang lewat di jalan yang ada di depan rumahnya itu. Ia merasa telah menjadi tentara. Padahal ia bukan tentara. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa harapan besarnya tidak tercapai.

Kini kekuatan rakyat sipil terdidik Indonesia telah terbelah. Kontrol terhadap rezim Jokowi tidak sekuat pada jaman SBY dan sebelumnya. Bahkan kembalinya militer pada urusan-urusan sipil sudah tidak lagi dipersoalkan. Ide tentang penghapusan kekuasaan teritorial militer di tengah-tengah otoritas keamanan sipil sudah mulai lenyap dan yang terus terjadi adalah “pertempuran” antara pasukan polisi dengan TNI di tengah-tengah masyarakat. Penghapusan dwifungsi ABRI yang dilakukan di jaman pemerintahan KH Abdurrahman Wahid dari hasil perjuangan reformasi, kini diremehkan begitu saja. Mengusut korupsi di tubuh militer saja nggak berani, tapi kok memberikan pekerjaan-pekerjaan sipil kepada militer yang tentu juga menggunakan anggaran negara? Apa susahnya kita memberikan keringanan tugas kepada TNI, yakni hanya untuk yang mengurus pertahanan negara?

Gaya pembangunan yang memprioritaskan pembangunan fisik (infrastruktur) dengan menggenjot utang negara dan pencabutan subsidi BBM dalam situasi korupsi yang tetap merajalela juga tidak mendapatkan kritik yang memadahi. Apakah duit utang luar negeri dan dari pengalihan anggaran subsidi itu tidak akan mengalir ke kantong-kantong para koruptor seperti biasanya jika tidak lebih dulu dibuat sistem pencegahan korupsinya?

Dalam praktiknya, dana pembangunan infrastruktur selalu dikorupsi, tapi hanya sebagian kecil yang ketahuan. Itu bisa saya dengar dari keluh-kesah para subkontraktor pelaku pembangunan infrastruktur di mana mereka hanya mengelola sekitar 50 persen anggaran pembangunan infrastruktur. Sekitar 50 persennya habis dibagi-bagi oleh para gerandong berdasi, sehingga subkontraktor ini harus “mengatur” volume pekerjaannya. Praktik-praktik siluman “setor-menyetor” yang kabarnya juga melibatkan auditor seperti itu tidak pernah diberantas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun