Perkara mesum (zina) seorang perempuan dengan seorang lelaki di Aceh baru-baru ini (yang berlanjut pada pemerkosaan delapan lelaki kepada perempuan tersebut) telah memantik komentar-komentar yang pada umumnya menilai negatif penerapan hukum Islam di Aceh. Qanun Aceh dipandang telah menganiaya perempuan. Ini soal jiwa berita dan jiwa massa, serta jiwa keilmuan banyak orang.
Judul-judul berita media massa yang umumnya memunculkan opini bahwa ada wanita korban pemerkosaan dari delapan pria, kok malah dihukum cambuk. Banyak kaum terpelajar yang emosi membaca berita tersebut. Alangkah biadabnya Qanun Aceh yang bersumber dari hukum Islam itu, menganiaya perempuan korban pemerkosaan?
Hati-hati Menerapkan Pidana Islam!
Sebelum saya berlanjut pada pembahasan Qanun Aceh tersebut, saya perlu mengingatkan prinsip dasar pelaksanaan hukum pidana Islam, yakni, “Tolaklah hudud selama kamu dapat menolaknya!” Atau dalam kalimat lain, “Tolaklah had-had itu dengan subhat-subhat!” (Lihat hadits no. 1245, 1246 dan 1247 Kitab Bulughul Maram). Prinsip tersebut juga ajaran Nabi Muhammad. Nabi Muhammad memalingkan muka, tidak menanggapi seorang sahabat yang berkata mengaku telah berzina, hingga orang tersebut justru menekan Nabi agar mendengarkan pengakuannya sampai empat kali (hadits no. 1233 Kitab Bulughul Maraam).
Artinya, sejauh mungkin hukuman badan dalam penerapan hukum pidana Islam dihindari, kecuali jika buktinya benar-benar meyakinkan. Para penegak hukum tidak boleh melakukan tekanan-tekanan agar para saksi maupun tersangka atau terdakwa agar mengarah pada tujuan untuk melakukan hukuman badan.
Para penegak hukum diperintahkan untuk mencari jalan agar hukuman-hukuman hudud itu (rajam, dera, potong tangan, hukuman mati) terhindarkan. Itu merupakan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan hukum pidana Islam yang memang sangat keras bentuknya. Kerasnya bentuk hukuman tersebut sebagai cara untuk memberikan gambaran kepada masyarakat agar patuh hukum dan berlaku tertib, demi keharmonisan bersama.
Ketika muncul kasus-kasus kejahatan seksual yang mengancam anak-anak, banyak muncul komentar yang mengatakan bahwa hukuman dalam undang-undang kita terlalu ringan. Apalagi dalam praktiknya tidak pernah diterapkan maksimum. Mintanya, para pelaku kejahatan seksual, apalagi mengorbankan anak-anak, agar dihukum berat, dikebiri atau dihukum mati.
Tuntutan masyarakat agar dilakukan pemidanaan yang berat tersebut ternyata berlawanan dengan ide baru dalam ilmu hukum dan HAM yang membawa doktrin baru bahwa bentuk hukuman (pemidanaan) seharusnya bukan merupakan pembalasan atas kejahatan, tapi lebih pada pembinaan agar si penjahat bisa disembuhkan. Apakah doktrin pembalasan pada akhirnya akan lenyap dengan munculnya doktrin pembinaan? Dalam sejarahnya, mazhab-mazhab ilmu hukum tidak pernah dapat dipersatukan, telah berlangsung berabad-abad hingga sekarang.
Kembali pada masalah Qanun Aceh. Dalam pemidanaan kepada wanita Aceh dalam kasus mesum (zina) dan pemerkosaan tersebut, hendaknya diletakkan pada pemikiran yang adil. Artinya, wanita tersebut sebagai pelaku perbuatan zina boleh dihukum, di mana lelaki yang berbuat zina bersamanya juga harus sama-sama dihukum.
Sebaliknya dalam kasus pemerkosaannya, sebagai korban pemerkosaan maka perempuan tersebut wajib dilindungi dan diberikan keadilan hukum. Para pria yang telah memperkosanya juga wajib dihukum.
Namun cara menerapkan hukuman kepada perempuan tersebut (dalam kasus zina) juga harus secara bijaksana. Mengadili dan menjatuhkan hukumman kepada wanita yang masih dalam keadaan berduka karena menjadi korban pemerkosaan adalah tindakan kekuasaan yang tidak adil.
Keadaan psikologis perempuan tersebut harus dipulihkan lebih dulu, agar ia dapat memberikan keterangan yang baik. Itu membutuhkan waktu lama. Diperlukan alat bukti yang kuat untuk menetapkan hukuman badan kepadanya, dengan berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian yang telah saya jelaskan di depan.
Jika alat buktinya subhat (meragukan), hanya berdasarkan keterangan para saksi yang cacat moral (para lelaki yang memperkosanya) dan pengakuan seorang lelaki yang diduga teman kencannya, itu belumlah cukup. Kecuali perempuan tersebut mengakuinya tanpa tekanan. Bahkan penegak hukum wajib untuk meneliti apakah pengakuan tersebut dari nuraninya sendiri, atau ada ketidakstabilan kejiwaannya.
Hukum Islam Tidak Kenal Pemerkosa?
Delapan lelaki yang telah memperkosa perempuan tersebut tidak dapat diproses berdasarkan Qanun Aceh dengan alasan bahwa Qanun Aceh tidak mengaturnya. Hukumanhad yang ada dalam Qanun Aceh diantaranya adalah Qanun Hukum Jinayat, yaitu Qanun Jinayat No. 12/2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), Qanun Jinayat No. 13/ 2003 tentang Maisir (judi), dan Qanun Jinayat No. 14/2003 tentang Khalwat (mesum).Ada pula Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Artinya, tidak semua hukum pidana Islam masuk menjadi muatan Qanun Aceh, sehingga terhadap tindak pidana yang tidak diatur dalam Qanun Aceh maka diperiksa dan diadili dengan menggunakan hukum pidana lainnya yang berlaku di Indonesia.
Lalu apakah kejahatan pemerkosaan kepada perempuan tidak diatur dalam hukum pidana Islam, sehingga hukum Qanun Aceh tidak memuatnya? Kejahatan pemerkosaan sebenarnya dapat masuk kategori kejahatan zina. Tetapi ada yang memandang bahwa jika diterapkan hukum zina maka perempuan korban pemerkosaan dikategorikan pula sebagai pelaku zina yang harus dihukum. Pendapat tersebut tentu saja keliru dan sama sekali tidak berdasar. Dalam hukum Islam, serta dalam sistem hukum pada umumnya, pelaku yang melakukan sesuatu karena paksaan tidak dapat dihukum.
Dasar alternatif pertama, pemerkosa diterapkan hukuman sesuai hukum larangan zina (dipidana rajam atau cambuk). Tetapi hukumannya diperberat, sebab selain ada unsur zina juga terdapat unsur kejahatan “membuat orang lain (korban) menderita atau teraniaya.” Memperberatnya adalah dengan denda yang harus dibayarkan kepada korban. Para imam terdahulu (Imam Malik dan Imam Syafi’i) mengistilahkan sebagai “mahar” karena itu menjadi hak perempuan korban. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pemerkosa dihukum had (hukuman badan) tetapi tidak wajib membayar mahar.
Sedangkan perempuan yang melakukan hubungan seks secara tidak sah karena paksaan (diperkosa) harus dipergunakan hukum darurat. “Adhdharuuraatu tubiihul mahzhuurat” atau “darurat itu membolehkan yang haram.” Hukum darurat” yang dimaksudkan tersebut bersumber dari beberapa ayat Al-Qur`an (QS), antara lain QS Al-Baqarah ayat 173, QS Al-Maidah ayat 3, QS Al-An’aam ayat 119 dan ayat 145, dan QS An-Nahl ayat 115. Dalam kasus pemerkosaan, perempuan yang diperkosa tidak menghendaki perbuatan zina dan dia berada dalam ancaman atau dalam keadaan tidak mampu melawan. Imam Ahmad bin Hambali menafsirkan keadaan darurat tersebut adalah keadaan jika seseorang yakin bahwa nyawanya nyaris terancam melayang kalau sampai ia tidak mau mengonsumsi sesuatu yang haram.Ibnu Taimiyah dan Imam Suyuthi menafsirkan senada, yakni terkait dengan keterpaksaan demi mempertahankan keselamatan jiwa dan raga.
Dasar alternatif kedua, kejahatan pemerkosaan dapat dipandang sebagai spesies dari perbuatan induk yang berupa “berbuat kerusakan di muka bumi” (QS Al-Maidah ayat 33). Ayat ini turun dengan konteks peristiwa perbuatan orang-orang suku ‘Uraniah yang selain murtad juga membunuh penggembala unta dan membawa lari unta-untanya, merupakan ayat hukum tentang perbuatan orang-orang yang berbuat keonaran seperti membunuh, mengganggu, dan lain-lain (hadits diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, juga oleh Abdurrazaq, dalam Asbabun Nuzul, K.H. Q. Shaleh, dkk, 2000: 191). Hukumannya bisa berupa pidana mati, atau disalib atau potong tangan dan kaki secara timbal balik.
Hukum Islam memang mengalami perkembangan penafsiran sesuai konteks zaman. Tentu saja penerapannya di Aceh masih jauh dari sempurrna, apalagi jika rujukan dasarnya masih belum lengkap, seandainya hanya mengekor dari pendapat satu mazhab saja.
Hukum Islam dalam Pandangan Ahli Hukum Barat
Penerapan hukum Islam oleh suatu komunitas tertentu diakui dalam ilmu perbandingan hukum dalam konteks global, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hukum perbandingan Barat seperti Prof. Werner Menski dan Prof. Peter de Cruz yang juga menggunakan bahan-bahan kajian para peneliti perbandingan hukum lainnya. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa upaya-upaya unifikasi atau uniformisasi hukum adalah upaya yang keliru dalam upaya memahami realitas pluralitas hukum di dunia ini.
Kasus-kasus di Aceh menjadi pelajaran bagi Aceh untuk bisa menyusun hukum Qanun yang lebih melindungi perempuan. Salah satu semangat diberlakukannya hukum Islam dalam sejarahnya juga dalam rangka mengangkat derajat dan hak-hak perempuan yang dipandang rendah di masa lalu. Tentu saja bahwa hukum Islam bukan teks mati. Al-Quran memang teks abadi, tetapi arti dan maknanya dibutuhkan tafsir oleh manusia dengan kapasitas ilmu tafsirnya. Oleh sebab itu tafsir hukum Islam yang termuat dalam Qanun Aceh juga bukan kebenaran absolut, dan sangat mungkin terdapat margin of error atau ikhtilaf (pinjam istilah Menski dalam Comparative Law In A Global Context yang juga membahas hukum Islam). Oleh sebab itu Qanun Aceh masih butuh penyempurnaan terus-menerus, terutama agar juga tidak melakukan ketidakadilan hukum kepada para wanita.
Sebagaimana dikatakan oleh Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, bahwa Imam Syafi’i melarang orang-orang untuk mengikuti pendapatnya dan orang lain secara buta. Hukum Islam dalam perkembangannya terdapat ikhtilaf (perbedaan tafsir). Itu adalah tradisi doktrin keilmuan hukum Islam dari para imam terdahulu yang seharusnya menjadi inspirasi untuk bagaimana membangun hukum Islam dalam tafsir yang lebih baik dan lebih baik, agar margin of error dengan kehendak Tuhan yang Maha Adil menjadi kian tipis.
Penulis adalah mantan santri Pak Abdul Haji di langgar (masjid kuecil) Banggle. Lha Pak Abdul Haji itu orang NU mantan santri kyai kampung di Nganjuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H