Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Akhir Kontrak Freeport, Pemulihan Lingkungan, dan Nasib Pekerja Papua

2 Mei 2017   14:58 Diperbarui: 2 Mei 2017   20:52 2063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa dari hasil pemeriksaan pelaksanaan Kontrak Karya Freeport dengan pemerintah Indonesia tahun 2013 – 2015, terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 185 T. Terdapat setidaknya lima pelanggaran yang dilakukan oleh Freeport.

Pertama, Freeport melanggar UU Kehutanan, sebab Freeport tidak mempunyai izin pinjam-pakai lahan hutan di kawasan hutan lindung pada 2008-2015 seluas 4.535,93 hektar (Ha), sehingga negara dirugikan sekitar Rp 270 M. Kedua, terdapat kelebihan pencairan dana jaminan reklamasi sebesar US$ 1,43 juta atau Rp 19,4 M berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia pada 25 Mei 2016. Dana itu seharusnya masih ditempatkan di pemerintah. Ketiga, Freeport melakukan pertambangan bawah tanah tanpa AMDAL dan tanpa izin lingkungan. AMDAL Freeport sejak tahun 1997 tidak termasuk untuk tambang bawah tanah. Keempat, terjadi kerusakan lingkungan karena pembuangan limbah operasional di sungai, muara, dan laut. Pemerintah tak mampu mencegah kerusakan hingga produksi Freeport telah mencapai 300 ribu ton. Kelima, Freeport belum menyetorkan kewajiban dana pascatambang periode 2016 ke pemerintah, sehingga  potensi kerugian negara mencapai US$ 22,29 juta atau sekitar Rp 293 M.

Berdasarkan temuan BPK tersebut maka sekurang-kurangnya ada dua jenis tindak pidana yang dapat diusut, yakni tindak pidana lingkungan hidup (termasuk berdasarkan UU Kehutanan) dan tindak pidana korupsi dengan adanya unsur pelanggaran hukum, memperkaya Freeport dan menimbulkan kerugian negara. Beranikah Polri dan KPK mengusut perkara besar tersebut? Ataukah Polri dan KPK mesti belajar dulu kepada Freeport agar tahu ilmunya bagaimana Freeport bisa sakti tak tersentuh hukum?

Riwayat Freeport Berdarah

Rezim Partai Banteng mesti ingat dengan sejarah Freeport dan kaitannya dengan Bung Karno ini. Setelah Sukarno berhasil dijatuhkan, para majikan besar Eropa dan Amerika merayakan “kemenangan” dengan berkumpul di Swiss untuk menyusun rencana pengavlingan wilayah-wilayah usaha tambang di Indonesia.

Setelah kejatuhsan rezim Sukarno di tahun 1967 itu Pemerintah Orde Baru menandatangani Kontrak Kerja (KK) dengan Freeport. Maka Freeport melakukan eksplorasi tambang di Erstberg yang dilanjutkan dengan tambang Grasberg tahun 1988. Operasi tambang Freeport diperkirakan memakan korban penduduk tewas sekitar sebanyak 500 ribu orang dengan menggunakan kekerasan militer. (Abigail Abrash dalam Human Rights Abuses by Freeport in Indonesia, 2002). Mengapa kasus ini tidak menjadi perhatian bagi Komnas HAM untuk menyelidikinya, agar diarahkan ke kasus pelanggaran HAM yang berat?

Tanah yang dipergunakan untuk tambang Freeport tersebut adalah tanah adat suku Amungme dan Komoro yang dirampas begitu saja untuk kepentingan bisnis yang mengatasnamakan kepentingan negara, suatu modus yang selalu dipergunakan hingga sekarang dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang bersifat destruktif ditinjau dari segi ekologi, sosial dan budaya. Hak masyarakat adat yang direbut dan dikuasai itu lalu diberi stempel “Aset Vital Negara” yang dijaga pasukan polisi dan tentara. Siapa yang mengganggu tuan investor disebut sebagai pengacau atau pemberontak, boleh ditembak. Begitulah cara mereka berpikir.

Pertimbangan ekonomi, yang sebenarnya manfaat terbesarnya hanya dinikmati segelintir pebisnis, selalu menjadi panglima, sedangkan politik adalah hamba sahaya dari kepentingan eknomi para pebisnis tersebut. Politik hukum dibuat oleh para hamba sahaya itu demi kepentingan para tuan. Maka benar kata guru besar ilmu hukum, Roberto M. Unger, bahwa negara hukum modern adalah sebagai hukum kemenangan kaum borjuis.

Apakah sejarah penindasan yang terus berlangsung hingga sekarang itu akan dilanjutkan? Katakanlah bahwa negara ini terikat KK dengan Freeport hingga tahun 2021, yang dengan rezim hukum perdata internasional membuat negara ini ketakutan untuk mengakhiri kekonyolan modern itu, tetapi apakah tidak ada cita-cita yang tegas untuk tidak melanjutkan tambang yang merusak itu di tahun 2021 itu?

Pun jika kita sering berbusa-busa bicara tentang demokrasi, rakyat Papua, termasuk suku Amungme dan Komoro selaku pemegang hak adat atas tanah ulayat mereka yang dirampas itu, tidak pernah diajak bicara tentang bagaimana kehendak serta nasib mereka terkait dengan pengambilan keputusan negara tentang tambang Freeport tersebut. Tentu saja praktik demikian itu bukan praktik negara demokrasi, tapi praktik gerombolan hamba sahaya para tuan ekonomi itu.

Apa yang saya sampaikan ini hanyalah sekadar urun rembug sebagai rakyat kecil, yang sesama rakyat dengan saudara-saudara orang Papua, bahwa lebih baik jika tambang Freeport itu diakhiri dan dilakukan pemulihan lingkungan. Toh sejak dahulu hingga sekarang rakyat Papua tidak memperoleh keuntungan yang memadahi dibandingkan dengan kehancuran alam lingkungan mereka dan besarnya tumbal nyawa yang dikorbankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun