Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Artikel Utama

Arloji Sang Jenderal dan Si Putri

24 April 2014   16:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:15 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini saya punya agenda sidang perkara pidana di Pengadilan Negeri Surabaya. Biasa, hampir tiap pagi saya beli koran di jalanan. Saya tidak berlangganan koran dengan maksud agar bisa menjadi keuntungan bagi orang-orang yang kerjaannya jualan koran di jalanan. Bayangkan, bagaimana jika semua beli koran berlangganan di agen-agen? Para penjaja koran sekian banyak itu akan kehilangan pekerjaan, ter-PHK tanpa pesangon, beda dengan para PSK Dolly yang akan dipensiunkan oleh Pemkot Surabaya, yang akan diberikan pesangon dan pekerjaan. Hal yang perlu dipikirkan bersama.

Baca koran pagi ini, ada berita besar di halaman depan tentang Jenderal TNI Moeldoko, panglima TNI, yang membanting arloji yang dibilangnya sebagai arloji palsu (maksudnya bermerek tertentu yang palsu). Itu yang membuatku tidak menyiapkan rencana persidangan, tapi malah menulis ini. Baca koran bisa mempengaruhi pikiran dan mengubah rencana. Tahu gitu saya nggak baca koran.

Media massa Singapura menyorot sang Jenderal yang konon hobi mengoleksi arloji mewah. Lalu media massa Indonesia menindaklanjuti berita itu. Dasar media yang tidak kreatif, sukanya meniru-niru ide sorotan media asing! Mbok ya nyorot yang lain, misalnya apa merek celana dalam atau merek kaos kaki sang Jenderal? Biar bisa bagi-bagi tugas, ada media yang memberitakan merek arloji, kaos kaki, celana dalam, tongkat golf, kaos dalam, dan lain-lainnya yang dipakai sang Jenderal. Biar lengkap. Itu baru kreatif.

Baiklah. Saya tidak akan ikut-ikutan menyorot arloji Pak Jenderal Moeldoko, biar saya tidak dibilang tidak kreatif. Ada sebuah cerita tentang jenderal yang lainnya, meski pangkatnya bukan jenderal bintang empat, tapi masih letnan jenderal.

Sang Jenderal yang saya kisahkan ini katakanlah bernama Soponyono. Letnan Jenderal Soponyono. Tentu saja saya menyebut nama fiktif.

Mengapa saya beri nama Soponyono? Soponyono itu dari frasa bahasa Jawa. Sopo berarti “siapa” dan “nyono” artinya “mengira.” Jadi, Soponyono itu artinya “siapa mengira.” Banyak orang yang tidak menyangka ada seorang jenderal yang hidupnya pas-pasan dalam arti hidup sederhana, tidak punya banyak harta. Lha apa memang gaji jenderal itu besar?

Konon menurut Peraturan Pemerintah Nomo 23 Tahun 2013,  gaji tertinggi perwira tinggi TNI/Polri dengan pangkat brigadir jenderal/laksamana pertama/marsekal pertama adalah Rp 4.581.800,- mayor jenderal/laksamana muda/marsekal muda/inspektur jenderal polisi Rp 4.725.000,- letnan jenderal/laksamana muda/marsekal muda/komisaris jenderal polisi Rp 4.872.700,- dan jenderal/laksamana/marsekal adalah Rp 5.025.000,-. Lha tunjangannya berapa? Tunjangan jangan dihitung, sebab yang namanya tunjangan itu fasilitas yang diperkirakan habis dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun mungkin lebih besar dibandingkan gaji bulanannya itu.

Ternyata gaji jenderal itu kecil. Nggak sepadan dengan tugasnya. Mau kaya bagaimana para jenderal itu jika gajinya lebih rendah dibandingkan gaji manajer personalia sebuah perusahaan sedang? Gaji cuma sekitar Rp 5 juta bagi seorang jenderal itu merupakan penghinaan! Tetapi para jenderal itu berbesar hati dengan mengatakan, “Tugas kami adalah pengabdian kepada negara!” Itu yang membanggakan.

Makanya kalau ada para jenderal yang menjadi politisi dan kaya-raya hartanya puluhan atau ratusan miliar, kalau ditanya wartawan, “Dari mana asal kekayaan Pak Jenderal?” Jawabnya, “Itu dari hibah.” Kita nggak tahu, hibahnya dari mana. Jika wartawannya kreatif ya akan mengejarnya, hibah dari mana saja. Jangan-jangan juga dari Nyi Blorong?

Wah, saya mau mengisahkan Letnan Jenderal Soponyono kok jadi ngoyoworo, mblakrak mbahas income jenderal. Baiklah, saya kembali ke letnan jenderal Soponyono alias sang Jenderal.

Sang Jenderal pernah ditugaskan ke Aceh dan Papua. Ia menolak pemberian alias upeti yang diberikan oleh korporasi-korporasi besar milik asing yang mengeduk kekayaan negeri ini. Ia menolak halus. Kepada para prajurit bawahannya ia berkata, “Kita di sini ditugaskan oleh atasan. Kita ditugasi untuk menjaga tambang-tambang yang konon ditetapkan sebagai obyek vital negara. Meskipun ini lebih banyak memberikan keuntungan orang-orang asing, terutama para pemilik perusahaan besar ini. Kita jangan sampai memperkaya diri dari pemberian para majikan asing yang memperkaya diri di sini! Kita bukan komprador! Kita prajurit sejati!”

Pada malam-malam hari sang Jenderal sering berkeliling mengunjungi para prajurit yang berjaga. Ketika telah larut malam ia kembali ke rumah dinasnya yang sederhana, sebelum tertidur biasanya pikirannya melayang ke mana-mana memikirkan negaranya. Air matanya sering meleleh, merasa salah tidak mampu berbuat apa-apa untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan panjang. Setelah lepas dari kolonialisme, masuk ke mulut nekolim.

Ingat arloji Jenderal Moeldoko jadi ingat arloji letnan jenderal Soponyono. Arlojinya bermerek Kancil, buatan sebuah pabrik di Sidoarjo. Pabriknya kini sudah hilang, terendam lumpur Lapindo. Arloji merek Kancil dibandrol harga rata-rata Rp 100 ribu. Sang Jenderal punya banyak koleksi arloji cap Kancil. Biasanya kalau ada prajurit bawahannya yang pensiun atau dipensiunkan, ia memberi kado berupa arloji cap Kancil itu, dibungkus dalam kotak rapi, di dalamnya ditulis pesan, “Salam Prajurit! Ingat bahwa kita prajurit sejati, bukan prajurit imitasi! Arloji ini murah, tapi asli, sejati, bukan arloji imitasi! Ini adalah lambang waktu. Waktu adalah kedisiplinan! Kita tidak akan mampu memalsu waktu, meski mampu memalsu jarum arloji! Jika waktumu habis dalam TNI, tapi tak pernah kehabisan waktu mengabdi kepada negara hingga tutup usia!”

Sang Jenderal tidak mau membeli arloji bermerek palsu hanya untuk mengesankan bahwa ia tampak elegan. Memalsu merek itu melanggar hukum negara, bahkan menentang hukum universal, sebab sebagai bentuk kecurangan global. Menggunakan produk bermerek palsu secara sadar, bukan karena ketidaktahuan, adalah perbuatan yang turut mengabadikan kejahatan universal itu. Pancasila mempunyai nilai-nilai adiluhung yang tidak memungkinkan mengizinkan bangsa Indonesia terlibat melakukan perbuatan yang bersifat mengabadikan kejahatan itu.

Suatu hari sang Jenderal yang sederhana itu berkunjung ke kos putrinya yang kuliah di sebuah universitas swasta di Surabaya. Ia kaget bertemu dengan putrinya yang mengenakan arloji bermerek mahal. “Ning, kamu dapet uang dari mana arloji itu? Jangan mempermalukan keluarga kita! Kita bukan keluarga borjuis!”

Putri sang Jenderal dengan senyum santai menjawab, “Tenang Pak! Ini palsu kok. KW.”

“Kamu dengan membeli arloji palsu itu berarti turut mengabadikan kejahatan kecurangan. Bukannya kamu tahu memalsu merek itu kejahatan? Lalu kenapa kamu beli produk hasil kejahatan?” sang Jenderal berusaha mendebat anak sulungnya itu.

“Hukum siapa Pak itu? Memang itu undang-undang. Undang-undang untuk siapa? Undang-undang untuk melindungi siapa? Pemilik merek mahal itu siapa? Mereka adalah korporasi yang cuma berbekal merek mampu menghipnotis masyarakat di dunia agar mau membeli merek yang belum tentu punya kualitas memadahi, menjadikan banyak orang menjadi bodoh mau mengeluarkan uang banyak demi membeli hayalan, agar dihayalkan banyak orang bahwa ia adalah orang berkelas! Menurutku korporasi begitu adalah penjahat global yang mampu mempengaruhi negara-negara di dunia untuk membuat hukum yang melindungi kekayaan intelektual mereka yang bersifat tahayul penuh kebohongan itu...!”

“Cukup!” sang Jenderal ingin menghentikan perdebatan dengan anaknya. Ia lalu mengajak putrinya itu ke sebuah toko arloji. “Bapak pengin beli arloji merek lain yang tidak palsu. Merek dalam negeri, yang murah sajalah. Arloji merek Kancil yang biasa ayah beli sudah nggak ada di pasaran, sebab pabriknya sudah bankrut akibat lumpur Lapindo.”

........

Baiklah, cukup itu dulu kisahnya. Saya harus bekerja di Pengadilan hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun