Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Independensi Pers dalam Pilpres

7 Juni 2014   19:08 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menonton acara-acara politik di TV One dapat merasakan nuansa bertolak belakang dengan tontonan politik di Metro TV. Begitulah yang juga menjadi gosip di media sosial. TV One milik Grup Bakrie lebih banyak menyanjung pasangan Prabowo – Hatta Rajasa, sedangkan Metro TV lebih banyak bernuansa menyanjung pasangan Jokowi – Jusuf Kalla. Begitu pula ada rasan-rasan di media sosial dalam menilai nuansa berita koran-koran Jawa Pos, Kompas, Tempo, dan Surya serta berbagai media internet.

Meskipun pers di Indonesia terkadang masih mengalami intimidasi dan kekerasan, namun dilihat dari praktik kebebasan pers yang ada, saya berpendapat bahwa kita telah mengalami era kemerdekaan pers. Indikasinya adalah bahwa berita-berita media massa sudah tidak lagi mengenal “ketakutan.” Itu juga karena yurisprudensi dalam hukum pers telah menjamin sedemikian rupa tidak boleh ada kriminalisasi kepada pers (imunitas yuridis terhadap pers).

Jika kita tengok isi UU No. 40/1999 tentang Pers (UU Pers), tidak ada prinsip eksplisit tentang independensi pers. UU Pers muncul sebagai reaksi cepat reformasi, setelah puluhan tahun, sejak zaman Bung Karno, pers dibelenggu tangannya agar tidak bergerak bebas. Suara UU Pers adalah suara kebebasan alias kemerdekaan pers sebagai bagian dari HAM.

Dalam konsideran huruf c UU Pers terdapat prinsip larangan intervensi (campur tangan) dan paksaan dalam bentuk apapun kepada pers. Ini harus menjadi kata kunci tentang pers yang independen, meskipun prinsip ini secara konstitusional masih harus dipertegas dengan undang-undang organiknya yang memuat sanksi apa yang patut dan adil terhadap pelanggaran norma independensi pers tersebut.

Intervensi tidak hanya berbentuk intervensi kekuasaan politik, pejabat atau lembaga negara/pemerintahan, ancaman-ancaman para penguasa informal serta masyarakat, perintah-perintah pemilik perusahaan pers, tapi juga intervensi dalam bentuk iming-iming atau pemberian kekayaan, jabatan atau bentuk-bentuk yang dipandang sebagai kenikmatan.

Dalam tingkatan tertentu, intervensi dalam bentuk pemberian kekayaan bisa lebih berbahaya dibandingkan ancaman terhadap kehidupan (ancaman bunuh). Orang yang hidup susah mungkin tidak takut mati, tapi imannya bisa roboh ketika di depan matanya diletakkan cek atau giro atau tuyul atau faktor apa saja yang bisa membuatnya kaya mendadak.

Dalam Kode Etik Jurnalistik ditentukan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan. Kode Etik Jurnalistik juga memuat prinsip anti suap agar tidak mempengaruhi obyektivitas.

Penggunaan media massa sebagai sarana kampanye atau sebagai alat kepentingan politik ataupun sebagai juru bicara kekuasaan ekonomi bukanlah hal yang baru dalam era modern. Pembelian saham-saham perusahaan media massa oleh para konglomerat tidaklah semata-mata karena prospek bisnis media, tapi juga dalam rangka kepentingan kebesaran bisnis dominannya. Media-media dalam Grup Bakrie contohnya kurang kritis terhadap persoalan lumpur Lapindo.

Begitu pula keberpihakan politik para bos media massa mempunyai pengaruh terhadap independensi media massa tersebut. Apakah Dewan Pers akan menindaklanjuti fakta-fakta indikasi pelanggaran etika independensi tersebut? Ataukah jangan-jangan para anggota Dewan Pers juga ikut larut dalam blok-blok politik jelang pilpres ini?

Sesungguhnya media massa dilahirkan di dunia ini dengan tugas sebagai kekuatan rakyat yang berusaha mengontrol kekuasaan. Itulah jiwa hukum pers. Orang modern menyebut pers sebagai pilar ke-empat negara demokrasi. Seluruh pilar negara demokrasi bukanlah lembaga-lembaga partisan, melainkan lembaga-lembaga yang tegak tanpa memihak golongan apapun dalam bernegara. Jika pers telah memihak kepada golongan politik tertentu, tentu saja pers tersebut hanya mau memperkuat bangunan golongannya, bukan bangunan negara.

Dalam bernegara, tetap dibutuhkan kekuatan-kekuatan rakyat nonpartisan. Secara institusional TNI dan Polri, media massa (pers), kampus-kampus, LSM/NGO dan warga yang menjaga jarak dari kekuasaan merupakan kekuatan rakyat nonpartisan dengan tujuan tetap mampu melakukan kontrol terhadap golongan-golongan politik yang memenangkan pemilu dan berkuasa. Warga nonpartisan inilah pula yang akan menjadi kekuatan penyeimbang yang mengingatkan golongan-golongan politik yang berlawanan kepentingan agar mereka tidak menjurus pada perpecahan dalam bernegara.

Kita dapat melihat para terpelajar yang telah masuk dalam blok dukung-mendukung para capres yang ada sudah tidak peduli lagi dengan persoalan independensi pers. Mereka tidak menyoal jika media massa condong kepada capres yang didukungnya dan memberitakan keburukan-keburukan capres lawannya. Dari sini saja dapat dilihat betapa “berpikir adil” itu sulit ditemukan dalam blok-blok politik tersebut.

Golongan-golongan politik di masa kemerdekaan berbeda dengan golongan-golongan politik di masa kolonial dahulu. Di masa penjahahan, semua golongan politik mempunyai cita-cita yang sama, yakni memerdekakan negara. Mereka tak hanya berdiplomasi, tapi juga mengangkat senjata melawan penjajah. Perbedaan ideologi dan metoda perjuangan menyebabkan mereka berbeda partai politik. Banyak pula pejuang, dikenal atau tak dikenal, juga tidak turut mendukung parpol ini atau itu.

Itu berbeda dengan semua kelompok politik yang ada di zaman kemerdekaan saat ini, prioritasnya adalah meraih kekuasaan. Cita-cita menyejahterakan rakyat mungkin hanya menjadi slogan manis dalam setiap kampanye, sebab dalam kenyataannya masih langka politisi yang benar-benar berjuang dengan nyawa dan hartanya untuk menyejahterakan rakyat. Bagi-bagi kue kekuasaan kepada entitas-entitas yang dianggap berjasa dalam upaya merebut kekuasaan sudah menjadi tradisi. Tidak semua fakta itu terungkap ke permukaan.

Negara ini berdiri dalam keadaan masih jauh dari sempurna. Kita sama dengan bangsa-bangsa berkembang lainnya yang masih harus terus berjuang lepas dari belenggu hegemoni nekolim. Kita mengalami pemerintahan partikrasi dan korporatokrasi. Segala sesuatu dikendalikan uang. Perusahaan pers juga dibeli para konglomerat.

Jika pers ikut-ikutan masuk dalam rivalitas kekuasaan - yang tak lain tak bukan berada di wilayah nekolim yang menyusun partikrasi dan korporatokrasi - lalu apakah berarti tugas pers sudah usai sebagai pilar negara demokrasi, di mana akhirnya pers menjadi bagian kekuatan politik partisan?

Adakah para jurnalis pejuang yang telah mandiri dengan ekonomi mereka, menjalankan profesi pers bukan sebagai alat untuk mencari nafkah, sehingga perusahaan pers tidak harus mau dibeli oleh penguasa uang yang lalu mudah dimasukkan ke dalam golongan politik tertentu? Bagaimana cara menyusun itu? Itu hal yang perlu dipikirkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun