Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

KPK, Bangunlah, Jangan Impoten!

28 Februari 2015   20:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:21 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyatakan tidak mau menerima kasasi yang diajukan KPK, terhadap putusan Hakim Sarpin Rizaldi. Selanjutnya KPK juga menyatakan tidak akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK). Kebetulan telah terjadi penggantian struktur kepemimpinan KPK, di mana Taufiqurrahman Ruki ditunjuk presiden Jokowi sebagai Ketua KPK. Ruki rupanya sedang merujukkan KPK dengan Mabes Polri.

Putusan Hakim tunggal Sarpin Rizaldi yang mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan (BG) dipandang berada di luar aturan menurut KUHAP. Namun tidak sekadar itu. Pertimbangan hukum yang diambil menggunakan tafsir yang keluar dari tafsir undang-undang Kepolisian itu sendiri. Di sisi lain, putusan Hakim Sarpin menjadi preseden yang akan merusak sistem hukum.

Selain kepolisian, kejaksaan dan pengadilan akan disibukkan dengan upaya hukum praperadilan oleh para tersangka, bagaimana jika segala tindakan dalam rangka penyidikan dan penuntutan semuanya dipraperadilkan? Jangan-jangan nanti ada orang yang dipanggil sebagai saksi dalam perkara pidana, akan mempraperadilkan keputusan penyidik yang memanggil saksi tersebut dengan alasan keabsahan (ketidaksahan)?

Jangan-jangan nanti ada tersangka mengajukan praperadilan dengan alasan pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) tidak sah karena penyidik dalam memeriksa sambil merokok sehingga dianggap mengabaikan HAM tersangka? Kacaulah hukum acara pidana gara-gara seorang Hakim Sarpin yang membuat terobosan negatif dalam hukum acara pidana.

Pertanyaannya, apakah KPK sebagai salah satu lembaga negara harus menyerah dengan putusan Hakim yang bersifat menerobos hukum secara negatif itu? Mengapa KPK tidak maksimum dalam upayanya untuk merobohkan preseden negatif itu? Belum apa-apa sudah menyerah? Ada apa dengan KPK “baru” ini?

Terbosan dalam hukum acara pidana

Hukum Acara Pidana memang mengalami perkembangan. KUHAP sudah beberapa kali diterobos. Contohnya, upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas itu melanggar Pasal 244 KUHAP. Upaya hukum PK oleh Jaksa Penuntut Umum juga dilakukan dengan cara menafsirkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang kurang jelas artinya itu. Tapi terobosan-terobosan hukum tersebut bersifat positif, guna membangun hukum. Kasasi terhadap putusan bebas muncul ketika terdakwa korupsi Bank Bumi Daya (BBD) sekitar tahun 1980-an dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga muncul Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 yang menentukan dimungkinkannya kasasi terhadap putusan bebas.

Itu dilakukan negara demi pertimbangan keadilan dan kebenaran yang dalam asbabunnuzul (konteksnya) adalah upaya pemberantasan korupsi zaman Orde Baru itu. Dalam asas hukum perundang-undangan tentu KUHAP lebih tinggi daripada Keputusan Menteri. Tapi itu diterima menjadi praktik hukum acara pidana dan putusan MA No. 275 K/Pid.1983 menjadi yurisprudensi tetap. Sampai sekarang, jika ada putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan para terdakwa (termasuk terdakwa korupsi), Penuntut Umum dapat mengajukan upaya kasasi.

Tapi apa yang diputuskan Hakim Sarpin itu bersifat destruktif, merusak hukum. Hakim Sarpin mengamputasi organ Kepolisian, dalam jabatan tertentu dikatakan bahwa polisi bukan penegak hukum. Ini benar-benar merusak. Hakim Sarpin menyatakan bahwa BG pada saat menerima hadiah (gratifikasi), bukanlah penyelenggara negara dan bukan penegak hukum, sehingga penanganan perkara Komjen BG tidak menjadi kewenangan KPK. Berdasarkan alat bukti yang dimiliki KPK, Komjen BG selaku Kepala Biro Pembinaan Karier Polri pada 2003-2006 dan jabatan lain di Polri diduga menerima hadiah atau gratifikasi. Pada 2010, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengeluarkan catatan tidak wajar atas rekening Budi.

Apakah benar BG pada saat kurun waktu tahun 2003 – 2010 itu benar bukan penegak hukum? Pada waktu itu masih berlaku UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI. Pasal 3 undang-undang tersebut menentukan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbingan masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.

Penjelasan Pasal 20 UU No. 28 Tahun 1997 tersebut, dan penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 2 Tahun 20o2 sebagai pengganti UU No. 28 Tahun 1997, juga mengistilahkan anggota Kepolisian atau pejabat Kepolisian  “mengabdikan diri sebagai alat negara penegak hukum.” Hakim Sarpin membayangkan bahwa jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir Polri itu bukan jabatan penegak hukum, tapi jabatan administratif. Tentu saja itu sesat. Pertama, hakim Sarpin melihat BG saat itu seolah berada di luar fungsi lembaga Polri. Kedua, Sarpin lupa bahwa BG dalam jabatannya sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Polri juga bertugas menegakkan hukum administrasi di lembaganya, sebab BG adalah seorang perwira atasan.

Dalam jabatan di bironya tersebut tidak menutup kemungkinan ia ditugaskan melakukan penegakan hukum di luar bironya sebagai penyidik. Bahkan dalam jabatannya sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Polri waktu itu, BG adalah atasan para penyidik dan atasan para penyidik pembantu. Statusnya sebagai “anggota Polri aktif” menyebabkan ia tak pernah kehilangan fungsi sebagai penegak hukum. Itu merupakan hakikat bahwa para anggota Kepolisian menjalankan fungsi Kepolisian.

Pertimbangan hukum Hakim Sarpin tersebut menjadi bahan guyonan di media sosial. Mereka menulis, “Jika nanti ada polisi lalu lintas menilang kita di jalanan, kita bisa mengatakan bahwa Pengadilan telah memutuskan perwira polisi bukan lagi penegak hukum, apalagi anggota polisi yang bukan perwira! Jadi, mulai sekarang nggak ada lagi tilang!”

Putusan Sarpin tersebut juga dijadikan bahan candaan para advokat dan aktivis hukum. Kata mereka, setelah ini para advokat akan kebanjiran job, sebab akan makin banyak tersangka yang mengajukan praperadilan. Hal itu akan membuat Pengadilan dan Kepolisian menjadi lebih menderita karena menjadi lebih sibuk mengurusi praperadilan.

Intinya, putusan Hakim Sarpin menjadi bahan olok-olok. Dunia hukum yang masih tampak hitam kini kian dijadikan bahan tertawaan dan makin kehilangan kewibawaan. Putusan Hakim Sarpin telah dianggap keburukan hukum dan ditertawakan masyarakat. Kegelian masyarakat itu bukanlah ketidaktahuan terhadap hukum, tapi justru melihat kegagalpahaman penegak hukum terhadap hukum itu sendiri.

Tapi di sisilain memang tampaklah Hakim Sarpin tidak bermaksud membuat konklusi bahwa BG tidak korupsi. Hakim Sarpin menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara gratifikasi yang diterima BG tersebut. Sarpin menyatakan bahwa perbuatan menerima hadiah atau janji tidak dikaitkan dengan timbulnya kerugian terhadap negara karena perbuatan tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Perbuatan yang diduga dilakukan oleh BG(menerima hadiah dalam jabatan) tidak menyebabkan kerugian negara. Dengan pertimbangan tersebut maka menurut Hakim Sarpin pasal UU KPK (tentang kewenangan KPK) tidak terbukti (Kompas.com, 16/2/2015).

Ketika Sarpin menyatakan “perbuatan tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan”, maka seolah Sarpin hendak menyampaikan pesan: “Perkara ini memang bukan kewenangan KPK untuk mengusut, tapi perbuatan BG tersebut terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan.” Hakim Sarpin memang tidak menilai pokok perkaranya, tidak menilai apakah terbukti atau tidak BG melakukan korupsi dengan menerima gratifikasi, karena pemeriksaan praperadilan tidak menilai pokok perkara.

Jika KPK tidak berwenang memeriksa perkara BG tersebut, tentu ada lembaga lain yang berwenang memeriksa, entah itu Kepolisian sendiri atau Kejaksaan. Dalam perkara korupsi, KPK tetap berwenang melakukan supervisi kepada Kepolsian dan Kejaksaan yang memeriksa perkara korupsi. Jika selanjutnya ada upaya melindungi pelaku korupsi atau penangangannya berlarut-larut, maka KPK dapat mengambil-alihnya. (Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 UU KPK).

Lalu mengapa Hakim Sarpin nekat mengabulkan permohonan praperadilan yang diakukan oleh BG? Padahal sudah ada contoh putusan praperadilan dalam perkara pidana manajemen Chevron yang berakibat buruk bagi hakimnya. Bisa jadi Hakim Sarpin juga merasa terancam dengan perasaannya sendiri. Sarpin melihat orang-orang yang menyoal kasus BG satu persatu dilaporkan pidana ke Polri. Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, penyidik KPK Novel Baswedan, semua disikat/dipidanakan.

Jika Hakim Sarpin menolak permohonan praperadilan itu, jangan-jangan ia juga akan dicari-cari kelemahannya dan ditersangkakan? Sarpin mungkin memilih lebih baik dijatuhi sanksi administratif oleh MA daripada dipidanakan oleh polisi. Sanksi administratif tidak membuat ia dipenjara, tapi sanksi pidana penjara bisa mengarah ke pemberhentian jabatannya.

Melawan Putusan Hakim Sarpin

Sekarang, bagaimana KPK melawan putusan Hakim Sarpin itu? Menurut hukum acara pidana, terhadap putusan pra peradilan memang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi. Dasar hukumnya adalah Pasal 45A ayat (1) dan Pasal 45A ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c UU MA, yakni UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 terakhir diperbarui dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.

Putusan MA No. 123 PK/Pid/2010 juga menyatakan tidak menerima upaya hukum PK dalam perkara praperadilan, tapi Hakim Agung menggunakan dasar hukum pembatasan kasasi menurut Pasal 45 UU MA tersebut. Artinya, upaya hukum PK dalam perkara praperadilan belum mempunyai dasar hukum tersendiri.

Namun, karena Hakim Sarpin telah menerobos hukum acara pidana menurut KUHAP dengan merusak hukum, apa salahnya juga KPK juga melakukan terobosan dengan mengajukan PK? Meskipun putusan MA sebelumnya tersebut tidak menerima upaya PK terhadap putusan praperadilan, tetapi dengan pertimbangan yang khusus tersebut tak ada salahnya KPK tetap berusaha.

Upaya hukum PK terhadap putusan praperadilan tentu tidak menggunakan dasar hukum Pasal 263 KUHAP, sebab upaya PK di sini tidak terkait dengan peradilan pokok perkara suatu tindak pidana.  Dasar hukum Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dipergunakan, yakni Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.

Dalam Lampiran Surat Edaran MA No. 4 Tahun 2014, yakni dalam Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Pidana – Cakra, ditentukan oleh MA: “Peninjauan Kembali terhadap Praperadilan tidak diperbolehkan kecuali dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum.” Artinya, upaya hukum PK akan diterima oleh MA dan selanjutnya MA yang akan memutuskan apakah terdapat penyelundupan hukum. Jadi, mengapa KPK membuang kesempatan baik untuk membangun hukum dengan membongkar penyelundupan hukum dalam putusan praperadilan oleh Hakim Sarpin itu?

Rakyat Indonesia yang melihat hukum berada dalam kubang kebobrokan dan tak pernah terentas ini tentu mempunyai harapan besar, bahwa meski bukan dewa dan mungkin manusianya juga tak luput dari kesalahan, KPK haruslah tetap kuat. Jika KPK ikut ambruk diamputasi kewenangannya oleh seorang hakim, apa lagi yang dapat diharapkan? Apakah rakyat harus menjalankan hukum dengan tangan mereka sendiri ketika para penegak hukum tak ada lagi yang dapat dipercaya? KPK, jangan impoten! Bangunlah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun