Mohon tunggu...
Jasen
Jasen Mohon Tunggu... Penulis - Lah iya juga

Yaudah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hilangnya Sang Martir Reformasi: "Di Mana Wiji Thukul?"

15 Oktober 2019   14:55 Diperbarui: 16 Oktober 2019   13:16 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Siapa yang belum pernah mendengar karya sastra tersebut? Bahkan mungkin Sang Penyairnya pun telah lama tidak mendengar karyanya tersebut di atas bumi Nusantara ini. 

Ya, Wiji Thukul seorang maestro yang tak kenal masa baik malam rembulan tetap lantang dalam mengkritik kebijakan dan kondisi Negara yang dipimpin Rezim Soeharto, beliau bukanlah seorang politisi yang duduk di Gedung Hijau namun suara beliau lebih lantang dari suara mereka yang katanya 'wakil rakyat', Ialah juga menjadi satu dari sekian banyaknya korban penculikan ketika mereka tidur di bawah langit malam mengharap keadilan di negeri ini. 

Wiji lahir 23 Agustus 1963 di Solo umurnya masih bisa dibilang cukup produktif pada saat peristiwa 98. Sepak terjangnya dimulai saat dia Ikut berdemonstrasi yang memprotes pencemaran Limbah Tekstil di Solo.

Dia juga ikut berkontribusi dalam memelihara budaya rakyat dan menuangkan semua karya sastranya dengan bergabung di Lembaga JAKKER serta pernah Mendapat Kehormatan untuk membacakan karya sastranya di Kedubes Jerman pada tahun 89. 

Namun kini Jejaknya hilang di dalam rimba karena karya sastranya dianggap menghipnotis para aktivis untuk semakin berani menentang rezim, Namun hal tersebut yang meyakinkan rakyat bahwa beliau masih memiliki peninggalan karyanya dan tidak akan pernah binasa, raganya mungkin telah melebur dengan tanah namun karya dan suaranya akan terus menjalar di sepanjang bumi Nusantara 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun