Mohon tunggu...
Oktarano Sazano
Oktarano Sazano Mohon Tunggu... -

pencari hikmah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nona Tidak Pulang Malam Ini, Mama

16 Februari 2011   14:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:32 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_90368" align="aligncenter" width="436" caption="Arfai, Pasir Putih, dan Lemon"][/caption] Santa Imanuel dan laut biru. Mama yang berdiri di atas bukit adalah Dorey. Di matanya gunung-gunung menjadi kepala burung kasuari surga. Lama Nona tak berpulang, Mama rindu kalian semua. Air mata Mama hitam seperti warna puting susunya yang layu. Tempat kami menyusu beratus-ratus hari lamanya. Kami anak-anak emas cerita Bapa kepada orang-orang laut karena air susu Mama adalah emas dan safana yang menguning. Bapa pula yang menerima pinangan mereka, orang-orang laut, saat nona masih belia. Bapa mengenal mereka saat layarnya menyentuh terbit matahari dan terjal ombak menghempas. Kami menciap riang saat kaken diletakkan di atas lantai ruang tengah. Mama yang diam menyerahkan berkalung-kalung manik-manik dengan tangannya sendiri kepada mereka, orang-orang laut. Di bawah ketiaknya, Nona meletakkan kedua belah tangan di dada. Bapa menunjukkan lima jari kepada orang-orang laut,lima tahun lagi ko datanglah.Bawalah gelang-gelang dari kulit kerang pulau kalian dan perahu layar berwarna biru terang. Lima tahun tidak lama.Nona menjelma menjadi Mama dalam kemudaannya.Liat hitam tubuh dan putih mutiara di pulau bibirnya yang menghati.Halus lekuk rambut yang menikung disetiap sudut dan lentik mata yang menggoda. Ko panggilah Yosefina,ucap Bapa, ada yang ingin Bapa sampaikan. Nona menjerit kepada langit.Terik siang dan pecah awan. Kayu-kayu rumah berderak-derak berbicara pelan pada kami yang meringkuk di balik-balik pintu. Nona menolak disauhkan pada laut, pada hati ia telah bertaut pada gunung tempat sungai cintanya menganak dan bermuara di lembahnya. Lelaki gunung yang membawa malam kelam. Menyelimuti pelarian yang rahasia. Tapi Nona tidak membawa apapun yang berharga saat kapal kecil perahu korek membawanya pergi dari Mama  melalui pulau pulau yang tak bisa di eja karena malam membuta. Tak ada lagi dermaga, tak ada lagi Lemon, tak ada lagi Mansinam. Hanya janji, lelaki gunung akan menebar daratan pada ujung perjalanan. [caption id="attachment_90367" align="aligncenter" width="432" caption="Dermaga dan Mansinam"]

1297863998655046361
1297863998655046361
[/caption] Mama yang nona tinggalkan menangis bersama Bapa. Rumbia dan sagu yang kami tanam sudah berbunga di halaman belakang dan besok orang-orang akan berpesta membakar batu dan umbi tetapi Nona tak kunjung datang. Orang-orang laut berlabuh kembali membawa tetua adat suku dan segala macam kebutuhan pernikahan mulai dipersiapkan satu minggu menjelang hari pernikahan dilaksanakan. Mereka meracau tentang hari baik, gelang, kalung, serta ikat pinggang dari manik-manik. Mereka sebut tombak, panah, serta parang sebagai pertanda. Sudah mereka siapkan cerutu untuk dihisap kedua mempelai dan umbi di halaman depan akan dibakar, satu untuk Nona dan satu untuk lelaki laut. Bapa membisikkan pada Tetua Adat bahwa Nona tiada, undurlah pernikahan sampai Nona kembali. Orang-orang laut meradang, doa dan mantera adalah restu kepada Tuhan kata mereka. Jika ini batal maka akan datang kutukan. Tak akan ada ubi untuk suapan jika Nona tidak kembali. Mama yang galau meniupkan mantera pada hutan-hutan Arfai dan Arfak. Tapi nona telah lama pergi Mama, jalan pulang pun tak bersetapak. Di tempat dimana beribu-ribu kunang-kunang neon mematung Nona menjejak kaki. Ko cabutlah tanaman-tanaman penghalau setan di pekarangan, bisik Mama pelan, karena jiwa tidak berumah. Santa Imanuel dan laut biru. Laju Mama, laju melarung diri dalam desah nafas yang semakin beku. Dan Bapa, meregang nafas di atas kaki seribu. Seribu harap agar Nona kembali. Tiada yang kembali. Manokwari, Februari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun