Mohon tunggu...
Oktarano Sazano
Oktarano Sazano Mohon Tunggu... -

pencari hikmah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Hiking di TWA Gunung Meja (2)

28 Januari 2011   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:07 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyempatkan kembali hiking di TWA Gunung Meja sudah kami rencanakan jauh hari. Pada minggu sebelumnya (baca kembali : Hiking di TWA Gunung Meja (1) saya dan renthousemate-ku sudah menyusuri jalan utama di sepanjang taman wisata ini. Kami berharap dapat menemukan hal-hal menarik lagi dari lahan seluas 460 Ha yang merupakan hutan tropis. Perjalanan kami mulai kembali Sabtu 15/01/2011 pukul 06.30 WIT. Pagi tidak terlalu bersahabat karena dingin masih menyergap dan awan menutup cahaya matahari. Kali ini saya tidak terlalu membawa banyak makanan, belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa jarak tempuh perjalanan hanya menghabiskan waktu 3-4 jam saja. Sebotol air Mineral, dua teh kotak , dan satu bungkus biskuit akan menjadi santapan selama hiking nantinya. Kami sudah memutuskan untuk mencoba jalan-jalan alternatif yang mungkin telah digunakan pengunjung sebelumnya untuk melihat sisi lain keindahan dari taman ini. Jalur-jalur yang tidak sebesar jalur utama, beberapa hanya terlihat seperti jalan tanah saja. Untungnya renthousemate-ku sudah berpengalaman melakukan pendakian sehingga saya tidak kuatir dengan “jalan manusia” ataupun “jalan air” , dua ungkapan yang menunjukkan jalan setapak pada saat pendakian yang mungkin mengecoh bagi pemula seperti saya. Tentu saja, kita harus mengikuti jalan manusia bukan sebaliknya. [caption id="attachment_87382" align="aligncenter" width="442" caption="sketsa rute TWA Gunung Meja Manokwari"][/caption] Kami mencoba untuk mulai memilih jalur alternatif pertama. Hampir semua jalur alternatif berada pada sisi kanan jika kita memulai perjalanan dari pintu masuk utama dari jalan Brawijaya. Jika memulai dari Jalan Tugu Jepang atau jalan keluar maka jalur alternatif ada di sebelah kiri. Jalur alternatif ini tidak terlalu sempit, cukup luas dan kami berharap dapat menemukan sesuatu di sana. Jalan berupa tanah dan dedaunan mati membusuk. Kami baru sadar, saat lembab dan tanah basah, kaki seribu menjadi raja di permukaan tanah. Kami menemukan puluhan binatang melata ini di jalur yang pertama dengan ukuran yang beragam, rata-rata sebesar jari telunjuk orang dewasa. Saya geli juga campur kuatir kalau kaki saya menginjak kulit luar mereka karena banyak yang tersembunyi di balik dedaunan. [caption id="attachment_87383" align="aligncenter" width="442" caption="kaki seribu di TWA Gunung Meja"]

12961743961965019041
12961743961965019041
[/caption] Saya bercanda dengan renthousemate-ku , sebaiknya TWA ini disebut kerajaan Kaki Seribu mengingat berlimpahnya hewan berwarna coklat mengkilap di dalamnya

Jamur-Jamur Cantik

Hujan di akhir tahun juga merupakan waktu tumbuhnya jamur-jamur. Jamur yang kami lihat banyak tumbuh dari kayu-kayu yang membusuk atau tumbang . Tamanan ini memiliki warna dan bentuk yang menarik. Seperti jamur kayu yang kami lihat. Jamur berbentuk kipas dan menempel di kayu. Jamur ini tidak memiliki batang untuk menopang payungnya, seperti lazimnya jamur biasa. Jamur muda memiliki list putih mengikuti kontur tepi jamur. Sedangkan jamur yang telah dewasa , selain memiliki ukuran yang lebih besar, warna putih menjadi lebih keruh dengan semburat kuning kehijauan dan semakin gelap pada pangkal kipas. Jamur ini mudah ditemui karena ada pada hampir semua batang kayu yang membusuk dan biasanya ditemui secara berkelompok dengan jarak yang dekat. Jamur ini mungkin bergenus Ganoderma. Ganoderma berasal dari bahasa Yunani yang berarti ganos/bercahaya dan derma/kulit. Jamur muda kenyal dan empuk sedangkan jamur dewasa makin lama makin keras. Beberapa jenis Ganoderma seperti Ganoderma Lucidum (Jamur Lingzhi) memiliki khasiat yang luar biasa dalam pengobatan herbal. Jamur ini disebut-sebut mampu membunuh sel-sel kanker karena memiliki kadar oksigen yang tinggi. [caption id="attachment_87384" align="aligncenter" width="442" caption="jamur kayu di TWA Gunung Meja"]

1296174125722092704
1296174125722092704
[/caption] Jamur lain yang kami lihat adalah jamur berwarna putih, mulai dari batang sampai dengan payung. Bagian bawah payung berbuku-buku. Jamur ini tidak tumbuh berkelompok namun secara satuan. [caption id="attachment_87385" align="aligncenter" width="442" caption="jamur di TWA Gunung Meja"]
1296174536428785154
1296174536428785154
[/caption] Jamur cantik lainnya adalah jamur yang menyerupai sebuah kipas yang dibuat melingkar sehingga menyerupai mangkok. Ukurannya sebesar telapak tangan dengan payung jamur. Setelah kami lihat dari dekat ternyata jamur tersebut merupakan dua pasang yang berpasangan sehingga membentuk mangkok. [caption id="attachment_87387" align="aligncenter" width="442" caption="Jamur di TWA Gunung Meja"]
12961759071090522593
12961759071090522593
[/caption] Jamur unik lainnya seperti jamur satu ini. Payung atas dihiasi topping warna hitam yang terlihat lembek, sedangkan batang berwarna abu-abu dan bagian bawah payung berwarna putih. Renthousemate-ku berujar kalau jamur ini seperti “tahi” mengingat warna hitam di atas payung menyerupai kotoran hewan. [caption id="attachment_87391" align="aligncenter" width="442" caption="jamur di TWA Gunung Meja"]
1296176656335370149
1296176656335370149
[/caption] Ada juga jamur berwarna merah muda. Payungnya seperti bantalan earphone dengan batang putih yang kecil. Jamur ini juga tumbuh satuan meskipun beberapa lainnya tumbuh dalam jarak dekat. [caption id="attachment_87392" align="aligncenter" width="442" caption="jamur di TWA Gunung Meja"]
1296176739203134356
1296176739203134356
[/caption] Sayangnya, kami bukan ahli tanaman jamur dan juga pengobatan tradisional. Kami tidak mengetahui jamur yang aman untuk di konsumsi atau digunakan untuk meracik obat yang . Jika anda berminat mungkin sebaiknya mengetahui jamur-jamur yang biasa digunakan oleh penduduk lokal yang di jual di pasar tradisional. Manokwari memiliki dua pasar tradisional yang dapat menjadi rujukan yaitu Pasar Sanggeng dan Pasar Wosi. Jalan alternatif pertama tidak terhubung kemanapun, alias buntu. Jaraknya dari jalur utama sampai dengan ujung jalan hanya sekitar dua puluhan meter. Ini pertanda kami harus mencoba jalur alternatif lainnya. Jalur kedua sama seperti jalur pertama, berupa jalan setapak yang lebar. Agak ke dalam , kami menemukan bekas perapian. Bagi mereka yang bermalam di TWA ini mungkin memiliki banyak motif, antara lain melakukan pengamatan burung hantu atau sekedar untuk menikmati suasana hutan di malam hari. Jalan alternatif kedua juga tidak terlalu dalam dan buntu. Jaraknya hanya tigapuluhan meter dan cukup luas sehingga memungkinkan untuk beberapa orang untuk bermalam di sini. [caption id="attachment_87393" align="aligncenter" width="442" caption="sisa perapian"]
12961768291631385338
12961768291631385338
[/caption]

Monumen Tugu Jepang

Kami berbalik kembali ke jalur utama. Beberapa puluh meter ke depan ada jalur beraspal ke arah kanan. Minggu sebelumnya kami belum mencobanya karena kuatir tersesat. Di ujung jalan ini kami melihat sebuah tanah lapang dengan kawat berduri dengan sebuah gazebo serta gapura menuju sebuah monumen berbatu. Jalan terlihat lengang, jalan semen menuju monumen bertaburan daun dan biji pepohonan. Seperti lama sudah tidak dikunjungi orang. [caption id="attachment_87416" align="aligncenter" width="442" caption="monumen tugu Jepang di TWA Gunung Meja"]

12961819191843477257
12961819191843477257
[/caption] Saya bergegas menuju kesana. Tempat ini mungkin yang dimaksud dengan monumen peninggalan Perang Dunia Ke II di Manokwari.Alhasil, perkiraan kami benar. Gapura dengan bentuk rumah tanduk menghantar kami ke monumen batu granit yang bertuliskan : “Memorial Erected in 1956 by the Japanese Government for the Japanese who fell in World War II”. [caption id="attachment_87417" align="aligncenter" width="442" caption="Tanda Peringatan Jepang di TWA Gunung Meja"]
1296181976593394476
1296181976593394476
[/caption] Di depan monumen ini saya tertegun. Lokasi monumen menghadap langsung ke arah teluk Dorey dan mata telanjang pun bisa memantau aktivitas pelosok kota. Tempat ini memang daerah yang tepat untuk melakukan pengintaian. Saat perang pasifik terjadi, beberapa tempat di Papua memang menjadi markas bagi tentara Jepang saat penguasaan di Indonesia. Di Biak, ditemukan banyak monumen Jepang untuk menghormati kematian para serdadu mereka pada saat Perang Dunia ke II. Bertahun-tahun setelah perang usai, di Biak, banyak ditemukan tulang belulang serdadu Jepang tertimbun dalam gua-gua. Bom-bom Napal tentara sekutu mungkin mengubur mereka dalam gua tersebut dan kekurangan oksigen di dalamnya. Monumen ini memiliki ikatan emosional yang tinggi buat para generasi selanjutnya, khususnya para keluarga serdadu Jepang yang tewas di tanah Papua. Bagi saya secara pribadi, monumen ini menunjukkan sebuah keniscayaan atas sebuah perdamaian. Kematian melalui perang terkadang membuat banyak orang kehilangan keluarga yang disayangi. Monumen ini sebenarnya memiliki bentuk yang tidak seperti kami lihat seperti sekarang. Tanda peringatan berupa teks seharusnya di tulis dalam bahasa Jepang dan memiliki ornamen lain seperti helm para serdadu. Bentuk asli dari monumen ini dapat kita lihat di Biak, meskipun kondisinya mungkin tidak seperti dahulu. Anda bisa melihat versi asli monumen ini pada foto berikut (klik di sini) . Pemerintah harus lebih pro aktif untuk menjadikan kawasan ini sebagai bagian dari wisata peninggalan Perang Dunia Ke II. Di Teluk Manokwari dan Teluk Dorey , bangkai kapal yang tenggelam juga merupakan wisata yang berpotensi untuk ditawarkan kepada wisatawan. Dengan demikian, maka TWA Gunung Meja ini dapat dikenal di seluruh dunia.

Pohon Pelangi dan Laba-Laba Berjubah

alternatif kembali. Jalur alternatif ketiga berada di sebelah kiri dengan jalan masuk yang lebih kecil dari dua jalur sebelumnya. Kondisinya serupa karena jalan ini belum dijadikan jalur utama. Meskipun kecil, namun jalur ini ternyata memanjang. Kami berdua hanya mengikuti jalur yang sudah dilewati sebelumnya. Saya sebenarnya harap-harap cemas karena melihat beberapa jalan bercabang-cabang. Renthousemate-ku dengan cepat memilih jalan yang harus kami tempuh. Ia bahkan memilih melewati jalan setapak yang terhadang jaring laba-laba dibanding jalan lain yang berupa setapak. Saya tidak punya pilihan lain karena memang saya tidak punya pengalaman mendaki gunung. Jalan ini memang mendebarkan karena semakin ke dalam semakin gelap saja. Hal yang menyenangkan saya bisa melihat sejumlah buah-buahan dengan warna yang menyegarkan. [caption id="attachment_87418" align="aligncenter" width="442" caption="warna buah yang menarik"]

12961820781232023430
12961820781232023430
[/caption] Saya tidak tahu persis asal buah-buahan ini. Yang jelas saya tidak memakannya karena warnanya terang. Saya kuatir buah tadi beracun. Buah yang berwarna kuning baunya terasa asam persis kedondong sementara yang kedua berbau langu. Setelah berjalan hampir satu jam dalam hutan dengan ditemani suara burung dengan ritme yang sama dari kejauhan. Saya berteriak memanggil Renthousemate-ku. Hal yang menarik perhatian saya adalah sebatang pohon keras yang menjulang tinggi. Pohon ini sekilas terlihat sama karena pada waktu itu sinar matahari tidak menyentuh dasar hutan. Namun, setelah di dekati maka akan terlihat jelas pohon yang unik . Pohon ini adalah Eucalyptus Degulpta atau Pohon Pelangi. [caption id="attachment_87420" align="aligncenter" width="442" caption="di bawah eucalytus degulpta"]
1296182497840317480
1296182497840317480
[/caption] [caption id="attachment_87421" align="aligncenter" width="442" caption="Eucalyptus Degulpta"]
12961821831092446683
12961821831092446683
[/caption] Pohon pelangi atau Rainbow Eucalyptus atau the Mindanao Gum atau the Rainbow Gum memiliki nama latin Eucalyptus Degulpta dapat tumbuh setinggi 40 meter. Tumbuhan ini hanya tumbuh di Indonesia bagian timur, seperti Sulawesi, pulau Seram di Maluku serta Papua. Tanaman ini juga ditemukan di Pulau Mindanao, Filipina. Selain tinggi, pohon yang digunakan untuk industri pulpwood dan pembuatan kertas memiliki kulit yang unik, loreng-loreng seperti pelangi atau menyerupai baju tentara. JIka anda melihat tumpukan sampah persis di bawah pohon, itu merupakan kulit kayu yang mengelupas, persis pohon jambu karena pohon ini juga termasuk suku Myrtaceae atau jambu-jambuan. Di Indonesia, tumbuhan ini semakin lama semakin langka karena habitat aslinya sudah banyak tergusur dan akibat penebangan hutan. Sejauh ini kami baru mendapatkan/melihat satu pohon pelangi, semoga kami bisa melihat yang lainnya. Sungguh menyedihkan apabila tanaman yang sebenarnya spesies yang dapat tumbuh dengan cepat ini tidak ditemukan lagi di TWA Gunung Meja. Setelah mengambil gambar secukupnya, kami segera melanjutkan perjalanan. Jalan semakin lama semakin sempit , seperti sudah lama tidak dilewati. Saya berdo’a saja agar cepat-cepat sampai ke ujung jalan karena kuatir cuaca yang tidak menentu dapat turun hujan sewaktu-waktu. Sebenarnya saya sudah membawa jas hujan , tetapi cukup riskan juga melanjutkan perjalanan dalam hutan lebat. Dahan dan daun melintang selama perjalanan. Renthousemate-ku malah lengannya tersambet ranting karena berusaha tidak ingin merusak jaring laba-laba yang melintang di jalan setapak. Laba-laba di sini cukup banyak dan membangun sarang di mana-mana. Saat mata saya berkeliling , tiba-tiba, sesosok hewan melintas di atas kepala saya. Saya berfikir ini kumbang karena bentuknya terang dan seperti bersayap. Setelah saya lihat dari dekat ternyata yang saya kira kumbang adalah laba-laba. [caption id="attachment_87422" align="aligncenter" width="442" caption="laba-laba di TWA Gunung Meja"]
12961822481391282071
12961822481391282071
[/caption] Hewan yang sungguh menarik. Tidak seperti laba-laba yang memiliki bagian kepala dan tubuh yang berbentuk bulat, pipih, atau lonjong, maka si kecil ini seperti memiliki tempurung berbentuk segitiga di atas tubuhnya yang tersembunyi. Warna kepala dan kakinya hitam metalik, sedangkan jubah berwarna putih dengan titik-titik hitam serta bagian luar jubah yang memanjang di kedua belah sisi. Di ujung sisi jubah terlihat seperti tanduk dengan bagian warna oranye dan hitam. Renthousemate-ku mengambil laba-laba tadi yang sempat terjatuh. Ukuranya kecil hanya sebesar kuku dan tidak berbahaya saat di pegang. Dengan bentuk seperti ini saya menyebutnya “Laba-Laba berjubah”. Bisa jadi laba-laba ini merupakan genus Michratena dengan jenis macam lebih dari seratus jenis. Sungguh menarik jika dapat melihat jenis lainnya dari genus ini di TWA Gunung Meja. Waktu menunjukkan pukul 9.30 WIT, berarti sudah tiga jam kami mondar-mandir di dalam hutan. Jalur alternatif ketiga ini terasa jauh meskipun sebenarnya hal yang membuat saya merasa lega adalah sinyal HP masih timbul meski sudah di dalam kelebatan hutan. Senyap-senyap terdengar suara keramaian dari jauh atau seperti suara laut. Renthousemate-ku mempercepat jalannya untuk mendapatkan ujung jalan dan akhirnya kami keluar dari jalur alternatif ketiga. Ternyata, jalur ketiga ini hanya berbelok-belok saja dan kami kembali ke jalur utama. Tentu, masih banyak jalur alternatif yang belum kami ketahui ujungnya. Kami akan melanjutkan lagi di perjalanan berikutnya. Hari yang indah dan perjalanan yang menghibur. Saya berharap dapat kembali menjejakkan kaki di sini , di TWA Gunung Meja. * * * (Pictures are courtesy of Sazano and Rony Mahardiani/Renthousemate)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun