Mohon tunggu...
Oktarano Sazano
Oktarano Sazano Mohon Tunggu... -

pencari hikmah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen : Lelaki yang Berteduh

29 Januari 2011   03:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jarum-jarum gerimis yang menancap di bumi memaksa Pierre membalikkan tubuhnya. Kakinya yang panjang memudahkannya membuat langkah-langkah yang besar. Ia kuatir sebelum ia berlindung air akan tumpah dari langit dan membuatnya basah kuyup dan ia tidak suka itu. Beruntung ia mendapatkan tempat berteduh, halte bus tua yang sudah tidak digunakan lagi. Pierre menjangkau punggungnya dengan tangan kiri. Hanya sedikit bagian yang basah. `Untung saja` bisiknya.

Cuaca memang tidak menentu beberapa hari ke belakang di Ruse, kota di bagian utara Bulgaria. Kadang hujan di siang hari, pagi hari atau bahkan dini hari tapi tidak pernah malam hari. Keyakinan itu juga yang membuat Pierre tidak membawa jas hujan. Sekali ini ia kena batunya.

`Sial!` Pierre menggerutu ketika melirik arlojinya. Jarum pendek sudah menyentuh angka sepuluh. Jika hujan tidak segera reda ia akan pulang terlalu larut dan istrinya, Barbara akan mengamuk. Tapi yang lebih jeleknya lagi ia kalah bermain judi malam ini. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung seratus dua puluh ribu Lev! Dan ia berhutang separuhnya pada si pendek Dimitri, rekannya berjudi. Kepalanya mau pecah! Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Dengan gelisah Pierre menggoyang-goyangkan badannya, mengumpat tidak jelas.

`Kau tidak bisa menghentikan hujan hanya dengan umpatanmu, Tuan`

Suara yang mengejutkan Pierre.

Pierre memutar tubuhnya dan mencari asal suara tadi.

Halte itu tidak memiliki lampu dilangit-langitnya tetapi penerangan jalan lima meter dari tempatnya berdiri berpendar kekuningan memberikan cukup cahaya untuk ia bisa melihat orang yang terjebak bersamanya dalam hujan. Ia baru sadar jika ia tidak sendirian di tempat itu, dan bersama… seorang perempuan!.

`Maaf saya tidak melihat anda, nyonya`

`Tidak apa-apa.`

Perempuan itu maju selangkah, memberikan kesempatan buat lelaki di depannya memandang lebih jelas. Rambutnya dipotong pendek dengan warna coklat terang seperti kacang goreng yang biasa di sajikan Barbara saat ia menonton televisi. Jas hitam mengkilap dengan bulu-bulu berwarna keabuan melekuk manis membentuk huruf u mengelilingi lehernya yang putih kemerahan. Rahang yang sempurna dan mata hijau yang menentramkan. Ia taksir umurnya dua puluh empat dan dari keluarga kelas atas.

Perempuan itu sepertinya sedikit tidak nyaman dengan tatapan Pierre. Dengan cepat ia mengangkat pergelangan tangan dan menunjuk beberapa senti dari pangkal telapaknya `Jam berapa sekarang, Tuan?`

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun