Kasus Ahok ini tentu sangat santer sekali di berita pada tahun 2016-2017 silam, bahkan kasus tersebut menjadi salah satu penyebab elektabilitas Ahok menurun pada pilkada yang akan datang pada bulan februari 2017. Namun siapa yang sangka bahwa kasus penodaan surat Al-maidah: 51 yang dilakukan oleh mantan gubernur Jakarta ini menjadi salah satu penyebab umat Islam di Indonesia bisa menyatu.
Dalam hal ini, saya ingin mencoba menganalisis fenomena tersebut dengan fungsi positif dari teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser yang kurang lebih berpendapat bahwa konflik pada dasarnya dapat menjadi sebuah pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik juga disebutkan dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua kelompok atau lebih[1].
Dengan kata lain, dengan adanya konflik, ikatan atau suatu kelompok dapat berubah menjadi lebih erat dan setiap anggota kelompok saling melindungi agar tidak hilang ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Hal ini, terjadi pada umat muslim dari seluruh kelompok organisasi dari berbagai madzhab yang ada di Indonesia yang merasa tersakiti dengan ucapan Ahok akhirnya berubah yang tadinya mereka berjalan masing-masing dengan pemimpin masing-masing, namun setelah ada kasus ini, mereka bersatu padu dalam satu Gerakan keagamaan yang sekarang ini terkenal dengan nama Aksi Bela Islam 212.
Menurut Coser, Konflik dibagi menjadi dua yaitu:
1. Konflik realistis, konflik realitas terjadi akibat dari ketidakpuasan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam suatu hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan yang tidak terpuaskan, dan ditujukan kepada objek yang dianggap tidak dapat memuaskan[2]. Dalam hal ini, mengapa Gerakan 212 ini terjadi, pada awalnya akibat dari pihak kepolisian tidak kunjung memenjarakan Ahok, mereka menuntut agar Ahok segera dibui.
2. Konflik non-realistis, konflik yang terjadi akibat bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, tetapi dari kebutuhan yang meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak[3]. Dalam hal ini, ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa Gerakan 212 ini adalah akibat dari kekalahannya Ahok dalam pilkada 2017, Gerakan 212 menggunakan politik identitas untuk mengalahkan Ahok, padahal, hal itu belum terbukti, bisa saja pihak-pihak tertentu berkata demikian karena mereka tidak mampu memenangkan pak Ahok pada pilkada 2017.
Referensi:
- Lewis Coser, The Function of Social Conflict. New York: Free Press. 1956.
- M. Wahid Nur Tualeka, 2017, “Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern”, Jurnal AL-HIKMAH, Vol. 3, No. 1, Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H