sampah yang tidak pada tempatnya. Contoh yang sering kita lihat adalah sampah di sungai, bahkan di dalam ruangan seperti di dalam kelas.Negara Indonesia ini dikenal akan warganya yang memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan. Â Mengapa hal ini terjadi? Apa yang membuat warga Indonesia sulit untuk menempatkan sampah pada tempatnya?
Seringkali kita mendapatiSebenarnya, membuang sampah pada tempatnya merupakan hal yang sangat mudah. Dengan cara membiasakan dan juga konsisten dalam melakukannya merupakan kunci. Tentu kita semua faham akan akibat dari sesuatu yang kita lakukan, misalnya saat kita membuang sampah di sungai pasti akan mengakibatkan banjir. Kita menyadari hal tersebut, namun pandangan kita akan hal ini masih kurang. Terlalu menganggap sepele-lah yang menjadi alasan kita membuang sampah sembarangan.
Membiasakan diri dan konsisten tentu harus diajarkan sejak dini. Anak perlu dibiasakan membuang sampah pada tempatnya dengan cara pemberian contoh. Karena, anak cenderung meniru apa yang orang tua lakukan dan kita sebagai pendidik ataupun orang tua, seharusnya memberikan contoh dengan selalu membuang sampah pada tempatnya. Dengan ini, anak akan dapat meniru serta menerapkan dalam kehidupan sehari hari.
Penerapan yang saya lihat ialah pada Taman Penitipan Anak dirumah saya. Setiap hari, para orang tua diwajibkan untuk membawakan snack untuk anaknya, dengan tujuan agar anak tidak jajan sembarangan. Mereka memiliki jam makan snack setelah pulang sekolah, mereka juga diberi fasilitas menonton tv yang menayangkan beberapa film animasi atau kartun sembari menikmati snack. Meskipun mereka makan dan asyik menonton film, mereka memiliki kebiasaan bahwa sekecil apapun sampah, mereka selalu membuang sampah pada tempatnya. Mereka juga diajari untuk memilah sampah basah dan kering dengan cara memberi pemahaman seperti " anak -- anak, sampah yang ada air-nya seperti ini ialah sampah basah dan dibuang di tempat sampah berwarna blue ya, jika sampah yang tidak ada air nya ini ialah sampah kering dan dibuang di tempat sampah berwarna green ya ".
Selain mengajarkan pendidikan moral, secara tidak langsung kita juga mengajarkan macam -- macam warna dalam Bahasa inggris. Pendidikan moral ialah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan kesempatan bagi peserta didik dalam menanamkan nilai ketuhanan, nilai estetik dan etik, nilai baik dan buruk, benar dan salah, perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak mulia, budi pekerti luhur untuk melatih tanggung jawab. Teori perkembangan moral menurut Piaget mempercayai bahwa struktur kognitif serta kemampuan kognitif itulah dasar bagi pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang akan membantu anak dalam mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan social. Piaget menggambarkan perkembangan moral dengan aturan bermain.Â
Santrock membagi tahap perkembangan moral piaget menjadi dua tahap perkembangan moral yakni :
1. Anak dengan usia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heteronom. Pada tahap ini, anak memahami bahwa pelanggaran akan terhubung ottomatis dengan hukumannya. Namun, penelitian oleh Nazar dan Kousekanani (2002) dengan judul moral judgement of preschool Kuwaiti children bertentangan dengan tahapan perkembangan moral piaget. Hasil dari penelitian mereka menunjukkan bahwa anak pada usia 5-6 tahun memiliki pandangan bahwa aturan sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah. Moral dipandang sebagai kewajiban, penyamarataan, dan keadilan.
2. Usia 7-10 tahun, anak berada dalam masa yang menunjukkan cara berfikir dengan Sebagian masih dalam moralitas heteronom dan Sebagian otonom.
3. Moralitas otonom yakni usia 10 tahun keatas, mereka memahami bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia. Saat menilai sebuah perbuatan, mereka akan mempertimbangkan niat dan juga konsekuensinya.
sependapat dengan piaget, Lawrence Kohlberg mengemukakan bahwa sikap moral bukanlah hasil dari suatu pelajaran yang diperoleh berdasarkan kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan melainkan terjadi karena aktivitas spontan pada anak - anak. Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, namun interaksi ini mempunyai ciri khusus yakni faktor pribadi yang mana aktifitas anak juga ikut berperan.Â
Menurut Berns, dalam Pranoto mengungkapkan bahwa terdapat tiga keadaan yang dapat memberikan pengaruh dalam moralitas anak, yakni situasi, individu dan social :
- Situasi yang ada di sekitar anak atau lingkungan socialHal ini menunjukkan dimana anak berada dan bersosialisasi dalam konteks kehidupannya. Misalnya, anak yang terlahir dari keluarga keraton tentunya memiliki perbedaan lingkungan social dengan anak dari lingkungan masyarakat umum.
- Individu yang memiliki fitrahSetiap anak terlahir dengan fitrah yang menjadikan setiap anak memiliki karakteristik tertentu. Moralitas bukanlah bawaan lahir namun moralitas merupakan proses Panjang dari seorang manusia untuk bertingkah laku sejalan dengan norma yang ada di sekelilingnya.
- Konteks social yang terdiri dari keluarga, teman sebaya, media massa, Pendidikan dan masyarakat. Konteks social disini memberikan pengalaman dan pengetahuan yang nantinya akan diserap dalam diri anak. Melalui konteks social ini, mereka akan belajar dan jika dikaitkan dengan lingkungan Pendidikan, maka keluarga menjadi yang pokok, dan pada institusi masyarakat anak akan menghabiskan waktu mereka untuk bersosialisasi melalui bermain, dan institusi Pendidikan yang akan menjadi wadah bagi anak usia dini untuk diajarkan secara intelektual maupun kejiwaannya.