Sudah tiga belas tahun lamanya. Tak kujumpai asap kretek daun lontar, yang berebut udara dengan pekat asap pelita kaleng rokok.Bai, Â apakah dalam lubang pekat yang lembab itu, Â malaikat menyediakan daun lontar dan tembakau untukkmu? Â
Sudah tiga belas tahun lamanya. Kain putih panjang yang kau lilit di pinggang sudah pensiun. Koin-koin pindah alamat, Â juga uang kertas yang kau ikat di sana telah sobek dan koyak.
Sudah tiga belas tahun lamanya. Â Radio-radio pemanis sepi yang kau beli di pasar Lama telah lama mati. Â Suara penyiar pro satu RRI tak terdengar lagi, Â mungkin sudah gantung suara.
Sudah tiga belas tahun lama. Senapan rakitan yang dulu kau sembunyikan di peti kayu yang panjang itu kusam dan berdebu.  Bau upat yang pekat menyengat itu tak ada tercium  lagi.
Sudah tiga belas tahun lamanya. Â Rumah orang-orang sakit membuat daun dan akar sepi memotong diri. Orang-orang berjubah putih itu membawa pil-pil pahit, meminta kami menenggak sebab daun dan akar tak teruji klinis.
Sudah tiga belas tahun lamanya. Rumah batu  kokoh itu hilang gagahnya. Tak ada bunyi gong bertalu, juga suara para amaf mengantar hasil tani.
Bai, Â sudah tiga belas tahun lamanya. Gadis kecil yang dulu kau kau dudukan di atas kendali kuda telah menikah dan menunggu anak.Â
Apa kabarmu, Â Bai?Â
Sudah kukirimkan bekal al-fatihah untukmu.
Falas, Â 13 Februari 2019
Salam,
Sayyidati Hajar
Catatan:Â
Bai: kakek (bahasa melayu Kupang)
Amaf: bapak (bahasa Dawan) Â atau orang-orang yang bekerja dan mengabdi pada raja
#KampungNTT