Komunitas Film Kupang (KFK)  bukan komunitas yang asing lagi di telinga masyarakat NTT.  Komunitas  yang diketuai Manuel Alberto Maia (Abe)  ini  terus  melakukan kegiatan-kegiatan positifif di bidang film. Bahkan kami berkesempatan untuk mengkuti workshop produksi film pendek bersama Viu atau dalam hal ini Viu Short.
Abe sukses menjadi perhatian publik lewat film Nokas (2016) yang diputar di beberapa negara.
Saya mengenal  Abe sebagai  sosok periang  yang  kreatif juga baik hati.  Lelaki muda asal Timor Leste ini ramah, kritis, dan tanggap pada persoalan  sosial juga memiliki semangat berbagi  yang  tinggi.
Saya belum lama mengenal Abe,  belum  setahun.  Kami  bertemu di food corner pada suatu sore setelah melakukan janji  temu  beberapa  jam sebelumnya.Â
Saya memang  sudah  mengikuti jejak tulisan sutradara muda NTT itu melalui akun  media sosialnya. Maka ketika  Abe mengajak  bertemu  saya senang  sekali.
Saya yakin bisa belajar banyak hal dari Abe.  Perjumpaan itu juga merupakan  awal  mengenal  banyak  anak muda kreatif di kota Kupang.
Kfk terus konsisten mengembangkan  diri di bidang perfilman.  Banyak kerja  kolaborasi yang  dilakukan untuk membekali kaum muda dengan  hal-hal positif.
Melalui nama besar yang kini dipanggulnya, Â KFK mendapat kesempatan kerjasama dengan berbagai komunitas, LSM, Â dan lembaga.Â
Bila sudah ada kegiatan,  Abe selalu menginformasikan  ke komunitas-komunitas seni di Kota Kupang .
Semangat  kolaborasi yang dibangun sangat  terasa bagi saya dalam mengembangkan komunitas sastra bersama mahasiswa di kampus. Kami memiliki kesempatan belajar  dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan KFK.
Viu Short: Workshop Produksi Film Pendek
Suatu malam Abe mengirim  pesan berisi leaflet  kegiatan Workshop Produksi Film Pendek. Workshop tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 15-22 Desember 2018 atas kerjasama KFK dengan Viu.
Awalnya saya tertarik  untuk  ikut kegiatan itu,  tapi  setelah membaca tanggalnya saya mengurungkan  niat. Kegiatan di kampus lumayan  padat untuk  ditinggal.
Saya meneruskan informasi itu ke grup komunitas namun tak ada seorang pun yang merespon.Â
Tidak habis akal saya pasang di cerita wa saya agar dibaca banyak orang berharap ada yang tertarik, tapi hasilnya tetap  nihil.Â
Saya kemudian mengirim pesan pada seorang  teman yang banyak berurusan dengan mahasiswa  meminta  satu dua orang mahasiswa untuk dikirim mengikuti workshop itu.Â
Namun lagi-lagi pesan itu  tak membuahkan hasil,  maka berhentilah saya sampai  di situ. Satu-satunya jalan paling  tepat dilakukan setelah  beriktiar adalah diam.
Syukurlah ada mahasiswa saya yang bergabung menjadi anggota KFK, lalu ia mengikuti workshop sebagai peserta satu-satunya dari kampus Universitas Muhammadiyah Kupang.  Jujur satu saja yang ikut sudah melahirkan syukur  tak terkira dalam hati saya. Â
Saya tidak tahu pasti apa yang mereka  pelajari. Hanya saja menurut informasi yang saya dapat peserta workshop langsung dibekali ilmu-ilmu praktis  membuat  film dari tim Viu Indonesia sejak penyiapan naskah sampai produksi  film pendek.
Sekilas tentang Viu Shorts, merupakan festival film pendek yang mencakup kegiatan lokakarya dan produksi film untuk siswa dan mahasiswa di 17 kota di seluruh Indonesia.Â
Viu Shorts dikelola langsung oleh tim profesional dari Viu dan MAV Production Asia, termasuk sutradara film, editor film, dan penulis naskah.
Tim viu bekerja  sebagai mentor yang akan membimbing siswa dan mahasiswa di kota-kota yang telah ditetapkan. Tema besar Viu Short adalah urban lagend.Â
Peserta workshop akan diminta untuk mengadaptasi cerita-cerita lokal dan mengubahnya menjadi produksi sinematik yang secara potensial nantinya dapat ditayangkan pada khalayak internasional.
Kabar kerennya adalah fillm pendek yang diproduksi selama Viu Shorts di 17 kota akan dievaluasi, dinilai, dan pemenangnya akan diumumkan pada bulan Mei 2019 mendatang.
Membaca informasi  mengenai workshop  itu  membuat  saya  senang.  Setidaknya ada upaya positif dari Viu Indonesia dalam meningkatkan keterampilan pelajar  dan mahasiswa di berbagai kota, termasuk kota Kupang.Â
Suatu malam saya dihubungi Yaya dari KFK  percakapan  singkat pun terjadi, saya diminta untuk  bermain  dalam film pendek  yang sedang  dipersiapkan peserta  workshop atas  rekomendasi Abe.
Dalam hati saya ragu atas rekomendasi sutradara muda itu.  Selama ini saya banyak bermain  di panggung teater, saya tidak pernah sekalipun bermain film.
Ada rasa khawatir akan mengecewakan banyak orang.  Sebelum saya panjang  lebar  bermonolog dalam hati,  tiba-tiba muncul sang sutradara itu di hadapan saya dengan senyum  mengembang tanpa  dosa. Ia lantas menyambar gawai dan berbicara dengan Yaya.
Setelah itu masih  dengan  senyum mengembang dan kamera yang  ditenteng di bahunya ia pun memberi penjelasan singkat mengenai keterlibatan saya main di film pendek itu dan akhirnya. Kebetulan malam itu kami terlibat dalam kegiatan bersama.
Maka,   Bismillah saya niatkan semua itu untuk belajar  lebih  dan lebih lagi. Ini kesempatan belajar dengan teman-teman baru.
Setelah mengiyakan  saya berjanji akan bertemu tim produksi film untuk diberi arahan dan mengambil script. Ketika bertemu tim produksi,  saya bertemu banyak adik-adik dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana (JIKOM UNDANA).
Rupanya hampir seluruh peserta  workshop datang dari JIKOM UNDANA.  Mereka cekatan menyiapkan segala kebutuhan produksi. Â
Ken dan Cris memperkenalkan diri sebagai sutradara. Saya melihat semangat kerja mereka meski jelas terlihat lelah dan kurang tidur. Anak-anak muda itu tetap total  mengikuti workshop.
Setelah berdiskusi pendek sutradara memberi  script dan menjelaskan karakter yang harus saya perankan.Â
Saya mendengar  nada ragu-ragu dari sutradara.  Seperti membaca pikiran saya,  Ken tertawa lalu berkata,  "Maaf ibu,  kami masih belajar."
Saya mengangguk  paham sambil  memberi sedikit  motivasi untuk  terus belajar, sambil  menyipkan pesan bahwa saya pun demikian.
  Singkat cerita  kami mulai syuting pada  Jumat pagi di terminal  Oebobo  Kupang. Kemudian dilanjutkan di jalur 40 dalam waktu yang sempit sekadar untuk bersiap diri itu,  saya bersyukur  lawan main dalam film pendek itu sudah saya kenal.Â
Setidaknya, Â saya dan Putra Anakay pernah mengikuti workhop teater dan sering berjumpa dalam berbagai acara seni di Kota Kupang.
Baju yang dikenakan salah seorang pemeran  bertuliskan Cartoon Network. Seperti yang kita ketahui,  tidak boleh ada satu merk dagang apapun dalam produksi film.
Saya masih kurang paham alasan yang paling tepat,  tapi yang pasti kejadian itu  melahirkan konsekuensi baru.  konsekuensinya adalah kami wajib mengulang beberapa adegan khusus pada Sabtu pagi di terminal Oebobo sebelum  pindah lokasi  ke Aernona.
Selama dua hari proses  syuting,  saya menemukan semangat keatif  anak-anak muda NTT yang luar biasa dalam berkarya.Â
Semangat  belajar mereka  harus  terus  didukung oleh  elemen masyarakat. Anak muda NTT membutuhkan banyak ruang belajar kreatif  untuk menyalurkan bakat. Ruang-ruang kreatif itu harus  diciptakan bersama.
Pemerintah, LSM, Â Komunitas dan seluruh elemen masyarakat harus bahu membahu mendukung semangat kreatif mereka. Â Suatu saat, Â mereka akan menghasilkan karya-karya berkualitas oleh dan untuk tanah Flobamora.
Sayyidati Hajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H